• Berita
  • Aliansi Pegiat Literasi Bandung: Buku Bukan Barang Bukti Kriminal

Aliansi Pegiat Literasi Bandung: Buku Bukan Barang Bukti Kriminal

Aliansi Pegiat Literasi Bandung merespons penyitaan buku yang marak terjadi setelah demonstrasi Agustus-September lalu. Buku adalah sumber ilmu pengetahuan.

Aliansi Pegiat Literasi Bandung menggelar diskusi tentang penolakan pernyataan buku untuk bukti pidana, di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, 12 Oktober 2025. (Foto: Dokumentasi Kembang Kata)

Penulis Salma Nur Fauziyah15 Oktober 2025


BandungBergerakAksi demonstrasi Agustus–September 2025 lalu menyisakan tanda tanya bagi masa depan literasi. Banyak aktivis di Bandung maupun tempat lain di Indonesia yang ditangkap beserta barang bukti buku. Dalam setiap gelar perkara kasus yang menimpa aktivis, polisi menunjukkan sejumlah barang bukti mulai dari batu, molotov, dan buku.

Pameran buku di meja barang bukti yang gambarnya beredar luas di media sosial langsung menuai kritik dari berbagai pihak, khususnya pegiat literasi. Patjar Merah, komunitas penerbit buku independen, melalu akun Instagramnya lebih dulu mengunggah pernyataan sikap dari Penerbit Independen Indonesia, 25 September 2025.

Yang terbaru di Bandung, 12 Oktober 2025 Aliansi Pegiat Literasi Bandung menyerukan pernyataan sikap berjudul “Menyita Buku Sama dengan Pemberangusan!” disertai diskusi publik yang dihadiri aktivis hukum, kalangan akademik, jurnalis, mahasiswa, dan komunitas literasi. Tajuk yang diangkat adalah "Penyitaan Buku=Pemberangusan Buku". 

Menurut Deni Rachman, pengelola Toko Buku Bandung, pernyataan sikap ini menunjukkan bahwa pegiat literasi di Bandung tidak tinggal diam terhadap isu krusial penyitaan buku.

“Intinya mah sih ada resistensi ya dari para pegiat literasi,” ujar Deni yang juga salah satu inisiator pernyataan sikap, saat dihubungi BandungBegerak lewat panggilan telepon seluler. 

Melalui diskusi dan pernyataan sikap yang memprotes penyitaan buku, Deni berharap minat baca dan kepedulian terhadap literasi terbangun di lingkungan masyarakat. Dengan demikian semua orang merasa sadar bahwa mereka berhak membaca buku apa pun tanpa takut dilarang-larang. 

Ressy Rizki Utari, perwakilan LBH Bandung yang menjadi narasumber diskusi, menyatakan penyitaan maupun menjadikan buku sebagai barang bukti merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), merujuk pada UUD dan hukum internasional di mana kebebasan berpikir adalah hak yang dilindungi. 

“Jika sebuah ide di dalam buku dianggap sebagai unsur pidana itu sudah merupakan pelanggaran HAM,” kata Ressy, saat dihubungi lewat pesan daring. 

Undang-undang telah menjamin bahwa masyarakat berhak atas literasi. Pasal 28F UUD 1945 menyatakan, warga negara berhak untuk mencari, memperoleh, menyimpan, dan menyampaikan informasi. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin kebebasan berpikir, berpendapat, dan berkumpul.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 juga mencabut kewenangan Jaksa Agung melarang buku secara administratif. Putusan MK ini memperjelas bahwa buku tidak dapat dibatasi ataupun dijadikan barang bukti tanpa melalui proses peradilan yang ketat, bukan tafsir sepihak aparat keamanan.

Ressy berharap publik sadar akan kasus ini. Litersasi menurutnya adalah ekosistem penting untuk membangun bangsa. Minimnya literasi berdampak terhadap masa depan bangsa. Literasi diibaratkan bensin yang membakar proses dialektika kemajuan suatu bangsa. 

Ressy berpesan kepada orang-orang muda maupun pegiat literasi untuk tetap membaca dan kritis.

“Terus bersuara. Terus buat kelompok-kelompok baca yang kritis dan tetap saling terhubung biar gak keueung,” pesan Ressy.

