Sawala, Kekuasaan, dan Moncong Meriam Kebudayaan: Kota Bandung di Persimpangan Nurani
Persoalan kebudayaan Kota Bandung bukan sekadar siapa yang duduk di DKKB atau siapa yang mundur. Itu hanya gejalanya, bukan sumber penyakitnya.

Abah Omtris
Musisi balada Bandung
21 Desember 2025
BandungBergerak.id – “The sad truth is that most evil is done by people who never make up their minds to be good or evil. (Kenyataan menyedihkan adalah bahwa banyak kejahatan dilakukan oleh mereka yang tidak pernah sungguh-sungguh memutuskan untuk menjadi baik atau jahat)” Hannah Arendt – Kekuasaan & Tanggung Jawab Publik
Ada yang bergetar di Bandung dalam beberapa bulan terakhir–dan bukan hanya getaran dari pengeras suara konser-konser luar ruangan yang semakin sering bersuara lebih keras daripada warga. Ini getaran yang muncul dari tubuh kebudayaan kota: getaran janggal, getaran marah, getaran yang meminta untuk didengar.
Sawala Budaya 2024, sebuah proses yang disepakati bersama, berjalan terbuka, dan melibatkan warga dengan semangat yang cukup tulus untuk duduk dua hari penuh, justru diringkus begitu saja oleh segelintir orang yang tak rela menerima kenyataan. Bukan karena prosesnya cacat, bukan karena hasilnya keliru, tetapi semata karena nama-nama terpilih tidak sesuai dengan wajah-wajah yang mereka inginkan untuk berada di orbit kekuasaan.
Di kota yang gemar menyebut dirinya “kreatif”, rupanya imajinasi politik sebagian orang sangat pendek: hanya sanggup membayangkan kebudayaan sebagai ruang yang aman, steril, tanpa ketidaknyamanan, dan tentu saja, penuh orang-orang “yang bisa diajak ngobrol”.
Ini bukan sekadar ketidakdewasaan politik budaya. Ini adalah bentuk kecil dari tragedi besar yang tengah dialami kota ini: hilangnya keberanian untuk menerima kenyataan. Dan ketika kenyataan ditolak, yang pertama mati biasanya adalah nilai.
Namun, ketika kita menoleh ke sisi lain, muncul problem lain yang tak kalah rumit.
Di akhir proses Sawala, struktur Dewan Kesenian Kota Bandung (DKKB) justru memilih mengundurkan diri. Mereka tidak mundur sebelum forum dimulai–yang mungkin masih bisa dipahami sebagai ketidaksiapan atau penolakan terhadap mekanisme. Mereka mundur setelah seluruh peserta bekerja keras, setelah dokumen rumusan jadi, setelah energi mereka dicurahkan bagi kota yang mereka cintai.
Akibatnya, forum yang dibangun setara dan terbuka itu mendadak kehilangan penjaganya. Ruang kosong terbentuk. Dan kita tahu, dalam politik budaya Bandung, ruang kosong adalah undangan. Undangan bagi orang-orang yang melihat peluang, bukan tanggung jawab.
Di sini lahir ketegangan dalam dua pandangan. Satu sisi menyorot intervensi pihak-pihak yang tidak menerima hasil Sawala. Sisi lain menyesalkan mundurnya DKKB di akhir proses yang justru melemahkan legitimasi forum.
Keduanya mengandung kebenaran. Keduanya juga mengandung kekeliruan.
Kebudayaan, pada akhirnya, bukan ruang hitam-putih. Ia ruang yang penuh kelabu, penuh nuansa, penuh kegetiran yang harus dicerna pelan-pelan. Dan dua pandangan ini menunjukkan bahwa Bandung sedang berada pada titik kritis: titik ketika kebudayaan harus memilih antara menjadi ruang nilai atau menjadi panggung politik kecil-kecilan.
