Upaya Bertahan Kelompok Minoritas dan Aktivis Prodemokrasi Menghadapi KUHP Baru
KUHP baru yang berlaku awal 2026 memiliki celah yang merugikan kelompok minoritas. Mereka berusaha bertahan dengan berjejaring dan saling menguatkan.
Penulis Yopi Muharam6 Desember 2025
BandungBergerak - Ahmad Pangarso Agung, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Bandung Raya Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), masih menyimpan jelas ingatan tentang peristiwa yang menimpa komunitasnya di Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, tahun lalu. Saat itu, pada akhir 2024, JAI tengah bersiap menggelar hajatan tahunan mereka, Jalsah Salanah, sebuah pertemuan besar yang rutin diadakan setiap penghujung tahun dan dihadiri ribuan anggota dari berbagai daerah.
Namun rencana itu mendadak berubah. Beberapa hari sebelum acara dimulai, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kuningan mengeluarkan larangan pelaksanaan Jalsah Salanah. Keputusan tersebut langsung berdampak besar bagi peserta yang sudah berdatangan menuju Manislor.
Ribuan anggota JAI yang telah menempuh perjalanan jauh akhirnya tertahan di luar desa. Jalan menuju Manislor diblokade aparat, membuat para jemaat tidak bisa memasuki lokasi acara. Banyak di antara mereka terpaksa menunggu berjam-jam, bahkan berhari-hari, tanpa kepastian apakah kegiatan itu dapat dilanjutkan atau apakah mereka akan diizinkan memasuki desa.
Peristiwa tersebut bukan sekadar pembatalan acara bagi Ahmad, tetapi juga gambaran nyata tentang diskriminasi yang masih dihadapi komunitasnya hingga hari ini.
Kini, kekhawatiran Ahmad belum reda. Diberlakukannya KUHP baru di awal tahun 2026 menjadi pangkal penyebabnya. KUHP tersebut dikhawatirkan menyudutkan kelompok-kelompok minoritas rentan seperti komunitasnya.
“Memang tidak ada (pasal) secara langsung,” ujarnya, Minggu, 9 November 2025. “Enggak tahu nanti kalau diplintir-plintir bagaimana bahasanya.”
Selama ini Ahmad merasa telah menjalankan ibadah keyakinan mereka. Praktik ini bukan kejahatan atau sesuatu yang melanggar hukum.
Menghadapi pemberlakuan KUHP, Jemaat Ahmadiyah Indonesia tentu harus siap. Mereka mesti memperkuat Standar Operasional Prosedur (SOP) sebagai bagian dari mitigasi risiko jika terjadi sesuatu yang menimpa. SOP ini meliputi mengedepankan dialog, pendokumentasian setiap kejadian, dan tidak melakukan perlawanan.
Contoh, tutur Ahmad, pada 2008 silam saat masjid Ahmadiyah dibakar di Parakansalah, Sukabumi, mereka tak melakukan perlawanan apa pun tetapi lebih mengedepankan ruang dialog.
Ahmad percaya bahwa segala tindakan yang melawan hukum bisa diselesaikan lewat jalur hukum pula. Maka dari itu, mereka menjalin kerja sama intens dengan lembaga bantuan hukum seperti LBH Bandung untuk penanganan kasus dan advokasi.
“Karena kami berharap ada keadilan,” tandasnya.
Ahmad berharap KUHP dapat membawa keadilan bagi seluruh warga negara termasuk bagi jemaat Ahmadiyah.
Diketahui, KUHP memiliki sejumlah pasal yang mengatur agama. Pasal 300–305 KUHP mengatur tindak pidana terkait agama dan kepercayaan. Pasal 300 melarang ujaran kebencian terhadap agama atau kepercayaan, Pasal 301 mengatur penyebaran ujaran tersebut, dan Pasal 302 memuat larangan hasutan untuk tidak beragama. Pasal 303–305 menjerat tindakan yang mengganggu kegiatan keagamaan atau merusak sarana ibadah, termasuk rumah ibadah dan pemimpinnya.
