• Buku
  • RESENSI BUKU: Hujan, Bandung, dan Kisah Cinta Hema

RESENSI BUKU: Hujan, Bandung, dan Kisah Cinta Hema

Wulan Nur Amalia berhasil membuktikan bahwa cerita cinta bisa disampaikan tanpa gemuruh, tanpa air mata berlebihan dalam When The Rain Meets Hema.

Sampul buku When The Rain Meets Hema karya Wulan Nur Amalia. (Foto: Rahmalia Huriyah Roihanah)

Penulis Rahmalia Huriyah Roihanah14 Desember 2025


BandungBergerak.idHalo, ini Hemachandra. Buku Bandung After Rain adalah buku yang sangat indah. Namun, biarkan aku menulis semua hal yang terlewat dari dalam buku itu. Tentang perasaanku, tentang semua hal dari sudut pandangku, tentang kisah bersama gadis cantik di Bandung, juga tentang manusia setengah alien yang diberi nama Barudak Babandungan.

When The Rain Meets Hema adalah novel terakhir dari kisah Hema dan Ra, yang diterbitkan oleh Wulan Nur Amalia pada 2025. When The Rain Meets Hema bukan sekuel dari Bandung After Rain, novel ini merupakan sisi lain dari Bandung After Rain.

Kisah Cinta Hema

Di tengah banyaknya cerita cinta yang biasanya berakhir bahagia atau tragis, When The Rain Meets Hema berdiri di antara keduanya. Wulan Nur Amalia menghadirkan cerita yang lebih tenang, lebih tulus, dan lebih manusiawi. Novel ini tidak hanya menceritakan bagaimana dua orang saling jatuh cinta, melainkan juga bagaimana mereka belajar untuk berdamai dengan masa lalu, dengan diri mereka sendiri, dan akhirnya dengan satu sama lain.

Tokoh utama novel ini adalah Hemachandra, atau akrab dipanggil Hema. Tokoh ini pertama kali muncul di novel Bandung After Rain. Jika di buku sebelumnya Hema digambarkan sebagai lelaki yang romantis, di novel ini Wulan menggambarkan sisi lain Hema seorang manusia yang sedang kehilangan arah setelah ditinggalkan cinta. Tidak lagi tentang bagaimana ia mencintai, tetapi bagaimana ia menanggung kehilangan.

Putus cinta membuat Hema kehilangan keseimbangan. Skripsinya terbengkalai, rutinitasnya berantakan, dan hidupnya tampak kehilangan arti. Ia merasa menyesal dengan keputusan yang diambilnya, namun pintu maaf dari Rania sudah tertutup rapat. Dalam keputusasaan itu, Hema kerap melihat Rania bersama Jeano sahabatnya sendiri, yang diam-diam juga menyimpan perasaan lama.

Kabar itu awalnya terdengar ringan, sekadar desas-desus yang dibawa angin kampus. Tapi kemudian, Hema mendengar sebuah pengakuan saat usia Jeano dan Rania terbilang masih sangat muda, mereka bertemu dan berjanji untuk menikah ketika dewasa nanti. Janji polos di antara dua anak kecil, tapi bagi Hema, kisah itu sangat menyayat hati.

Sejak judulnya, hujan sudah menjadi simbol utama dalam novel ini. Dalam When The Rain Meets Hema, hujan hadir hampir di setiap bab. Hujan bukan hanya sebagai latar suasana, tetapi juga sebagai simbol perjalanan batin. Ia menjadi benang merah yang mengikat seluruh perasaan dalam buku ini. Hujan menandai perpisahan, kesedihan, dan juga pertemuan kembali. Di tangan Wulan, hujan menjadi cara semesta berbicara. Tidak pernah mengangkat suara, namun selalu meninggalkan jejak.

Wulan menjadikan hujan bukan sekadar elemen estetika, melainkan juga metafora eksistensial. Setiap tetesnya seperti percakapan diam antara Hema dan dirinya sendiri. Ia tidak hadir hanya sebagai ornamen puitis, tapi bagian dari struktur cerita. Pembaca diajak memahami bahwa hidup seperti hujan, tidak bisa dikendalikan. Ia datang dan pergi dengan caranya sendiri. Tapi selalu meninggalkan kesegaran setelah reda.

Bandung bukan sekadar latar. Kota ini hidup dan bernafas bersama cerita. Kota ini menjadi tokoh tambahan. Wulan berhasil menangkap nuansa Bandung yang lembut dan dingin, tapi juga akrab dan penuh kenangan.