Baca Juga: Seni dan Perlawanan: Membaca Realitas melalui Cermin Chernyshevsky
Menyoal Perwal Kota Bandung dan Krisis Cara Pandang terhadap Budaya
Renjana dan Kota yang Kehilangan Imajinasi
Wajah Kota yang Tersibak
Sementara itu, kota ini sendiri sedang menampilkan wajah yang tidak sedap dipandang. Wakil Wali Kota Bandung menjadi tersangka penyalahgunaan jabatan. Persoalan sampah tak kunjung selesai–lebih cepat muncul konferensi pers daripada armada pengangkut sampah. Banjir datang setiap hujan, seolah mengingatkan kita bahwa Bandung lebih patuh pada gravitasi daripada pada perencanaan. Lalu pelanggaran HAM bermunculan seperti iklan pop-up: tak diinginkan, tetapi terus saja muncul tanpa tombol “close”.
Ini tentu bukan kabar baik untuk kota yang bangga menyebut dirinya “kota kreatif”. Sebab kreativitas, kalau dipikir-pikir, adalah kemampuan menciptakan nilai; bukan kemampuan menciptakan konten Instagram untuk menutupi masalah.
Dan di tengah kondisi seperti ini, kita sebenarnya sedang membutuhkan lembaga budaya yang kuat. Bukan lembaga yang sibuk mengurusi festival, bukan lembaga yang puas menjadi EO resmi pemerintah kota. Kita membutuhkan lembaga yang berfungsi sebagai benteng terakhir kewarasan publik.
Suara yang mampu mengingatkan ketika kekuasaan mulai berjalan miring. Suara yang berani menegur ketika kebijakan publik mulai mengabaikan warga. Suara yang bersuara ketika nilai dan moral mulai dikorbankan demi kenyamanan politik.
Dalam teori, itu seharusnya peran DKKB. Dalam praktik, sebagian pelaku budaya justru sibuk membuka kalkulator: menghitung apakah etika bisa ditukar dengan peluang PAD.
Di sinilah tragedi kecil budaya kota itu lengkap.
Grentifikasi: Ketika Kota Menjadi Cermin Retak
Ada satu persoalan lain yang jarang dibicarakan dengan serius: grentifikasi. Bandung berubah cepat: dari kota yang hidup oleh interaksi warganya menjadi kota yang hidup oleh kalkulasi pasar.
Harga-harga ruang meningkat. Kampung-kampung lama perlahan digeser oleh kafe-kafe baru yang meminjam estetika nostalgia. Ruang-ruang komunal berubah menjadi ruang layanan. Kehidupan warga perlahan direduksi menjadi latar belakang foto para pendatang.
Dan anehnya, banyak yang menganggap ini perkembangan. Padahal, grentifikasi adalah gejala hilangnya akar budaya, sebuah penanda bahwa kota sedang kehilangan jati diri.
Di titik ini, pekerjaan rumah kebudayaan menjadi sangat besar.
Kita butuh DKKB yang mampu memberi masukan jujur dan keras kepada pemerintah kota: bahwa pembangunan yang mengikis warga bukan pembangunan; bahwa estetika yang mengabaikan kehidupan sosial adalah estetika kosong; bahwa kebudayaan tidak seharusnya tunduk pada logika pariwisata dan pendapatan daerah semata.
DKKB seharusnya menjadi penjaga arah, bukan penumpang di mobil dinas.
“Culture is the fabric of meaning through which human beings interpret their experience. (Kebudayaan adalah jaringan makna tempat manusia menafsirkan pengalaman).” Clifford Geertz–Kebudayaan sebagai Sistem Makna
Sawala 2025 seharusnya menjadi momentum penting. Momentum untuk mengatur ulang napas kebudayaan kota. Momentum untuk menegaskan kembali nilai-nilai dasar yang tengah hilang. Momentum untuk berkata jujur bahwa kota ini sedang sakit–dan obatnya tidak bisa dibeli dari anggaran APBD.
Barangkali Sawala itu seperti moncong meriam yang mengarah ke Balai Kota.
