Apakah Kita Semua Wajib Merayakan Hari HAM Sedunia
Hari HAM Sedunia memang bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah semacam pengingat moral untuk melihat relasi kekuasaan, keberpihakan negara, dan keberanian warga.

Foggy FF
Seorang Novelis dan Esais tinggal di Bandung. Penulis giat berkampanye mengenai Isu Kesehatan Mental dan Kesetaraan Gender.
15 Desember 2025
BandungBergerak.id – Setiap tahun, 10 Desember diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia–tanggal ketika Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) disahkan pada 1948. Namun setiap kali perayaan ini datang, ada pertanyaan yang sulit diabaikan: apa yang benar-benar kita rayakan ketika pelanggaran HAM masih berlangsung, bahkan di lingkup paling dekat dengan kehidupan kita? Pertanyaan itu terasa semakin mengemuka tahun ini, ketika sejumlah peristiwa di Indonesia–mulai dari penangkapan aktivis lingkungan hingga intimidasi terhadap perempuan di ruang-ruang publik–menunjukkan bahwa jarak antara deklarasi dan kenyataan masih memanjang, melebar, dan sering kali dibiarkan.
Di Yogyakarta dan Semarang, berita penangkapan aktivis lingkungan kembali menjadi pengingat bahwa kerja advokasi ekologis di Indonesia masih penuh risiko. Pada 22 November 2024–kasus yang bergulir hingga menjadi sorotan sepanjang 2025–dua aktivis lingkungan, Adetya Pramandira, staf advokasi WALHI Jawa Tengah, dan Fathul Munif, ditangkap polisi saat tengah malam sepulang dari sebuah kegiatan organisasi. Tempo dan Mongabay melaporkan bahwa penangkapan dilakukan tanpa pemberitahuan yang memadai kepada keluarga dan pendamping hukum, memicu kecaman dari jaringan masyarakat sipil.
Kasus ini bukan sekadar persoalan prosedur hukum. Ia menggambarkan pola lebih besar: bahwa persoalan lingkungan di Indonesia–terutama terkait tambang, energi fosil, dan penggusuran atas nama pembangunan–sering kali diikuti oleh tindakan represif terhadap mereka yang bersuara. Tahun 2025 bahkan mencatat peningkatan tekanan serupa di berbagai daerah: Rempang, Pulau Obi, Wadas, hingga Banyuwangi. Seolah-olah memperjuangkan udara bersih, hutan yang lestari, atau air yang tidak tercemar masih dianggap ancaman, bukan kontribusi para aktivis karena lebih peduli.
Pertanyaan mendasarnya adalah: bagaimana mungkin kita merayakan Hari HAM jika orang-orang yang melindungi ruang hidup justru dikejar oleh hukum?
Pelanggaran HAM tidak selalu hadir dalam bentuk yang besar atau spektakuler. Ia juga terjadi dalam skala kecil–di pasar, di jalan sempit, di lingkungan tempat kita membesarkan anak. Salah satu peristiwa yang mencuat di Bandung pada 2024–2025 terjadi di Sukahaji, ketika sekelompok perempuan dan anak-anak mengalami intimidasi dan ancaman verbal dari kelompok laki-laki yang menguasai area tersebut. Laporan Bandung Bergerak dan beberapa komunitas (akun Instagram @sukahajimelawan) menunjukkan bahwa perilaku intimidatif ini bukan kejadian tunggal, tetapi bagian dari pola lama yang belum ditangani serius oleh pemerintah kota.
Perempuan yang sekadar menjalankan aktivitas sehari-hari–berbelanja, bekerja, atau mengantar anak–harus berhadapan dengan rasa takut. Padahal DUHAM Pasal 3 dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman. Jika ruang publik tidak menjamin itu, berarti ada yang cacat dalam cara kita menjalankan prinsip HAM di tingkat lokal.
Ironisnya, kekerasan terhadap perempuan di Bandung tidak hanya terjadi di pasar atau ruang publik informal. Kasus pelecehan seksual terus muncul dari dua lingkungan yang sering dipersepsikan sebagai penjaga moral: institusi pendidikan tinggi dan institusi keagamaan.
