• Berita
  • Menolak Lupa Pemberangusan Buku di Bandung Melalui Pameran Arsip, Diskusi, dan Musik

Menolak Lupa Pemberangusan Buku di Bandung Melalui Pameran Arsip, Diskusi, dan Musik

Memberangus, menyita buku sama dengan menghapus ingatan kolektif. Pameran kliping dan diskusi dari lintas komunitas di Bandung menolak pembatasan literasi.

Rangkaian pameran dan diskusi mengangkat tema pemberangusan buku di Aula Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Rabu malam, 10 Desember 2025. (Foto: Insan Radhiyan/BandungBergerak)

Penulis Insan Radhiyan Nurrahim, 15 Desember 2025


BandungBergerak - Pemberangusan buku menjadi paradoks besar dalam praktik literasi di Indonesia. Di Bandung, pemberangusan buku dan diskusi kerap berulang pascareformasi 1998. Terbaru, maraknya penyitaan buku setelah demonstrasi memprotes ketidakadilan negara pada Agustus-September lalu.

Bagi Fazlan Larqi, siswa SMA PPI 24 Rancaekek sekaligus pegiat buku, ia melihat fenomena pemberangusan buku (bibliosida) sejak duduk di jenjang Tsanawiyah atau SMP, ketika membaca novel Perpustakaan Kelamin yang membahas penghancuran buku di berbagai era dunia. Dari sana ia menyadari bahwa bibliosida bukan sekadar peristiwa politik sesaat, melainkan pola sejarah yang berulang sejak zaman kuno.

“Ini bukan fenomena baru, yang berubah hanya polanya,” ujar Fazlan, di rangkaian pameran dan diskusi mengangkat tema pemberangusan buku di Aula Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Rabu malam, 10 Desember 2025.

Diskusi ini membuka ruang bagi para peserta pelajar, pegiat buku, musisi, hingga pengunjung umum untuk melihat ulang fenomena pemberangusan buku yang kembali mencuat baru-baru ini. Diwarnai pameran kliping, pembacaan arsip, dan pemutaran single baru dari band Kelas Detensi, acara ini menghadirkan suasana yang tidak hanya informatif tetapi juga reflektif.

Fazlan, salah seorang peserta diskusi tersebut, mengatakan penghancuran dan pelarangan buku sering kali justru dilakukan oleh orang-orang yang membaca, bukan hanya oleh mereka yang antibacaan. Ia menyebut contoh klasik seperti pembakaran buku oleh Nazi yang turut dipengaruhi tokoh intelektual seperti Heidegger.

Hal serupa, baginya, bisa terbaca dalam dinamika perbukuan di Indonesia hari ini di mana alasan politik dan moral kerap bercampur menjadi dasar pembatasan akses terhadap buku. Dari sini ia melihat paradoks bahwa di satu sisi pemerintah sisi gencar menyerukan peningkatan literasi, tapi di di sisi lain justru membatasi bacaan tertentu.

Bagi pelajar seperti Fazlan, pelarangan buku justru menumbuhkan rasa ingin tahu. Ia mengisahkan bagaimana orang tuanya dulu mengingatkan agar berhati-hati membaca buku karya akademisi seperti Jalaludin Rakhmat, padahal buku yang ia baca hanyalah retorika modern yang membahas cara berargumen dan penyampaian pendapat yang baik.

“Semakin dilarang, semakin penasaran,” kata Fazlan.

Motivasinya membaca buku-buku di luar buku pelajaran sekolah bukan semata untuk menambah wawasan, tetapi untuk memiliki perspektif lain di luar pengetahuan yang disodorkan kurikulum. Aktivitas ini dirasa mampu memperkaya diskusi di kelas dan membuat proses belajar tidak lagi berjalan satu arah.

“Saya ingin punya sudut pandang baru. Supaya ketika pelajaran berlangsung, kita bisa merespons, bertanya, saling menghubungkan,” ujarnya.

Baginya, kebebasan membaca bukan hanya soal akses terhadap buku, tetapi tentang kesempatan bagi generasi muda untuk membentuk cara pandang mereka sendiri tanpa ketakutan yang diwariskan.

Rangkaian pameran dan diskusi mengangkat tema pemberangusan buku di Aula Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Rabu malam, 10 Desember 2025. (Foto: Insan Radhiyan/BandungBergerak)
Rangkaian pameran dan diskusi mengangkat tema pemberangusan buku di Aula Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Rabu malam, 10 Desember 2025. (Foto: Insan Radhiyan/BandungBergerak)

Keteladanan Ajip Rosidi dan Pram

Kebebasan membaca membawa pembaca pada penggalian sejarah masa lalu. Barli membeberkan riwayat tiga tahun Klub Buku Laswi, komunitas yang ia gawangi bersama Deni Rachman Lawang Buku. Klub ini mengkaji karya-karya Ajip Rosidi dan Pramoedya Ananta Toer.

Menurutnya, Ajip Rosidi mencerminkan ketelatenan dalam pengarsipan sejarah. Melalui karya-karyanya, ia menunjukkan sejarah perubahan bahasa di era Sukarno hingga perkembangan kesastraan Indonesia. Ia Ajip dinilai sebagai sosok yang sangat sabar membaca tahapan demi tahapan sejarah, sesuatu yang menurutnya jarang dilakukan akademisi lain.

Barli merasa ketekunan Ajip Rosidi menginspirasinya. Menurutnya, membaca bukanlah aktivitas pasif melainkan laku kesadaran yang mengasah kepekaan.

Soal Pramoedya Ananta Toer, Barli menyinggung bahwa tokoh yang satu ini sering disalahpahami. Ia menyebut nilai-nilai dalam karya Pram tidak melulu politis seperti yang kerap dituduhkan. Contohnya Bukan Pasar Malam sebagai karya yang justru sangat personal.

“Relasi anak dan bapak di buku itu terasa lebih dominan daripada situasi politiknya,” ujarnya.

Barli yakin, semakin banyak seseorang membaca semakin ia memahami bahwa buku tidak membawa satu pikiran yang seragam. Justru pembacaan yang bebas membuka keluasan perspektif. Karena itu, ketika buku dilarang, ruang berpikir justru akan dipersempit dan melahirkan fanatisme.

“Kalau kita membebaskan buku, kita justru semakin demokratis,” kata Barli.

Selama menggeluti Klub Buku Laswi ia melihat benang merah bahwa literasi adalah alat kecakapan dan cara melatih keberagaman pandangan. Dan setiap upaya membatasi akses terhadap buku pada akhirnya adalah upaya menyatukan pikiran dalam satu pola, sesuatu yang menurutnya bertentangan dengan tujuan membaca itu sendiri.

Kelas Detensi: Band Baru, Single Baru

Selain diskusi dan pameran, acara ini menghadirkan band Kelas Detensi, yang untuk pertama kalinya memamerkan single perdana mereka berjudul Suar Nalar”. Band Kelas Detensi baru terbentuk pada akhir 2024 dan mulai aktif pada awal 2025 setelah sebelumnya para personelnya bergabung dalam beberapa band berbeda, termasuk Noam 23, band tribute Pearl Jam yang menyatukan mereka.

Para personel band sudah lama bermusik, usia mereka tak lagi bisa disebut muda. Namun bagi mereka, usia bukan alasan untuk meredam kegelisahan dan energi panggung.

“Sepanjang Aif masih bisa two-step, saya masih bisa crowd surfing, dan Kang teman-teman masih bisa lompat-lompat, kenapa tidak?” ujar Jes sang vokalis, sambil tertawa, merinci personel-personel Kelas Detensi.

Semangat yang mereka bawa hari ini tetap sama dengan di masa muda dulu, tetapi kegelisahan yang mereka rasakan justru menjadi bahan bakar untuk tetap mencipta dan menyuarakan keresahan.