Terdapat lima poin pernyataan Aliansi Pegiat Literasi Bandung terhadap kasus penyitaan buku: 

  1. Mengecam dan menolak keras tindakan aparat yang menjadikan buku sebagai barang bukti dalam proses kriminalisasi terhadap demonstran dan pegiat literasi. 
  1. Mendesak aparat penegak hukum untuk menyampaikan pertanggungjawaban publik atas penyitaan buku-buku bacaan satu bulan lalu. 
  1. Menuntut pengembalian seluruh buku dan materi bacaan yang disita, serta jaminan bahwa tidak ada penerbit, pembaca, atau penyimpan buku yang akan dikriminalisasi. 
  1. Menyerukan pemerintah dan lembaga negara terkait untuk menjamin tegaknya hak konstitusional atas kebebasan berpikir, berekspresi, dan memperoleh informasi. 
  1. Mendorong masyarakat, komunitas literasi, akademisi, dan media untuk terus mengawasi, mengingat, dan bersuara agar praktik kriminalisasi pikiran tidak menjadi kebiasaan negara.

Bagi masyarakat yang ingin mendukung pernyataan ini, Aliansi Pegiat Literasi Bandung membuka petisi online di change.org

View this post on Instagram

A post shared by @pasarminggu.bdg

Baca Juga: Bukan Jumahan Akbar: dari Kedai Jante ke Festival Literasi, dari Peta Sastra Jawa Barat ke Penyitaan Buku
Pementasan Naskah Tragedi 1998 Karya Seno Gumira Ajidarma di Perpustakaan Bunga di Tembok

Aliansi Pegiat Literasi Bandung menggelar diskusi tentang penolakan pernyataan buku untuk bukti pidana, di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, 12 Oktober 2025. (Foto: Dokumentasi Kembang Kata)
Aliansi Pegiat Literasi Bandung menggelar diskusi tentang penolakan pernyataan buku untuk bukti pidana, di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, 12 Oktober 2025. (Foto: Dokumentasi Kembang Kata)

Sejarah Penyitaan Buku

Kasus penyitaan dan menjadikan buku sebagai barang bukti bukanlah hal baru. Sejak zaman penjajahan kolonial hingga Orde Baru, penyitaan buku ‘lazim’ terjadi. Terkait demonstrasi besar-besaran Agustus-September lalu, penyitaan buku pertama kali mencuat saat penggeledahan rumah aktivis Delpedro Marhaen di Jakarta beberapa waktu lalu. Salah satu buku yang diduga disita adalah “Negeri Pelangi” karya Ras Muhammad. Buku ini sebenarnya membahas perjalanan musik reggae hingga ke Ethiopia, tempat di mana musikus legendaris Bob Marley berasal.

Hawe Setiawan dalam kolom  “MALIPIR #33: Buku yang Disita Polisi” menceritakan di zaman Orde Baru aparat kepolisian di Jakarta sibuk memeriksa setiap komik yang akan terbit, tidak peduli komik silat atau asmara. Waktu itu, pelarangan massif terjadi pada buku yang terafiliasi dengan organisasi kebudayaan Lekra. 

Namun setelah reformasi  praktik bibliosida atau pemberangusan buku masih tetap berlangsung, seperti yang dialami toko buku di Sumatera Barat yang terkena sweeping dan penyitaan oleh aparat karena diduga menjual buku-buku berhaluan kiri. 

Hawe memaparkan sejumlah literatur sastra mengangkat ketakutan aparat terhadap buku, seperti buku Don Quixote karya Cervantes dan Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito. 

Pernyataan Sikap Penerbit Independen Indonesia

Instagram Patjar Merah telah lebih dulu mengunggah pernyataan sikap Penerbit Independen Indonesia tekait isu penyitaan buku. 

“Dalam dua pekan terakhir, sejumlah anak muda kritis ditangkap dengan tuduhan keterlibatan dalam aksi, dan aparat menjadikan buku-buku bacaan sebagai barang bukti. Kami menyatakan sikap tegas: praktik ini adalah kriminalisasi pikiran,” demikian pernyataan sikap yang diunggah 25 September 2025. Berikut ini poin-poin pernyataan sikap Penerbit Independen Indonesia:

1. Berhenti melakukan kriminalisasi buku, buku adalah sumber ilmu pengetahuan, bukan barang bukti tindak kejahatan

2. Berhenti melakukan penyitaan terhadap segala jenis buku, buku adalah bukti bahwa seseorang sedang dan pernah belajar, bukan bukti tindak kriminal.

3. Hentikan segala bentuk intimidasi terhadap komunitas literasi dan ruang-ruang edukasi alternatif.

4. Berhenti menangkap/menculik/menghilangkan 4 masyarakat pro demokrasi. Demonstrasi bukan tindak kriminal, dan mengajak orang untuk melakukan demonstrasi bukanlah sebuah kejahatan.

5. Menghentikan seluruh praktik kriminalisasi bacaan yang menyeret pegiat literasi maupun warga biasa, karena hak membaca dan menyimpan buku adalah hak setiap warga negara.

6. Bebaskan seluruh aktivis yang ditangkap dalam semua aksi demonstrasi.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//