• Opini
  • Menata Ulang Kepastian Hukum Jaminan Fidusia di Indonesia

Menata Ulang Kepastian Hukum Jaminan Fidusia di Indonesia

Hukum jaminan dibuat bukan untuk menjadi alat penindasan, melainkan untuk menjaga keseimbangan kepentingan antara kreditur dan debitur.

Fathan Muslimin Alhaq

Penulis konten lepas asal Jakarta

Ilustrasi. Hukum harus berpihak kepada hati nurani dan kemanusiaan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

5 Desember 2025


BandungBergerak.id – Di tengah derasnya arus perkembangan ekonomi nasional, kebutuhan masyarakat terhadap akses pembiayaan yang mudah, cepat, dan aman menjadi sebuah keniscayaan. Lembaga keuangan baik bank maupun non-bank dituntut menyediakan skema kredit yang efisien, sementara para pelaku usaha membutuhkan mekanisme jaminan yang tidak menghambat kelangsungan aktivitas ekonominya. Dalam konteks inilah jaminan fidusia memegang peranan penting sebagai instrumen hukum yang menjembatani kebutuhan tersebut.

Singkatnya fidusia adalah pengalihan hak milik atas dasar kepercayaan ke pihak lain namun benda masih dalam penguasaan pemiliknya semula. Berbeda dari gadai yang mengharuskan penyerahan fisik barang, fidusia memungkinkan objek jaminan tetap berada dalam penguasaan debitor. Skema ini sangat relevan di tengah dominasi UMKM sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Mereka dapat tetap menggunakan kendaraan, mesin produksi, atau barang bergerak lainnya yang dijaminkan tanpa harus kehilangan fungsi ekonominya. Dengan kata lain, fidusia memberi ruang bagi produktivitas tetap berjalan sambil tetap memberikan rasa aman bagi kreditor.

Namun, setelah lebih dari dua puluh tahun berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, berbagai problem mendasar belum kunjung terselesaikan. Harapan untuk menghadirkan kepastian hukum justru terganggu oleh banyaknya norma yang ambigu dan tumpang tindih. Konstruksi hukum mengenai peralihan hak milik adalah salah satu contoh paling krusial. Undang-undang menyebut bahwa hak milik atas objek fidusia beralih kepada kreditur, namun secara faktual barang tetap dikuasai oleh debitur. Pertanyaannya sederhana bahwa bagaimana mungkin hak milik berpindah, tetapi penguasaan tetap berada pada pihak lain? Ketidakjelasan ini menimbulkan multitafsir yang pada akhirnya memicu sengketa pada saat wanprestasi terjadi.

Ketidakharmonisan dengan regulasi lain misalnya dengan aturan hak tanggungan, ketentuan kekayaan intelektual yang bisa dijadikan objek fidusia, hingga aturan mengenai perumahan semakin mengeruhkan situasi. Di sinilah terlihat bahwa undang-undang tersebut memerlukan rekonstruksi agar kepastian hukum tidak sekadar menjadi jargon normatif, tetapi benar-benar memberikan perlindungan bagi para pihak.

Di sisi lain, pemerintah telah memperkenalkan Sistem Administrasi Pendaftaran Fidusia (SIKP) sebagai sarana modernisasi administrasi. Sistem ini seharusnya menjadi tonggak penguatan asas publisitas dan spesialitas. Sayangnya, masih banyak lembaga pembiayaan terutama yang bergerak secara informal yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia. Akibatnya, kreditur kehilangan posisi preferen, sementara debitur sering menjadi korban penarikan paksa yang tidak mengikuti prosedur eksekusi. Fenomena ini bukan semata persoalan teknis, melainkan cerminan lemahnya budaya hukum dalam praktik pembiayaan di Indonesia.

Belum lagi praktik kontraktual yang memanfaatkan celah hukum. Ada lembaga pembiayaan yang memilih membuat perjanjian pinjam pakai atau skema “penguasaan bersama” untuk mempermudah penarikan objek pembiayaan ketika terjadi wanprestasi. Cara ini mungkin menguntungkan secara bisnis, tetapi mengabaikan prinsip perlindungan terhadap pihak yang lebih lemah dalam hubungan kontraktual. Padahal, hukum jaminan dibuat bukan untuk menjadi alat penindasan, melainkan untuk menjaga keseimbangan kepentingan antara kreditur dan debitur, sekaligus mendukung ketertiban ekonomi secara keseluruhan.

Baca Juga: Hukum yang Tak lagi Sakral
Menakar Prinsip Keadilan dalam Asas Fiksi Hukum
Menyingkap Payung Hukum yang Mempertebal Stigma, Kelompok Rentan semakin Dipinggirkan

Reformasi Aturan Fidusia

Melihat kompleksitas persoalan tersebut, saatnya Indonesia melakukan reformasi menyeluruh terhadap Undang-Undang Jaminan Fidusia. Ada setidaknya tiga prinsip dasar yang harus menjadi fondasi pembaruan.

Pertama, kepastian hukum yang konsisten dan tidak multitafsir. Regulasi mengenai kedudukan masing-masing pihak, peralihan hak milik, dan prosedur eksekusi harus dirumuskan secara tegas untuk menghilangkan potensi konflik norma.

Kedua, perlindungan seimbang antara kreditor dan debitor. Kreditor tetap harus memiliki jaminan hukum yang kuat untuk menekan risiko kredit, tetapi debitor pun tidak boleh dibiarkan rentan terhadap tindakan sewenang-wenang yang justru merusak integritas sistem pembiayaan.

Ketiga, penguatan sistem pendaftaran dan penegakan hukum. Pendaftaran fidusia harus dibuat wajib dengan sanksi yang efektif bagi lembaga pembiayaan yang mengabaikannya. Tanpa kepatuhan terhadap asas publisitas, seluruh tujuan hukum jaminan fidusia tidak akan pernah tercapai.

Pada akhirnya, reformasi jaminan fidusia bukan sekadar urusan teknis hukum. Ini adalah bagian dari upaya membangun struktur ekonomi nasional yang sehat, modern, dan berkeadilan. Fidusia yang jelas, tegas, dan berpihak pada kepastian hukum akan memberi rasa aman bagi pelaku usaha, memperkuat kepercayaan lembaga keuangan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Indonesia membutuhkan regulasi yang tidak hanya indah di atas kertas, tetapi benar-benar “hidup” dan bekerja bagi masyarakat. Menata ulang jaminan fidusia adalah langkah strategis menuju ekosistem pembiayaan yang lebih adil, transparan, dan berdaya saing.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//