Aip sang drummer menjelaskan bahwa nama “Kelas Detensi” dipilih karena merepresentasikan pengalaman “dikurung” dalam situasi sosial yang membatasi ekspresi.

“Kami datang dari latar belakang refrensi musik yang berbeda, tapi punya kegemaran akan satu band yang sama yaitu Pearl Jam,” ujarnya.

Spirit muda itulah yang melahirkan single perdana Suar Nalar, sebuah lagu yang mereka sebut sebagai kontemplasi atas pengalaman bertahun-tahun melihat represi dan pembatasan wacana bermusik. Lagu itu menurut mereka, bukan hanya musik, tetapi “connecting the dots,” menghubungkan pengalaman, komunitas, dan solidaritas lintas ruang.

Lagu “Suar Nalar” lahir dari diskusi panjang di antara Aip dan Jes sang vokalis si pembuat lirik. Syair lagu banyak berbicara tentang manipulasi informasi, tekanan sosial, dan pentingnya mempertahankan suara kritis.

Band banyak terinspirasi dari musik Seattle Sound, namun ingin membawa warna baru dengan menggabungkan pengaruh musik 90-an dan pengalaman mereka sendiri. Mereka juga berencana membuat showcase atau swadaya kecil kecilan bersama band-band lain yang memiliki keresahan serupa.

Untuk menjangkau audiens, Kelas Detensi tetap memilih jalur yang organik seperti membangun relasi, tampil langsung, dan mendekatkan diri pada komunitas.

Bagi Kelas Detensi, kutipan feminist until you get married, anarchist until you get rich, atheist until your plan starting to falling down” dari Juanda  Brahma Metta bukan sekadar lelucon sinis, tetapi cermin dari kegelisahan yang mereka bawa ke panggung.

Ungkapan itu menggambarkan bagaimana idealisme sering kali terkikis oleh kenyataan hidup, namun justru di situlah spirit band ini bertahan. Mereka sadar usia tak lagi muda, kewajiban dan tanggung jawab semakin menumpuk, tetapi keresahan yang sama tetap mendesak untuk disuarakan.

Mereka menolak tunduk pada kenyataan bahwa idealisme hanya milik orang muda saja. Kedewasaan justru memperkuat alasan untuk terus bersuara.

Rangkaian pameran dan diskusi mengangkat tema pemberangusan buku di Aula Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Rabu malam, 10 Desember 2025. (Foto: Insan Radhiyan/BandungBergerak)
Rangkaian pameran dan diskusi mengangkat tema pemberangusan buku di Aula Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Rabu malam, 10 Desember 2025. (Foto: Insan Radhiyan/BandungBergerak)

Makna Lagu Suar Nalar

Dalam zine yang dirilis bersamaan dengan peluncuran single Suar Nalar, Kelas Detensi menyertakan esai pendek tentang perubahan drastis lanskap informasi. Esai tersebut menyoroti peran algoritma media sosial yang menyaring arus informasi bukan berdasarkan nilai pengetahuan, melainkan kepentingan bisnis dan keuntungan platform.

Akibatnya, masyarakat semakin sering diarahkan pada opini yang dibentuk secara artifisial, baik oleh buzzer, hoaks, maupun figur publik yang memanfaatkan ketidaktahuan massa. Proses ini, tulis mereka, perlahan menciptakan “pemalsuan kejujuran”, sebuah kondisi ketika kebenaran bukan lagi soal fakta, melainkan soal narasi yang paling sering muncul di linimasa.

Zine itu juga berisi penjelasan mengenai mengapa mereka memilih istilah Suar Nalar sebagai judul lagu sekaligus gagasan utama karya tersebut. Dalam salah satu paragraf, mereka menulis, “Walau degup ini terus diancam, suar nalar tetap berpijar.” Kalimat itu menggambarkan sikap perlawanan terhadap tekanan-tekanan sosial yang mencoba membungkam pemikiran kritis, baik melalui pelarangan buku, persekusi diskusi, maupun pembatasan ruang berekspresi.

Bagi mereka, Suar Nalar bukan sekadar frasa puitis, tetapi simbol tekad untuk tetap mempertahankan kemampuan bertanya, meragukan, dan mencari kebenaran hal-hal mendasar yang justru sering menjadi sasaran pembungkaman.

Kelas Detensi juga menegaskan bahwa musik bisa menjadi medium literasi alternatif. Jika buku atau diskusi kerap dituding sebagai ancaman oleh kelompok tertentu, maka musik memberi mereka ruang lain yang lebih cair untuk menyampaikan kegelisahan.

Kehadiran Suar Nalar dalam acara diskusi ini menunjukkan bahwa isu pemberangusan buku tidak berdiri sendiri. Ia menjalar ke subkultur music rock. Peluncuran single ini di tengah pameran kliping pemberangusan buku menjadi semacam dialog lintas medium bahwa perlawanan terhadap pembatasan pengetahuan tidak hanya dilakukan melalui argumen intelektual, tetapi juga melalui energi musikal, keberanian kolektif, dan ekspresi budaya yang hidup di antara komunitas.

Baca Juga: Penyitaan Buku: Ketika Aparat Menghendaki Silogisme Sempit
Membedah Zine Penyitaan Buku di Raws Syndicate, Mengarsipkan Literatur yang Dirampas di Bandung

Ingatan Kolektif Pemberangusan Buku dan Diskusi

Deni Lawang, pengelola Lawang Buku sekaligus moderator diskusi, menyebut pameran kliping dalam acara ini sebagai respons atas kembali maraknya penyitaan buku dan pembubaran aktivitas literasi di Bandung dalam beberapa tahun terakhir. Gagasan pameran muncul setelah sejumlah buku disita aparat dan dijadikan barang bukti, sebuah pola yang, menurut Deni, telah berulang sejak awal 2000-an.

“Ini upaya memanggil kembali arsip yang sudah lama saya kumpulkan,” kata Deni.

Arsip tersebut merekam setidaknya tiga peristiwa pemberangusan literasi di Bandung, mulai dari pembubaran diskusi di Toko Buku Ultimus, pembatalan kelas marxisme di IFI Bandung, hingga pembubaran perpustakaan jalanan. Dari dokumentasi itu, Deni menilai pembatasan wacana tidak berhenti pascareformasi.

“Kita mengira setelah 1998 aman, ternyata tidak. Saat itu kita belum siap secara perlindungan hukum dan solidaritas,” ujarnya.

Ia menambahkan, perubahan mulai tampak sejak 2016 ketika kelompok literasi dan seni mulai merespons secara kolektif melalui pernyataan bersama, diskusi, dan pendampingan hukum. Namun, Deni menekankan pentingnya ingatan kolektif agar peristiwa serupa tidak dianggap terpisah.

“Pola ini harus terus digaungkan—didiskusikan, diteliti, diviralkan, dan disokong bersama,” katanya.

Deni juga menyinggung pembubaran diskusi di Kedai Jante, lokasi acara berlangsung. Ia mengingat program diskusi rutin Jumaahan yang dihentikan setelah mendapat penolakan ormas saat panitia mengundang Ilham Aidit sebagai narasumber. Undangan tersebut bertujuan membuka perspektif tentang pengalaman sebagai anak dari figur yang distigmatisasi sejarah, namun acara dibubarkan sebelum dimulai. Alasan pembubaran kala itu, menurut Deni, kerap berangkat dari prasangka, mulai dari identitas narasumber hingga cara berpakaian moderator.

Peristiwa tersebut melahirkan nama baru, Bukan Jumaahan, sebagai satir sekaligus perlawanan simbolik. “Itu satir, tapi fungsinya untuk menolak lupa,” ujar Deni.

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp Kami

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//