KISAH CIKOLE #4: Dari Hotel Tangkuban Prau, Peternakan Sapi Keluarga De Kock, hingga Saksi Masuknya Tentara Jepang
Kawasan utara Cikole, Lembang, menyimpan banyak kisah. Dari hotel megah, peternakan sapi era kolonial, hingga cerita pendudukan Jepang di Lembang.

Malia Nur Alifa
Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian
6 Desember 2025
BandungBergerak.id – Apabila kita melaju menuju utara kawasan Cikole, Lembang, kita akan merasakan semakin berada di ketinggian maka hawa semakin terasa menusuk tulang dan aroma pinus semakin menyeruak. Dahulu kawasan indah ini menjadi sebuah tempat budi daya kopi, namun seiring waktu berjalan kawasan utara Cikole ini berubah menjadi hutan pinus dan terdapat beberapa perkebunan sayur yang dikembangkan oleh warga Eropa.
Selain perkebunan sayuran, di utara Cikole pun terdapat satu buah hotel megah yang tak banyak orang tahu kisahnya. Mungkin sebagian orang hanya berpatokan bahwa hotel legendaris di Lembang hanyalah Grand Hotel Lembang, namun, jauh di utara Cikole terdapat sebuah hotel indah yang juga sama-sama digandrungi wisatawan pada masa kolonial, hotel tersebut bernama Hotel Tangkuban Prau.

Hotel tersebut berada di sebuah lembah yang indah, kita dapat melihat dengan jelas pemandangan patahan Lembang sektor timur dari teras hotelnya. Hotel Tangkuban Prau pun memiliki kolam renang dan lapangan tenis seperti Grand Hotel Lembang. Hotel ini memiliki ruangan lobi dan restoran yang unik, sebuah gedung dengan jendala yang melingkar hingga para pengunjung dapat dengan leluasa melihat patahan Lembang sembari menyantap hidangan. Hotel ini sekarang telah berubah fungsi menjadi Dodik Bela Negara, Rindam III Siliwangi.
Salah satu narasumber saya adalah anak turun dari juru masak Hotel Tangkuban Prau, masakan yang paling terkenal dari restoran hotel ini adalah stik daging rusa. Hotel ini memiliki beberapa kamar dengan fasilitas lengkap untuk masanya. Memang tidak sebanyak kamar-kamar di Grand Hotel Lembang, namun kamar-kamar di Hotel Tangkuban Prau tak kalah nyaman.
Kebanyakan para pelancong dari luar kota pada masa kolonial yang hendak berwisata ke Gunung Tangkuban Parahu menginap di Hotel Tangkuban Prau. Letak hotel ini hanya sekitar satu kilo meter dari jalan menuju Kawah Gunung Tangkuban Perahu.

Menurut beberapa narasumber pemilik Hotel Tangkuban Prau bernama Tuan Elman. Ia memiliki rumah indah dengan halaman luas tepat di barat Hotel Tangkuban Prau. Kediaman Tuan Elman ini sekarang telah berubah menjadi restoran sunda Sindangreret Cikole. Di selatan kawasan Sindangreret Cikole ini kita masih dapat menemukan makam Tuan Elman yang konon dimakamkan bersama kuda hitam kesayangannya.
Selain Hotel Tangkuban Parahu, di utara Cikole juga terdapat peternakan sapi perah yang juga bernama Peternakan Tangkuban Prau yang dikelola oleh keluarga L. A. C. de Kock. Letak peternakannya tak jauh dari hotel Tangkuban Prau dan di dalamnya terdapat rumah indah milik keluarga de Kock yang diberi nama Huiz Nanny. Nama Nanny diambil dari nama anak perempuan pertama keluarga de Kock. Keluarga de Kock ini juga berbisnis penanaman kentang bersama Ursone bersaudara di kawasan Manoko.
Baca Juga: KISAH CIKOLE #1: Antara Pisang Kole dan Kopi Kental
KISAH CIKOLE #2: Cerita Pasangan De Rooth dan Maritje, serta Polemik Data Keluarga Dozij
KISAH CIKOLE #3: Kebun Stroberi Boemi Hajoe
Masuknya Serbuan Tentara Jepang
Ketika meriset kawasan Cikole di tahun 2012 hingga 2013, banyak narasumber mengatakan bahwa ribuan tentara Jepang hidup di Lembang mereka selama pendudukan Jepang, hingga akhirnya dikalahkan pihak Sekutu pada masa bersiap. Dahulu ketika Jepang memasuki Lembang pada 6 hingga 8 Maret 1942, ribuan tentara Jepang menaiki sepeda khas mereka yang dapat dilipat. Mereka memegang kemudi sepeda dengan tangan kirinya dan tangan kanannya membawa katana yang digeratkan ke jalan raya hingga menimbulkan percikan api, itulah deskripsi yang saya peroleh dari berbagai narasumber yang saya temui.

Hingga akhirnya saya pun menemukan data lisan lainnya dari para petugas keamanan kebun percobaan Balitsa yang mengatakan bahwa di salah satu sudut balai terdapat kuburan masal tentara Jepang. Saya mencoba mencari fakta pembanding dari situs-situs Belanda dan saya pun akhirnya menemukan kisah tersebut pada koran Het Dagblad tanggal 13 Maret 1946 no 117.
Dalam koran tersebut dituliskan dengan rinci bahwa ditemukan 4.000 tentara Jepang di kawasan Cikole yang akhirnya menyerah kepada pasukan Sekutu. Terdapat satu orang Jepang yang tertinggal dan akhirnya terus menetap di Lembang hingga ia tua, kisah ini pernah saya ulas dalam tulisan Kisah Kamsuy dan Djarkasih.
Dalam ulasan di koran diatas dikisahkan pula bahwa para Jepang yang melarikan diri ke Pasar Lembang (pasar lama) sebanyak 30 orang, namun akhirnya berhasil ditangkap, sebagian dari mereka dieksekusi dan dimakamkan di salah satu sudut balai pertanian di Cikole.
Kawasan Cikole bukan hanya sebuah kawasan hijau penuh dengan sarana untuk liburan, namun, kisah dibalik sejarahnya penuh dengan kejutan yang mungkin banyak dari warganya sendiri belum mengetahuinya. Semoga hasil riset saya ini dapat memberikan gambaran akan sejarah masa lalu kawasan Cikole, dan dapat bermanfaat bagi para warganya. Terkadang kisah sejarah yang paling menarik datang dari kawasan tempat kita tinggal, dari sebuah jalanan yang sering kita lewati yang bahkan sering kita abaikan, disanalah sebetulnya residual dari kisah masa lalu itu tumbuh, untuk memberikan kita semua wejangan agar dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Kisah ini adalah kisah penutup kolom Telusur Sejarah Lembang di BandungBergerak untuk tahun 2025 ini, kepada seluruh pembaca setia kolom saya, saya haturkan banyak sekali terima kasih. Tahun 2025 memang tahun yang tidak mudah, dan sampai bertemu dalam kisah-kisah hasil riset saya di tahun depan.
***
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang

