Renungan Musim Hujan, Jejak Duka di Sungai Cikapundung
Pameran Susur Baur menampilkan karya yang menggugah, memanggil memori akan tiga santri yang terseret arus pada Maret 2024.
Penulis Salma Nur Fauziyah8 Desember 2025
BandungBergerak - Nahas menimpa tiga santri Ponpes Nurul Huda satu tahun yang lalu. Ketika sedang asyik berenang dan mandi di Sungai Cikapundung, mereka hanyut dan terseret arus. Pencarian dilakukan semenjak mereka dinyatakan hilang pada Kamis, 7 Maret 2024 lalu. Tiga hari berselang, dua jasad santri ditemukan. Satu santri lainnya menghilang hingga saat ini.
Rasa duka sangat membekas bagi mereka yang ditinggalkan. Orang tua, keluarga, hingga rekan-rekan mereka yang berharap orang yang menghilang itu kembali ditemukan. Charity Damarisa, Kalyanarga Rizal, dan Muhammad Fathan merespons duka cita mereka melalui instalasi karya seni berjudul “Buih Bisu Sungai Cikapundung”.
Karya mahasiswa dari IA Unpar itu tampak sederhana. Sebuah video berlatar hitam dan hanya menampilkan takarir percakapan mengenai kasus hanyutnya ketiga santri tersebut yang salah satu dari mereka belum ditemukan. Dalam karya ini watak sungai berusaha diperkenalkan lewat pandangan dan percakapan bersama warga sekitar.
“Sungai seolah-olah menjadi saksi bisu yang menyimpan perasaan dan pesan yang sulit terungkapkan,” demikian takarir instalasi seni “Buih Bisu Sungai Cikapundung”, di pameran Mengalir, Menyusur, Membaur (Susur Baur) di Museum Kota Bandung, Jalan Aceh, berlangsung 28 November – 7 Desember 2025.
Di pameran yang diinisiasi Komunitas Cikapundung dan Disbudpar Bandung, selain karya Charity dkk juga terdapat instalasi foto sumur Bandung oleh komunitas Raws ataupun zine yang berisi tanaman liar yang tumbuh sepanjang bantaran Sungai berjudul Susur Baur: Telusur Tanaman oleh Tiara Bachtiar, seorang perajin botani dari Renjana Craft.
Ara (panggilan akrabnya) turut memamerkan tanaman tersebut dalam keadaan terkompres (pressed) yang ditampilkan dalam pigura foto. Lewat kegiatan Susur Baur pada 11 Mei 2024 dan mengandalkan memori dari masa kecil setya internet, Ara mengidentifikasi tanaman yang ia temukan selama ekspedisi. Tanaman tersebut dipercaya bekhasiat sebagai obat, di antaranya babadotan hingga kremah/jatinangor.

Berawal dari Kegiatan Susur Sungai
“Sungai tidak pernah sekadar air yang mengalir. Ia adalah ingatan, lintasan sejarah, ruang perjumpaan, sumber kehidupan, sekaligus cermin dari relasi manusia dengan alam dan sesamanya,”kata Gian Ergiansyah, dalam teks pendahuluan pameran Mengalir, Menyusur, Membaur (Susur Baur).
Saat diwawancara, Gian Ergiansyah, akrab disapa Gabriel, menyatakan bahwa pameran ini lahir dari sebuah kegiatan menyusuri tepian Sungai Cikapundung bernama Susur Baur. Kegiatan ini sudah dimulai sekitar tahun 2022 dan berjalan hingga kini.
Karena memiliki latar belakang ilmu sosial, Gian meyakini bahwa persoalan pencemaran sungai ini berkaitan dengan hubungan antara manusia dan sungai itu sendiri. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan membuat kegiatan ini.
“Awalnya teman-teman aja gitu. Teman-teman tapi kebenaran teman-teman itu multi banget. Ada yang seniman, ada yang akademisi,” cerita Gian.
