MAHASISWA BERSUARA: Wajah Baru Upaya Pemberedelan Pers di Indonesia
Upaya membungkam media di Indonesia tidak lagi menggunakan metode represif layaknya era Orde Baru, melainkan beralih ke taktik yang lebih tersembunyi.

Tobias Raditya Kristupa
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
19 Desember 2025
BandungBergerak.id – Kemerdekaan pers merupakan cerminan kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi, serta manifestasi dari hak asasi manusia untuk berpendapat dan menyatakan pikiran sesuai hati nurani. Dalam tatanan masyarakat dan sistem demokrasi, media massa (Pers) memiliki kedudukan yang penting. Peran utamanya adalah sebagai instrumen untuk menjamin tegaknya keadilan dan kebenaran, sekaligus berperan aktif dalam meningkatkan taraf kesejahteraan serta mencerdaskan kehidupan berbangsa. Menurut Metalianda dkk. (2019) untuk memastikan pers dapat menjalankan keseluruhan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya secara profesional, diperlukan adanya perlindungan hukum yang solid dan bebas dari segala campur tangan atau intervensi. Dosen Hukum Administrasi Negara, Universitas Gadjah Mada (UGM), Hendry Julian Noor menyatakan bahwa kebebasan media diakui sebagai elemen integral dari hak asasi manusia untuk berekspresi, yang keberadaannya dilindungi secara hukum. Berdasarkan pandangan ini, peran pers melampaui sekadar menyalurkan opini publik; ia juga berfungsi sebagai fondasi krusial bagi keberlangsungan suatu sistem pemerintahan yang demokratis.
Meski demikian, kondisi aktual di Indonesia menunjukkan adanya kontradiksi dengan idealisme kebebasan pers tersebut. Walaupun pers diakui secara hukum sebagai pilar demokrasi, upaya untuk menyuarakan kebenaran dan menegakkan keadilan terutama ketika bersikap kritis, sering kali mendapat perlawanan atau respons negatif dari berbagai pihak. Fenomena ini, seperti yang disebutkan dalam teks, bahkan mencakup tindakan balasan keras seperti pemberontakan dan penculikan, yang secara signifikan mencederai semangat kemerdekaan pers yang seharusnya dijamin dan dilindungi oleh negara.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: No Viral No Justice, Kekuatan Moral di Era Media Sosial
MAHASISWA BERSUARA: Suara Rakyat di Era Digital, Peran Media Sosial Membentuk Populisme Modern
MAHASISWA BERSUARA: Kata yang Bersuara dan Kebijakan yang Bisu
Upaya Membungkam Pers di Indonesia.
Saat ini, upaya membungkam media di Indonesia telah mengalami perubahan, tidak lagi menggunakan metode represif layaknya era Orde Baru, melainkan beralih ke taktik yang lebih tersembunyi. Cara-cara baru ini sering kali memanfaatkan instrumen hukum dan jalur birokrasi. Contoh terbaru dari tekanan terhadap pekerja media terjadi pada September 2025. Dalam insiden tersebut, Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden mengambil tindakan pencabutan sementara Kartu Identitas Liputan Istana milik jurnalis CNN Indonesia, DV. Langkah ini dipicu oleh pertanyaan yang bersifat kritis yang diajukan DV kepada Presiden Prabowo Subianto mengenai program Makan Bergizi Gratis (MBG). Pertanyaan tersebut kemudian diklaim oleh Biro Pers sebagai hal yang "tidak relevan" dengan konteks acara resmi yang sedang berlangsung.
Langkah pencabutan ID liputan tersebut memantik reaksi dan kecaman sengit dari sejumlah kalangan, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers. Kedua lembaga tersebut secara kolektif berpendapat bahwa aktivitas jurnalistik yang meliputi peran pengawasan, kritik, dan koreksi demi kepentingan masyarakat luas–adalah hak konstitusional yang secara tegas dilindungi oleh Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Meskipun pada akhirnya ID Pers jurnalis DV dikembalikan, kejadian ini tetap dinilai sebagai suatu serangan langsung terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi dan menjadi manifestasi nyata dari upaya pembatasan kebebasan pers.
