Refleksi Akhir Tahun 2025: (Masih ) Menanti Gebrakan Wali Kota Farhan
Warga Bandung menginginkan kota yang lebih rapi, mobilitas yang lebih mudah, lingkungan yang lebih bersih, dan pemerintahan yang mendengar suara mereka.

TH Hari Sucahyo
Pegiat pada Laboratorium Kajian Sosial Lingkungan (LKSL) “NODES”
20 Desember 2025
BandungBergerak.id – Tepat tanggal 20 Desember 2025, sepuluh bulan sudah Muhammad Farhan memimpin Kota Bandung, dan dalam rentang waktu itu publik mulai dapat menilai arah, ritme, serta kualitas perubahan yang dihadirkan oleh pemerintahannya. Sebagai kota besar dengan dinamika sosial, budaya, dan ekonomi yang sangat khas, Bandung memerlukan seorang pemimpin yang bukan sekadar hadir sebagai figur administratif, tetapi sosok yang mampu membaca denyut kebutuhan warganya dengan peka dan bertindak dengan ketegasan yang terukur.
Dalam konteks itu, kepemimpinan Farhan membuka ruang refleksi: sejauh mana kota ini bergerak ke depan, dan sejauh mana tantangan lama berhasil digenggam dan diurai dengan cara baru. Bandung adalah kota yang sering melahirkan ekspektasi besar. Warganya kritis, kreatif, dan memiliki standar tertentu terhadap wajah kotanya.
Masalah-masalah seperti kemacetan, sampah, tata ruang yang semrawut, transportasi publik yang belum optimal, hingga turunnya kualitas ruang publik selalu menjadi percakapan yang tidak pernah selesai. Ketika pemimpin baru datang, harapan itu ikut bergeser: warga ingin melihat pembaruan, ingin melihat arah baru, dan ingin merasakan kehadiran pemerintah yang tidak hanya dekat secara retorika, tetapi nyata terasa dalam kebijakan sehari-hari.
Maka ketika Farhan mulai memimpin kota ini, banyak warga berharap bahwa pengalaman, komunikasi publik yang kuat, serta orientasi modern yang ia miliki dapat menjadi modal besar dalam merapikan kota yang telah terlalu lama berjuang dengan problem strukturalnya. Namun, perjalanan hampir setahun ini menunjukkan bahwa transformasi kota tidak pernah sesederhana membalikkan telapak tangan.
Baca Juga: Pencegahan Korupsi Menjadi Salah Satu Fokus Farhan dan Erwin Setelah Ditetapkan Menjadi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandung Terpilih
Menunggu Keseriusan Penanganan Sampah Kota Bandung di Tangan Farhan dan Erwin
Keluh Kesah Seniman Bandung di Hadapan Wali Kota Muhammad Farhan: Pemajuan Kebudayaan Jalan di Tempat
Masalah Kemacetan dan Sampah
Ada upaya-upaya yang tampak, ada inisiatif yang baru dimulai, tetapi ada pula ketidakpuasan warga yang perlahan muncul akibat harapan yang belum bertemu kenyataan. Kritik bukan semata karena kinerja dianggap kurang, tetapi karena warga memiliki ekspektasi tinggi bahwa pemimpin baru akan hadir membawa pola kerja baru, daya gerak lebih cepat, dan kejelasan arah yang lebih kuat.
Ketika ritme perubahan terasa pelan, sebagian warga mulai mempertanyakan apakah energi awal kepemimpinan benar-benar difokuskan secara konsisten pada persoalan mendesak kota. Salah satu tantangan yang sering menjadi ukuran keberhasilan pemimpin Bandung adalah kemacetan. Kota yang ruas jalannya sempit, pertumbuhan kendaraan tinggi, pusat ekonomi dan wisata yang padat, serta ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi, membuat problem ini menjadi seperti lingkaran tanpa ujung.
Dalam masa kepemimpinan Farhan, keluhan soal kemacetan belum menurun secara signifikan. Warga masih harus menghadapi perjalanan panjang untuk jarak yang pendek, dan produktivitas kota tergerus oleh waktu yang hilang di jalan. Kritik warga terutama tertuju pada lambatnya modernisasi transportasi publik, minimnya stimulus agar orang berpindah dari kendaraan pribadi ke transportasi umum, serta belum tampaknya terobosan besar yang mampu mengubah pola mobilitas kota.