Dari sana, banyak orang yang akhirnya ikut. Pengalaman yang unik bagi Gian adalah bagaimana para peserta yang baru terjun kegiatan tidak salah berkenalan di awal. Namun, seiring perjalanan menyusuri bantaran sungai sepanjang 28 km, interaksi antar sesama mulai terbentuk.
Narasi yang ingin dibangun Gian dan komunitasnya adalah bagaimana manusia merespons tentang sungai, khususnya Cikapundung. Banyak sekali orang yang ikut tidak memiliki hubungan dengan Sungai Cikapundung.
Respons yang ditangkap oleh para peserta kegiatan, beberapa tertuang dalam pameran ini dalam bentuk karya.
“Kita sebenarnya enggak mengarahkan, ‘Kamu harus bikin ini ya, kamu harus bikin ini’," cerita Gian.
Baca Juga: Hujan Ekstrem dan Kerusakan Hutan Mempercepat Terjadinya Banjir di Cililin dan Bandung Selatan
Membaca Ci Tarum dan Ci Manuk dalam Peta VOC MS VEL 1161
Membaca Sungai: Antara Bumi dan Imajinasi
Pembukaan pameran dibuka lewat diskusi dengan tajuk “Membaca Sungai: Antara Bumi dan Imajinasi”. Diskusi ini menampilkan tiga pembicara membaca sungai dari sudut pandang berbeda; mulai dari geologi, ekologi, kultur, hingga seni.
Dimulai dari T. Bachtiar, yang membaca sungai dari keterkaitannya dengan bentang geografi alam Bandung Raya.
Sungai Cikapundung penamaanya diambil dari buah kapundung. Sungia terpanjang di Kota Bandung ini pembentukannya tidak terlepas dari letusan gunung api beratus-ratus tahun lalu. Curug Dago, misalnya, ditemukan endapan lava 40 ribu tahun lalu, hasil dari letusan Gunung Tangkuban Parahu.
Bukti itu diperkuat dengan keberadaan Batu Kareumbang Dayang Sumbi atau Batu Batik di kawasan Tahura juga ditemukan di pinggiran sungai Cikapundung. Sebuah endapan lava yang bentuknya seperti gulungan rotan (Pahoehoe). Sebelumnya fenomena ini ditemukan juga di negara Hawaii.
Sebagai nadi kota Bandung, Bachtiar mencoba merunutkan kegunaan sungai bagi maslahat masyarakat kota. Selain menjadi sumber air bagi warga, debit airnya yang deras menjadi energi listrik untuk masyarakat kota dan jika dikelola dengan baik maka bisa menjadi sumber drainase alami Kota Bandung.
Namun, dengan kondisi sungai yang memprihatinkan, keuntungan tersebut urung terlaksana secara maksimal. Terlebih bantaran sungai yang makin hari banyak dibeton. Kemampuan sungai untuk menjernihkan air lewat tanaman yang tumbuh di bantaran hilang.
“Fungsi ekologisnya hilang,” jelasnya.
Mardiansyah Nugraha dari TACB Kabupaten Bandung berbagi mengenai posisi Sungai Cikapundung dalam sisi sosial-budaya. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari hulu Sungai yang berada di Gunung Bukit Tunggul. Jejak-jejak peradaban manusia ditemukan lewat punden berundak dan peninggalan megalitikum lainnya.
Pembukaan lahan yang awalnya dilakukan oleh pihak kolonial mengubah lanskap pandangan masyarakat mengenai sungai.
“Nah, yang menarik itu adalah bagaimana si orang-orang Belanda itu memisahkan kita, orang-orang tanah pribumi, dengan model-model. Ketika setelah banjir dirapikan atau bahasa resminya itu ditata,” ujar Mardiansyah.
Terakhir, Endira F. Julianda yang menyampaikan pandangannya soal sungai lewat praktik seni. Lewat proyek yang dilakukan bersama Labtek Apung pada 2021 lalu di daerah Muara Gebang, Bekasi Utara, Endira menjelaskan bagaimana seni bisa menaggapi krisis antropogenik di kawasan tersebut.
*Reportase ini mendapatkan dukungan data dari reporter BandungBergerak Prima Mulia dan Awla Rajul. Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp Kami

