Perempuan di Garis Depan Krisis Ekologis dan Konflik Agraria
Perempuan sering kali harus memikul beban ganda di tengah krisis ekologis yang dipicu kebijakan rezim yang tidak ramah lingkungan.
Penulis Awla Rajul4 Desember 2025
BandungBergerak - Perempuan sering kali harus menjalani beban ganda dalam kerja-kerja domestik: bekerja untuk menghidupi keluarga dan mengurus rumah tangga. Dua peran ini semakin parah akibat rezim politik yang mengedepankan industri ekstraktif yang mengundang konflik agrarian dan krisis ekologi. Perempuan menjadi semakin terpinggirkan dan tersisihkan di tengah sistem yang tidak ideal.
Pembahasan itu menjadi topik diskusi dalam rangkaian peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terharap Perempuan (HAKTP) yang diselenggarakan secara kolektif oleh Koalisi Bandung Lautan Damai dan Iteung Gugat, di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Jumat, 28 November 2025. Diskusi bertajuk “Perempuan dalam Krisis Ekologis: Dampak Konflik Agraria dan Ekstraktivisme di Indonesia” ini menghadirkan pembicara dari Walhi Jabar Siti Hannah Alaydrus dan perwakilan dari Perkumpulan Inisiatif Wulandari. Diskusi dimoderatori oleh Sagita Asyifa.
Wulandari membahas nasib perempuan pesisir dalam menghadapi krisis ekologis. Perempuan pesisir yang diwadahi lembaga Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) menghadapi persoalan redistribusi tanah untuk rakyat melalui program reforma agraria yang masih bias daratan.
Perempuan-perempuan pesisir, atau lebih mudah dikenali sebagai nelayan perempuan, tidak hanya diabaikan oleh pemerintah. Tetapi juga menghadapi persoalan hak kepemilikan dan pengelolaan wilayah pesisir. Ini belum termasuk persoalan lama yang masih dihadapi perempuan, seperti diskriminasi dan keadilan gender dalam sistem.
Wulan menyebutkan, perempuan nelayan belum memiliki perlindungan dan pengakuan dari negara. Sebab UU No. 7 Tahun 2016 tidak mengakui peran besar perempuan nelayan dalam rantai pasok produksi wilayah pesisir. UU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan nelayan memberi definisi sempit sebatas penangkapan dan tidak mengakui identitas perempuan nelayan.
“Padahal perempuan nelayan terlibat dalam proses praproduksi, produksi, dan pemasaran. Sebelum nelayan tangkap pergi melaut, perempuan terlibat dalam menyiapkan bekal dan beberapa alat yang dibawa, seperti perbekalan,” kata Wulan.
Lantas, perempuan terekslusi dari pasar kerja karena profesinya tidak diakui secara sosial dan dianggap tidak melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan perempuan. Diskriminasi yang dialami perempuan nelayan ini membuat pekerjaan mereka terasa tersembunyi. Padahal mereka melakukan pekerjaan dari seluruh rangkaian produksi wilayah pesisir.
Persoalannya menjadi semakin sistematis ketika krisis iklim berlangsung. Perubahan iklim membuat hasil tangkapan nelayan menurun. Menyebabkan ketidakstabilan ekonomi yang membuat beban perempuan semakin berlipat. Ini belum berbicara masalah rentannya perempuan dieksploitasi, baik atas tubuh, pikiran, hasil kerja, hingga terdiskriminasi dari ruang-ruang hidupnya.
“Perempuan jadi sulit mengakses informasi terkait bacaan karena disibukkan dengan urusan rumah tangga, membuat mereka lebih rentan terhadap risiko kehilangan mata pencahariaan. Perempuan akhirnya kesulitan mendapatkan bantuan karena tidak dianggap sebagai pekerja utama di sektor perikanan,” beber Wulan, dalam diskusi.
Baca Juga: Mendiskusikan Kehidupan Orang Bajau di The Room 19: Tersisih di Laut Sendiri
Peringatan Keras dari Bencana Sumatra untuk Jawa Barat, Hentikan Alih Fungsi Hutan
Krisis Ekologis Jawa Barat
Krisis ekologi sudah benar-benar terpampang nyata di Jawa Barat. Deforestasi dan alih fungsi lahan memperparah bencana dan jangkauannya. Walhi Jawa Barat merilis, per tahun 2023, luas hutan Jawa Barat tersisa sekitar 259.576 hektare. Di sisi lain, lahan kritis terus bertambah. Jawa Barat menduduki peringkat ketiga secara nasional dalam hal luas lahan kritis, mencapai 907.979 hektar pada tahun 2021.
Krisis ekologi di Jawa Barat diperparah oleh proyek strategis nasional (PSN), seperti pembangunan infrastruktur raksasa maupun program energi. Pembangunan infrastruktur besar, seperti Kereta Cepat dan Bandara Kerjatati menyusutkan bentang alam. Sementara proyek energi, seperti pembukaan hutan untuk tanaman energi (HTE), mengubah kawasan hutan menjadi tanaman monokultur. Tanaman energi seperti Kalindra dan Gamal dijadikan bahan bakar pengganti batu bara di PLTU, aktivitas pembangkitan listrik yang berdampak buruk untuk lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Dampak dari krisis ekologi terakumulasi melalui bencana yang terjadi sepanjang tahun 2025. Yang paling baru, Pangalengan di Kawasan Bandung Selatan mengalami banjir di penghujung November lalu. Akhir Oktober lalu, hujan deras yang baru berlangsung 15 menit telah merendam Lembang, di Kawasan Bandung Utara.
Kawasan Bandung Selatan dan Kawasan Bandung Utara yang terletak di ketinggian 1.300 MDPL saja bisa didera banjir. Apalagi kawasan cekungan Bandung yang setiap kali hujan digenangi air, seperti Gedebage dan Kopo. Sementara di kawasan pesisir Jawa Barat, ancaman bencana banjir rob semakin nyata akibat kenaikan permukaan air laut. Ini juga terjadi akibat krisis ekologi.
Krisis Ekologi Memperparah Ketimpangan
Manajer Kampanye dan Advokasi Walhi Jabar Siti Hannah Alaydrus menegaskan pentingnya keadilan gender dan keadilan ekologis untuk seluruh generasi. Sayangnya, rezim di Indonesia mengedepankan eksploitasi sumber daya ekstraktif sebagai sumber ekonomi yang dibanggakan. Eksploitasi sumber daya alam yang menyebabkan krisis ekologis ini membuat kelompok marginal semakin rentan dan terpinggirkan.
“Ini berujung pada ketidakadilan ekologis yang menambah orang-orang yang dari awal sudah terpinggirkan, seperti perempuan, anak-anak, disabilitas dan kaum marginal lainnya, semakin merasakan ketimpangan,” ungkap Hannah.
Hannah membeberkan, selama satu dekade belakangan, kasus konflik agraria merenggut paling banyak nyawa perempuan. Krisis ekologis secara bersamaan juga membuat perempuan semakin rentan. Sebab perempuan menghadapi beban berlapis. Misalnya ketika lahan direbut untuk perkebunan sawit atau aktifitas tambang, perempuan secara bersamaan akan kehilangan akses pangan dan cadangan alam untuk keluarganya.
Ketika lahan yang mulanya dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan dan sumber pangan hilang, perempuan, mau tak mau, harus menjalani beban ganda: menghidupi keluarga sambil membantu peran suami untuk mendapatkan penghasilan. Belum lagi ketika pendapatan menipis, perempuan sering kali harus berhadapan dengan pilihan berutang. Beberapa kasus lain memaksa perempuan harus bekerja ke luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) untuk menambah penghasilan keluarga.
Intervensi kebijakan berperspektif gender yang memberi pengakuan khusus untuk peran dan kebutuhan perempuan dalam lingkungan hidup sangat dibutuhkan. Perspektif pembangunan harus mempertimbangkan dimensi sosial, budaya, lingkungan, dan gender.
Hannah menyebutkan, ada empat dimensi keadilan gender yang perlu dikedepankan, yaitu dimensi keadilan rekognitif (pengakuan terhadap perempuan sebagai pemangku kepentingan), dimensi keadilan distributif (distribusi merata terhadap akses, manfaat, anggaran, insentif, kompensasi, dll), dimensi keadilan prosedural (partisipasi yang inklusif), dan dimensi keadilan remedial atau korektif (penegakan hukum ganti rugi, pemulihan lingkungan, ekonomi, dan sosial).
“Perencanaan dan pengambilan keputusan harus partisipasi setara, mengarusutamakan gender. Nah ini tidak semata-mata formalitas,” ungkap Hannah.
Peringatan 16 HAKTP
16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan adalah kampaye melawan kekerasan berbasis gender yang diperingati secara internasional mulai tanggal 25 November hingga 10 Desember setiap tahunnya. Di Bandung, peringatan ini setiap tahunnya dikerjakan secara kolektif oleh berbagai komunitas dan lembaga, seperti Koalisi Bandung Lautan Damai, Iteung Gugat, Walhi Jabar, PBHI Jabar, Simpul Puan Great UPI, dan lembaga terkait lainnya.
Tema utama tahun 2025 ini adalah “Unite to End Digital Violence against All”. Tema ini dipilih untuk menyoroti kekerasan berbasis gender di ruang digital. Di Indonesia, menurut data Komnas Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun meningkat hampir 10 persen dari tahun sebelumnya. Kekerasan seksual mendominasi mencapai 26,9 persen dari total kasus kekerasan yang dilaporkan.
Kampanye 16 HAKTP di Bandung tahun ini menghadirkan beragam kegiatan. Selain diskusi publik yang sudah dan akan diselenggarakan dengan tema tertentu, Koalisi akan menyelenggarakan kegiatan kunjungan rumah ibadah ke Gereja Kristen Pasundan, Gereja Katolik St. Michael, hingga kunjungan Bale Adat ke Kampung Adat Cireundeu.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp Kami