Setiap sudut kota menjadi bagian dari perjalanan batin Hema: jalanan yang basah setelah diguyur hujan, lampu oranye yang berpendar, dan kafe kecil. Semua terasa autentik, seperti kita pernah berada di sana. Kota ini bukan sekadar tempat tinggal Hema, melainkan cermin dari suasana hatinya. Mungkin karena penulisnya sendiri begitu dekat dengan kota itu. Wulan menulis Bandung seperti seseorang yang menulis tentang rumah. Dengan rasa kasih yang tulus, tetapi sangat mendalam.

Kehadiran Jeano, Nathan, dan Revan memberikan warna pada cerita ini agar tidak terjebak dalam kesedihan. Mereka berperan sebagai penyeimbang, menertawakan Hema saat ia terlalu serius, memberinya semangat melalui lelucon saat ia terlalu larut dalam kerinduan.

Bersama tiga sahabatnya Jeano, Nathan, dan Revan. Hema membentuk band kecil bernama Barudak Babandungan. Ketika video penampilan mereka viral, bukan ketenaran yang membuat Hema bahagia, melainkan rasa bahwa hidupnya kembali punya tujuan. Musik menjadi bentuk terapi; nada-nada sederhana yang mereka mainkan adalah cara mereka menertawakan kepahitan.

Kisah tentang Barudak Babandungan membawa warna baru di tengah patah hati Hema yang berat. Wulan membuat cerita terasa lebih hidup, lebih dinamis. Pembaca bisa merasakan semangat masa muda yang campur aduk antara idealisme, keresahan, dan tawa.

Dengan hadirnya mereka, Wulan menulis tentang persahabatan laki-laki yang jarang diungkapkan dengan cara sehalus ini. Hubungan antar mereka tidak terkesan maskulin berlebihan, tetapi penuh kehangatan dan empati. Wulan juga menunjukkan bahwa di balik setiap luka, selalu ada ruang untuk bersenandung. Bahkan di tengah kesedihan, manusia tetap bisa menciptakan harmoni.

Seperti hujan yang tidak selalu sempurna, novel ini juga punya sisi basah dan keringnya sendiri. Kekuatan terbesar novel ini terletak pada kejujuran dan ketenangan narasinya. Bahasanya puitis, tapi mudah dicerna. Simbol hujan yang konsisten membuat cerita terasa utuh. Penokohan Hema juga sangat realistis, lemah tapi berjuang, jatuh tapi tetap berusaha bangkit.

Namun, beberapa bagian masih terlalu reflektif. Monolog panjang Hema kadang bisa melelahkan bagi pembaca yang lebih menyukai dialog hidup. Tapi kelemahan itu tertutupi oleh kekuatan atmosfer dan gaya tutur halus.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Menolak Sejarah yang Disunting Kekuasaan
RESENSI BUKU: Wabi Sabi, Izin untuk Tidak Sempurna
RESENSI BUKU: Perempuan Melawan Arus Tradisi Kawin Tangkap

Pesan dan Relevansi

Di luar kisah romantisnya, novel ini juga relevan dengan realitas anak muda hari ini, generasi yang tumbuh dalam tekanan sosial dan ketakutan akan kegagalan. Hema adalah representasi mereka yang kehilangan arah di tengah ekspektasi akademik, keluarga, dan cinta.

Kisah ini menjadi semacam pengingat bahwa kegagalan bukan akhir. Kadang, justru dari kegagalan itulah kita belajar mengenali diri sendiri. Dalam dunia yang menuntut kita untuk selalu baik-baik saja, Hema hadir sebagai sosok yang berani mengakui bahwa ia tidak baik-baik saja, dan itu tidak apa-apa.

When The Rain Meets Hema adalah novel yang lembut tapi tajam. Ia tidak menonjolkan konflik besar, tapi menghadirkan perjalanan batin yang terasa nyata.

Wulan Nur Amalia berhasil membuktikan bahwa cerita cinta bisa disampaikan tanpa gemuruh, tanpa air mata berlebihan. Ia juga menulis tentang luka, tapi juga harapan. Tentang perpisahan, tapi juga tentang pulang.

Dan ketika halaman terakhir Hema dan Rania akhirnya bersama, pembaca tidak lagi mencari akhir yang sempurna. Karena kita tahu, dalam hidup yang riuh dan penuh luka, menemukan kedamaian adalah bentuk cinta yang paling besar.

Informasi Buku

Judul: When The Rain Meets Hema

Penulis: Wulan Nur Amalia

Penerbit: Black Swan Books/PT Sinar Angsa Media Black Swan Jakarta

Cetakan: Pertama, April 2025

Tebal: 206 halaman

ISBN: 978-623-89843-0-5

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp Kami

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//