Selain kemacetan, persoalan sampah menjadi cermin lain yang memperlihatkan seberapa jauh kepemimpinan sebuah kota berjalan. Bandung, sebagai wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi dan aktivitas ekonomi besar, rentan mengalami akumulasi sampah yang cepat. Di banyak titik, warga masih menemukan tumpukan sampah yang lambat ditangani, pola pemilahan yang belum terdisiplinkan, serta fasilitas pengelolaan yang tidak berkembang secepat kebutuhan.
Dalam sepuluh bulan ini, upaya perbaikan memang terlihat, tetapi warga masih merasakan bahwa perubahan belum menyeluruh dan belum konsisten. Wajah kota pada akhirnya menjadi representasi paling jujur dari efektivitas manajemen wilayahnya; ketika sampah belum terkendali, citra kota turut menurun.
Kritik warga Bandung terhadap kepemimpinan Farhan sering berputar pada dua hal utama: kecepatan bekerja dan konsistensi kebijakan. Banyak yang menilai bahwa arah sudah ada, niat sudah tampak, namun langkah eksekusi belum terasa kuat. Kota besar memerlukan gebrakan, bukan sekadar penataan administratif. Ketika kebijakan terlalu berhati-hati atau proses eksekusi berjalan lambat, masyarakat menjadi cepat gelisah karena hidup mereka terpengaruh langsung oleh kinerja harian pemerintah.
Meski demikian, kepemimpinan tidak hanya diukur dari kritik. Ada pula apresiasi yang tidak sedikit muncul dari warga yang melihat bahwa setidaknya ada upaya membuka lebih banyak ruang dialog, komunikasi publik yang lebih ramah, serta orientasi jangka panjang yang mencoba mengatasi akar persoalan, bukan hanya gejalanya.
Namun apresiasi ini tetap dibayangi tuntutan: warga ingin melihat dampak nyata, bukan hanya penjelasan; ingin merasakan perubahan, bukan hanya mendengar wacana; dan ingin melihat Bandung bergerak, bukan hanya direncanakan. Dari perspektif ini, wajah kota Bandung saat ini masih berada dalam fase transisi. Ia belum membaik secara signifikan, tetapi juga tidak sepenuhnya stagnan.
Berani Berubah
Kesan yang muncul adalah adanya arah baru, namun realisasi arah tersebut belum cukup kuat untuk mengubah pengalaman harian masyarakat. Ruang publik masih banyak yang membutuhkan revitalisasi, pola mobilitas belum lebih sehat, dan sistem lingkungan belum benar-benar modern. Kota ini seperti berdiri di antara dua era: era masalah yang diwarisi dan era solusi yang sedang dirintis. Yang belum tampak jelas adalah seberapa cepat Farhan mampu menarik kota ini masuk ke era baru tersebut.
Dalam situasi seperti ini, saran yang dapat diberikan kepada kepemimpinan Farhan adalah memperkuat tiga hal: keberanian, keberpihakan, dan konsistensi. Keberanian berarti berani mengambil keputusan yang mungkin tidak populer demi kepentingan jangka panjang, seperti pembenahan transportasi publik dan regulasi kendaraan pribadi.
Keberpihakan berarti memastikan bahwa kebijakan kota tidak hanya memihak kelompok tertentu, tetapi benar-benar menyentuh kebutuhan warga biasa yang merasakan langsung problem kota. Dan konsistensi berarti menjaga ritme kerja, memastikan program prioritas tidak berhenti sebagai wacana, serta menuntaskan persoalan hingga berakar, bukan hanya di permukaan.
Warga Bandung sesungguhnya bukan menuntut kesempurnaan. Mereka menginginkan kota yang lebih rapi, mobilitas yang lebih mudah, lingkungan yang lebih bersih, dan pemerintahan yang mendengar suara mereka. Bila tiga fondasi itu dikuatkan, maka sepuluh bulan pertama kepemimpinan Farhan bukan akan dinilai sebagai periode yang kurang menggigit, melainkan fondasi dari lompatan berikutnya.
Di titik ini, Bandung adalah kota yang selalu siap berubah, yang diperlukan hanyalah pemimpin yang berani memimpin perubahan itu dengan tegas, jujur, dan terukur. Semoga pada tahun-tahun berikutnya, warga dapat melihat bukti bahwa kota mereka benar-benar bergerak menuju wajah yang baru: kota yang lebih manusiawi, lebih tertata, dan lebih mencerminkan potensi besar yang dimilikinya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