Meski terlihat melindungi penganut kepercayaan, pasal-pasal tersebut dikhawatirkan disalahgunakan untuk mengkriminalisasi kelompok minoritas, seperti yang dicemaskan oleh Jujun, bukan nama sebenarnya, penganut Syiah di Kota Bandung.
Jujun masih mengingat peristiwa yang menimpa kelompok Syiah di Sampang, Jawa Timur, 2011 dan 2012 silam. Waktu itu para pengikut Syiah mendapat serangan dari kelompok tak dikenal. Puluhan masyarakat Syiah harus mengungsi dan terluka.
Pemimpin mereka, Tajul Muluk, mendekam di penjara karena divonis bersalah dituduh melakukan penodaan agama. Tajul dikenakan Pasal 156 huruf a KUHP lama tentang penodaan agama.
Peristiwa itu membuat Jujun risau saat mengetahui KUHP baru akan diimplementasikan mulai tahun depan. “Kriminalisasi bisa saja terjadi seperti kepada teman-teman pengikut ahlulbait di sana (Sampang),” ujarnya, kepada BandungBergerak, Jumat, 7 November 2025.
“Setiap kelompok, setiap individu, bisa menafsirkan (KUHP) sangat luas,” jelasnya.
Pasal-pasal di KUHP semakin berbahaya ketika aparat belum memahami secara detail tafsir pasal itu. Di Kota Bandung sendiri, meski tak ada tindakan serupa di Sampang, intimidasi sering terjadi terhadap kelompok Syiah.
Setiap tahunnya golongan Syiah kerap mempringati hari Asyura, peringatan utama dan hari berkabung yang mendalam untuk memperingati terbunuhnya Imam Husein (cucu Nabi Muhammad) bersama keluarga dan sahabatnya dalam Pertempuran Karbala pada tanggal 10 Muharram.
Dalam ingatan Jujun, sudah empat kali hari peringatan Asyura di Bandung mengalami gangguan dari kelompok intoleran. Atas rentetan kejadian itu ditambah adanya KUHP baru, Jujun menegaskan kelompoknya tak tinggal diam. Pihaknya gencar melakukan pelatihan mitigasi hukum dan berjejaring dengan lintas kelompok. Tujuannya untuk menghindari kriminalisasi yang dikhawatirkan menimpa kelompoknya.
“Jadi kolaborasi itu bisa membuka jalur-jalur lain yang menghasilkan ruang aman,” jelasnya.
Dia berharap KUHP Baru ini bisa menjadi benteng pelindung bukan malah sebaliknya. “Nah, harapannya justru KUHP ini bisa membantu gitu, bukan lagi justru digunakan untuk membatasi,” ucapnya.

Diskriminasi Menjerat Kelompok Minoritas
Di masa KUHP lama, kasus hukum yang menjerat kelompok minoritas kerap terjadi di Indonesia. Salah satu yang mencuat menimpa Meiliana, perempuan asal Tanjung Balai, Sumatera Utara yang ditahan karena mengeluhkan volume pengeras suara masjid.
Di tahun 2016, Meiliana dijerat pasal 156a KUHP lama karena dianggap melakukan penodaan agama, dengan vonis 18 bulan penjara. Meiliana ditahan sejak 30 Mei 2018 dan akhirnya bebas bersyarat pada 21 Mei 2019, setelah menjalani hukuman sekitar satu tahun.
Kasus itu disinggung oleh Albertus Patty, pendeta dari Gereja Kristen Indonesia Maulana Yusuf sebagai refleksi akan diberlakukannya KUHP baru, saat seminar di Gereja Utusan Pantekosta (GUP), Bandung, Senin, 24 November 2025.