Pada 2024–2025, sejumlah kampus besar di Bandung kembali dilaporkan menangani kasus pelecehan seksual internal; sebagian diangkat ke media karena proses etik yang lamban atau kurang transparan. Lembaga keagamaan juga tidak bebas dari sorotan. Kasus pelecehan di pesantren yang diberitakan oleh Kompas dan Tribun pada pertengahan 2025 menunjukkan bahwa otoritas moral pun tidak imun dari penyalahgunaan kuasa.
Data Komnas Perempuan (rilis Maret 2025) juga menunjukkan peningkatan laporan kekerasan berbasis gender yang dilaporkan melalui perangkat daerah dan lembaga layanan, termasuk dari Jawa Barat. Fakta-fakta ini memperkuat kesan bahwa Bandung, kota yang kerap membanggakan diri sebagai ruang kreatif dan berbudaya, masih jauh dari aman bagi perempuan dan anak.
Dalam konteks itu, perayaan Hari HAM terasa bukan sebagai perayaan, melainkan pengingat akan pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai.
Baca Juga: DATA SKOR INDEKS HAM KOTA BANDUNG 2020-2024: Tidak Kunjung Membaik
Setelah September Hitam, Ingatan tentang Pelanggaran HAM tidak Boleh Padam
Merayakan Keberagaman di Festival HAM 2025, Menyuarakan Hak-hak Kelompok Terpinggirkan
Apakah Hari HAM Sedunia Patut Dirayakan?
Pertanyaan ini tidak bermaksud sinis. Ia justru mengajak kita berhenti sejenak dari seremonial semata, lalu bertanya dengan pikiran yang paling jujur: apa arti perayaan jika pelanggaran masih berlangsung di depan mata?
Hari HAM Sedunia memang bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah semacam pengingat moral untuk melihat relasi kekuasaan, keberpihakan negara, dan keberanian warga. Ia memaksa kita menengok peristiwa yang terjadi di dekat kita: aktivis yang ditangkap karena peduli lingkungan, perempuan yang diintimidasi ketika menjalani aktivitas sehari-hari, anak-anak yang tidak aman di tempat yang seharusnya paling aman, kampus dan lembaga agama yang belum sungguh-sungguh menjadi ruang bebas kekerasan.
Dengan kata lain, Hari HAM Sedunia adalah cermin. Ia tidak meminta masyarakat global hanya merayakan, tetapi mampu bahu membahu menghilangkan pelanggaran dari muka bumi ini (pelan-pelan tapi pasti), sebuah momen reflektif.
Peringatan global hanya bermakna jika kita mampu membaca realitas lokal. Dari Bandung–dengan seluruh paradoks antara kreativitas dan kerentanannya–kita belajar bahwa HAM bukan abstraksi. Ia hadir dalam bentuk yang sangat konkret: Apakah warga bisa bersuara tanpa takut? Apakah perempuan dapat berjalan tanpa khawatir? Apakah anak-anak dapat tumbuh tanpa trauma? Apakah lingkungan dapat dibela tanpa risiko kriminalisasi?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya berlaku bagi Indonesia. Di banyak negara, aktivis lingkungan, jurnalis, perempuan, masyarakat adat, dan minoritas menghadapi risiko serupa. Karena itu, refleksi lokal menjadi kontribusi Indonesia bagi percakapan global: bahwa perayaan HAM tidak boleh memadamkan kenyataan bahwa perjuangannya masih amat sangat panjang.
Mungkin Hari HAM Sedunia memang layak dirayakan. Tetapi bukan sebagai tanda bahwa pekerjaan sudah selesai. Kita merayakannya untuk mengingat (agar lagi-lagi tidak lupa), agar tidak terbiasa dengan luka trauma sebagai akhirnya, agar tidak menganggap wajar kriminalisasi, intimidasi, dan kekerasan yang masih dihadapi oleh para aktivis, jurnalis, bahkan masyarakat sipil biasa.
Kita merayakannya sebagai pengingat bahwa HAM bukan hadiah dari negara (karena ini masih jauh dari cita-cita ideal sebuah negara)–melainkan komitmen yang harus terus diperjuangkan, terutama ketika negara absen untuk melindungi.
Dan dari Bandung, kota yang kerap disebut penuh ide dan energi kreatif (katanya), kita berharap tumbuh keberanian kolektif: untuk menjaga ruang hidup, untuk melindungi perempuan dan anak, untuk berdiri di sisi mereka yang terpinggirkan, dan untuk menjadikan perayaan HAM bukan ritual, melainkan pengingat atas kewajiban kita semua, tanpa terkecuali.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