Bukan untuk menembak siapa pun.Tetapi untuk mengetuk pintu Balai Kota sambil berkata: “Tolong bersihkan diri. Sebelum Bandung berubah menjadi panggung satir tanpa akhir.”
Karena kebudayaan bukan sekadar mural baru, festival musik, pameran seni, atau malam penghargaan.
Kebudayaan adalah cara sebuah kota memandang dunia. Cara warga memaknai kebenaran.
Cara pemerintah memperlakukan kepercayaan publik.
Jika kebudayaan sehat, pemerintahan ikut sehat. Jika kebudayaan setengah mati, kota pun berperilaku aneh: banjir setiap hujan, sampah setiap pagi, dan pejabat bermasalah setiap pergantian bulan.
Mengembalikan Keberanian Batin Kota
Mungkin itulah inti dari semua ini: keberanian batin.
Kebudayaan tidak akan pernah berdiri jika ia dibiarkan menjadi ornamen. Ia harus kembali menjadi ruang moral. Ruang refleksi. Ruang kritik Ruang yang membuat kekuasaan merasa diawasi, bukan dielus.
Masalah terbesar Bandung hari ini bukan hanya teknis—sampah, banjir, tata kota, atau administrasi yang bengkok. Masalah terbesarnya adalah kehampaan nilai.
Ketika pejabat publik terjerat kasus, tetapi publik menganggap itu hal biasa. Ketika ruang-ruang warga hilang, tetapi kita sibuk memotret mural baru. Ketika warga disingkirkan oleh grentifikasi, tetapi kita merayakan kafe baru. Ketika kebudayaan direduksi menjadi angka PAD, tetapi ada yang menganggap itu prestasi.
Di titik itulah kebudayaan sebenarnya sedang meminta tolong.
Penutup: Mengapa Kita Masih Perlu Berani
Bandung adalah kota yang pernah melahirkan banyak gagasan besar. Kota yang pernah menjadi rumah bagi kritik yang tajam, humor yang cerdas, dan kreativitas yang melampaui dekorasi.
Kini kota ini membutuhkan keberanian itu kembali.
Keberanian untuk menjaga proses demokratis, tetapi juga keberanian untuk mengkritisi diri sendiri. Keberanian untuk menolak intervensi kekuasaan, tetapi juga keberanian untuk mempertanyakan keputusan yang melemahkan forum warga. Keberanian untuk berkata pada pemerintah, “Anda keliru,” tetapi juga keberanian untuk berkata kepada pelaku budaya, “etika tidak bisa ditukar dengan proyek.”
Jika kebudayaan adalah napas kota, maka hari ini Bandung sedang megap-megap. Dan Sawala–dengan segala pertengkaran dan lukanya–mungkin adalah kesempatan terakhir kita untuk mengambil oksigen baru.
Karena tanpa kebudayaan yang sehat, Bandung hanya akan menjadi kota yang sibuk: sibuk menghadiri festival, sibuk membangun kafe, sibuk membuat konten. Tetapi tak lagi punya jiwa.
Dan kota tanpa jiwa, seperti kita tahu, hanya menunggu waktu untuk runtuh–pelan, tetapi pasti.
Pada akhirnya, persoalan kebudayaan Bandung bukan sekadar siapa yang duduk di DKKB atau siapa yang mundur. Itu hanya gejalanya, bukan sumber penyakitnya. Pertanyaannya jauh lebih filosofis.
Apakah kita ingin kebudayaan yang merawat martabat kota ?
Atau kebudayaan yang melayani kenyamanan kekuasaan dan hasrat ekonomi ?
Apakah kita ingin kota sebagai rumah ?
Atau kota sebagai etalase ?
Kita sedang berdiri di tepi jurang nilai. Dan hanya kebudayaan yang kritis, reflektif, dan berani yang bisa membawa kita kembali dari tepi itu.
Bandung pernah punya gagasan-gagasan besar. Kini ia membutuhkan keberanian yang sama besarnya. Sebab kota yang kehilangan kebudayaannya bukan hanya kehilangan masa lalu.
Ia kehilangan masa depannya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