Seminar bertajuk ‘KUHP Baru dan Dampaknya Bagi Kebebasan Beragama dan Kehidupan Bergereja’ merupakan inisiatif dari sejumlah perkumpulan gereja di Kota Bandung yang berkolaborasi dengan Jaringan Antar Umat Beragama (Jakatarub) untuk merespons diberlakukannya KUHP baru.
Patty menyebut kasus yang menimpa Meiliana tidak melanggar hukum namun digiring menjadi isu agama. Pengadilan waktu itu menurutnya menggunakan konsep perasaan keagamaan yang terluka, daripada mempertimbangkan permasalahannya. Dalam kasus ini Patty menilai negara tidak mampu melindungi hak warga negara minoritas.
Patty juga menyinggung kasus yang menimpa pemengaruh bernama Lina Mukherjee atas kasus yang sama tentang penistaan agama pada tahun 2023. Lina ditahan akibat video unggahannya yang memakan kulit babi sambil mengucapkan “Bismillah”.
Lina dijerat pasal 45 ayat 2 UU ITE dan divonis dua tahun penjara dan denda 250 juta rupiah subsider tiga bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri Palembang karena dinilai sengaja menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian berdasarkan agama.
Menurut Patty, tindakan Lina adalah ekspresi personal tanpa niat menyerang kelompok tertentu. Bahkan proses hukumnya pun dipicu oleh viralitas media sosial dan tekanan publik. Perempuan asal Palembang itu akhirnya dinyatakan bebas bersyarat pada November 2024 setelah mendekam selama 1 tahun 6 bulan.
Dari kedua kasus itu, Patty menyebut adanya asymmetric law enforcement atau laporan kelompok mayoritas yang langsung memicu penanganan cepat. Terlebih menurutnya hukum digunakan sering tidak netral.
Ia menyinggung aturan tentang agama di KUHP baru. Pasal penodaan agama yang selama ini menyasar pada kelompok minoritas memang tak lagi digunakan di KUHP baru. Meski demikian dia menilai bahwa substansi persoalan lama masih ada. Ia juga menyoroti pasal 300-305 tentang agama dan kepercayaan yang lebih melindungi agama daripada pemeluknya. Begitu juga dengan pasal 300 KUHP yang dianggap multitafsir dan bisa digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok minoritas.
Meskipun KUHP baru diklaim lebih baik, Patty menyatakan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi kelompok rentan masih tetap ada. “Kaum minoritas paling mudah dikriminalisasi,” tegasnya.
Sementara itu, Paulus Wijono, pendeta dari PGIW Jawa Barat menegaskan pentingnya edukasi dan sosialisasi awal terkait KUHP baru. Menurutnya ada hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian agar pasal yang multitafsir bisa dipahami dengan lebih baik.
“Kekhawatiran kita tidak boleh terlalu berlebihan tetapi juga kita harus memahami dengan baik terkait pasal yang dianggap karet,” jelasnya.
Upaya Mitigasi
Risdo Simangunsong, Presidium Jaringan Antar Umat Beragama (Jakatarub), menyadari bahwa sejak KUHP lama, kelompok rentan sudah sering menghadapi tindakan represif dari kelompok intoleran. Karena itu, ia menekankan pentingnya pemahaman hukum yang memadai dalam menghadapi pemberlakuan KUHP baru.
Sebagai organisasi yang fokus pada kampanye kerukunan antarumat beragama, Jakatarub terus meningkatkan kesadaran dan kapasitas komunitas untuk memitigasi potensi pelanggaran—termasuk membangun jaringan paralegal, memahami regulasi, dan mendorong tafsir hukum yang lebih humanis.
Jakatarub juga bekerja sama dengan aparat penegak hukum dan rutin mengadakan pelatihan serta lokakarya bagi kelompok rentan untuk memperkuat pemahaman mereka terkait isu hukum dan intoleransi.
“Jakatarub pasti mengembangkan supaya komunitas-komunitas lebih aware (terhadap isu rentan),” tutur Risdo.
Namun, jika merujuk pada data, pelanggaran terhadap kebebasan beragama berkeyakinan di Indonesia masih menghadapi jalan terjal. Penelitian SETARA Institute tahun 2024 menunjukkan Jawa Barat kembali menempati posisi tertinggi pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) dengan 38 peristiwa, meski turun dari 47 kasus pada 2023. Di bawahnya, Jawa Timur mencatat 34 peristiwa, DKI Jakarta 31, Sumatera Utara 29, Sulawesi Selatan 18, dan Banten 17.
Secara nasional, sepanjang 2024 terdapat 260 peristiwa dan 402 tindakan pelanggaran KBB. Jumlah ini berfluktuasi antarprovinsi.
“Jawa Barat menjadi salah satu provinsi yang hampir selalu masuk 5 besar kasus pelanggaran KBB selama 18 tahun terakhir,” tulis laporan SETARA Institute, diakses Jumat, 1 Desember 2025.
Aktor negara paling banyak terlibat antara lain pemerintah daerah (50 tindakan), kepolisian (30), Satpol PP (21), serta masing-masing 10 tindakan oleh TNI dan kejaksaan, dan 6 tindakan oleh Forkopimda.
Pelanggaran oleh aktor nonnegara juga tinggi: ormas keagamaan (49 tindakan), kelompok warga (40), individu warga (28), Majelis Ulama Indonesia (21), ormas umum (11), individu lain (11), dan tokoh masyarakat (10). Total pelanggaran meningkat tajam dari tahun sebelumnya yang mencatat 217 peristiwa dan 329 tindakan.

Ditolak Sejak Lahir
KUHP tidak lahir dari ruang hampa. Undang-undang ini gencar mendapat protes dan penolakan dari organisasi masyarakat sipil. Pada September 2019, gelombang demonstrasi besar muncul karena menilai RKUHP memiliki pasal yang kebebasan berpendapat dan mengatur ketat urusan privat seperti perzinaan dan kohabitasi. Publik mendesak agar pasal-pasal yang berpotensi membatasi kebebasan berekspresi warga negara dihapus. Pemerintah kemudian menunda pembahasan hingga 2022.
Namun pada 6 Desember 2022, DPR RI mengesahkan RKUHP, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Sejumlah pasal yang dinilai mengekang kebebasan berekspresi tetap dipertahankan, seperti Pasal 218–220 mengatur delik penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Ada pula Pasal 240 memuat ancaman pidana hingga 1 tahun 6 bulan bagi siapa pun yang menghina pemerintah atau lembaga negara di muka umum. Lalu, Pasal 241 menjerat penghinaan melalui tulisan, gambar, rekaman, atau teknologi informasi di ruang publik dengan ancaman penjara hingga 3 tahun.
Bagaimana aktivis pro demokrasi merespons pemberlakuan KUHP? Fay, pegiat Aksi Kamisan Bandung mengungkapkan pemerintah lewat aturan baru ini tengah mengawasi dan membatasi masyarakat lewat pasal-pasal KUHP bermasalah. KUHP baru dinilai bakal mengkriminalisasi masyarakat sipil yang mengkritik kebijakan pemerintah.
“Ini menjadi alarm pengingat untuk kita semua bahwa negara lagi-lagi menggunakan hukum sebagai alat mengontrol warganya,” ujarnya, Rabu, 8 November 2025.
Bahkan pasal tentang penghinaan terhadap lembaga negara dan penghinaan presiden dan wakil presiden dihidupkan kembali. Padahal sebelumnya pasal-pasal tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi lewat putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV-2006.
Aksi Kamisan Bandung sendiri sudah berjalan hampir 10 tahun atau sejak 2016. Setiap aksi para pegiat Kamisan membawa keresahannya lewat poster tulisan atau lisan dengan mengkritik pemerintah, terutama menuntut para pelaku pelanggar HAM berat di masa lalu diadili.
Kekhawatiran Fay berlanjut di pasal 256 tentang demonstrasi tanpa pemberitahuan. Pasal itu berbunyi setiap orang yang menyelenggarakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di tempat umum tanpa menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada pejabat yang berwenang, yang mengakibatkan gangguan ketertiban umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan.
“Kita tidak terlalu menghiraukan terkait izin. Karena melakukan aksi adalah bagian dari kebebasan kita untuk merebut hak-hak kita selaku warga negara,” tegasnya, seraya menambahkan bahwa Aksi Kamisan Bandung akan terus digelar.
Menurutnya, Aksi Kamisan Bandung merupakan unjuk rasa damai yang demokratis.
Baca Juga: Merangkul Keberagaman Identitas Gender, Mengadang Raperda Diskriminatif di Bandung
Menyingkap Payung Hukum yang Mempertebal Stigma, Kelompok Rentan semakin Dipinggirkan
Pasal Karet
Yunita, dosen Hukum Pidana Universitas Katolik Parahyangan, menilai KUHP baru secara umum tidak banyak berbeda dari aturan lama. Perbedaannya terutama pada gaya penulisan unsur pasal. Ia menegaskan, KUHP baru menekankan pemidanaan sebagai sarana pembinaan, pencegahan, dan pemulihan—bukan sekadar penghukuman seperti dalam KUHP Lama.
Meski begitu, ia menyoroti masih adanya pasal yang berpotensi karet, terutama terkait penghinaan terhadap kepala negara dan lembaga negara. Menurutnya, definisi pencemaran nama baik masih kabur dan rawan disalahgunakan karena batas antara kritik dan “merusak citra” pemerintah tidak jelas.
“Bagaimana membedakan kritik dengan merusak citra ketika ada kebijakan yang merugikan?” ujarnya, Kamis, 6 November 2025.
Yunita juga mengingatkan bahwa baik KUHP lama maupun baru sama-sama dipengaruhi warisan hukum kolonial. Ia menyoroti pula Pasal 256 tentang pemberitahuan demonstrasi. Aturan ini sebenarnya sudah diatur dalam UU No. 9/1998, dan pelanggarannya bersifat administratif. Karena itu, menurutnya, tindakan demonstrasi tanpa pemberitahuan seharusnya tidak dipidana. Ia juga mengingatkan bahwa masyarakat tetap harus kritis dalam menyikapi KUHP baru.
Aktivis yang Ditangkap karena Demonstrasi
KUHP memang baru akan berlaku tahun depan. Namun sepanjang tahun 2025, aparat berdasarkan KUHP lama telah melakukan penangkapan terhadap massa aksi dengan jumlah ribuan. Amnesty Indonesia mencatat dalam setahun terakhir 5.538 orang jadi korban penggunaan kekuatan eksesif dan kekerasan aparat lainnya.
Tindakan berlebihan itu terjadi saat masyarakat memprotes pengesahan UU TNI pada Maret 2025, menuntut kesejahteraan buruh pada Mei 2025, dan menolak kenaikan tunjangan DPR RI pada Agustus 2025. Amnesty Indonesia merinci, jumlah penangkapan sebanyak 4.453 korban, kekerasan fisik 744 korban, dan penggunaan water cannon dan gas air mata sebanyak 341 korban.
Sementara temuan KontraS memaparkan sepanjang periode itu terdapat 42 pembubaran paksa dan 46 penangkapan sewenang-wenang. Dari total 89 peristiwa kekerasan terhadap kebebasan sipil, KontraS menyebut terdapat lebih dari 800 orang yang ditangkap dan setengahnya menjadi korban kekerasan hingga mendapat luka ringan hingga berat.
Kasus kekerasan ini terus berlanjut pascatragedi Agustus Kelabu yang menimbulkan korban jiwa hingga penangkapan dengan jumlah mencapai 3.195 di berbagai daerah di Indonesia. Sementara itu, yang dijadikan tersangka berjumlah 959 orang.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp Kami