Gaya baru dalam upaya pembungkaman media terlihat jelas, dicontohkan melalui gugatan perdata yang bernilai fantastis, yakni sebesar 200 miliar rupiah. Gugatan ini dilayangkan oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman kepada media Tempo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang tercatat pada bulan Juli 2025. Akar gugatan ini berasal dari sengketa pemberitaan terkait motion graphic berjudul “Poles-poles Beras Busuk”. Karya visual dari media Tempo yang diunggah di media sosial Tempo pada 16 Mei 2025, merupakan bagian dari pemberitaan Tempo yang mengulas risiko dan tata kelola di balik rekor Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Kasus ini menarik perhatian publik secara luas karena Menteri Amran memutuskan untuk mengajukan gugatan perdata, meskipun sengketa terkait pemberitaan tersebut sebenarnya sudah tuntas diselesaikan melalui prosedur resmi Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers. Perlu dicatat, mekanisme penyelesaian yang diatur Dewan Pers tersebut (dengan Nomor 3/PPR-DP/VI/2025) telah dipatuhi dan dilaksanakan sepenuhnya oleh pihak Media Tempo. Gugatan hukum, alih-alih menggunakan hak jawab atau mekanisme Dewan Pers yang sudah diatur, hal tersebut dianggap oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan pelaku pers sebagai bentuk pembredelan terselubung yang bertujuan mengancam finansial media. Tekanan finansial dan kriminal ini menimbulkan efek gentar atau chilling effect, di mana jurnalis dikhawatirkan akan takut melakukan kerja investigasi dan kritik, yang pada akhirnya merugikan masyarakat karena kehilangan akses terhadap laporan-laporan kritis dan mendalam dari media informasi.
Dasar Hukum yang Semestinya Ditegakkan.
Kemerdekaan pers memiliki jaminan konstitusional yang diperkuat secara rinci oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Regulasi ini secara tegas mengakui serta melindungi hak fundamental warga negara untuk mengakses, mendapatkan, dan menyebarluaskan berita tanpa dihadapkan pada intervensi, penyensoran, dan pelarangan penerbitan (pembredelan). Kebebasan yang esensial ini secara spesifik diatur dalam Pasal 4 Ayat 1 dan 2 UU Pers. Selain itu, undang-undang tersebut juga memastikan perlindungan hukum bagi para jurnalis ketika mereka melaksanakan tugas peliputan (Pasal 8). Jaminan ini semakin kokoh berkat adanya dukungan dari Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945.
Dalam penyelesaian sengketa, prinsip yang wajib diikuti adalah asas lex specialis, di mana UU Pers harus dijadikan hukum khusus yang mengesampingkan penggunaan undang-undang umum seperti KUHP atau UU ITE untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan produk jurnalistik. Mantan Anggota Dewan Pers, Wina Armada Sukardi mengatakan bahwa penerapan prinsip lex specialis ini sangat krusial, sengketa yang melibatkan unsur pers wajib diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers terlebih dahulu. Tindakan hukum langsung tanpa melalui mediasi Dewan Pers dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum pers dan berisiko menjadi alat untuk mengkriminalisasi jurnalis, yang pada akhirnya akan menghambat peran vital pers sebagai kontrol sosial.
Harapan dan Peran Pers terhadap Kebebasan di Indonesia.
Harapan utama dari kemerdekaan pers di Indonesia adalah terwujudnya demokrasi yang matang, di mana pers berfungsi sebagai salah satu pilar utama yang menjamin hak asasi individu, politik, sosial masyarakat. Kebebasan ini tidak bersifat mutlak, melainkan melekat tanggung jawab, dan bertujuan untuk memperjuangkan keadilan sosial dan terbebas dari kemiskinan serta keterbelakangan. Dalam perjalanan mewujudkan harapan tersebut sekaligus mengatasi ancaman pemberedelan dan pembungkaman, upaya kolektif menjadi penting. Pers harus mampu menghasilkan konten berkualitas serta melindungi dirinya dari berbagai ancaman. Dalam isi UU No. 40 Tahun 1999 mengenai Pers, pemberedelan dilarang, dan instrumen kunci untuk menjaga kemerdekaan pers adalah melalui penegakan Kode Etik Jurnalistik, yang merupakan kode kehormatan profesi, sekaligus menjadi landasan moral dan etika. Selain itu, organisasi pers dan masyarakat harus mendesak agar pemerintah menghentikan pemidanaan dan intimidasi terhadap jurnalis, termasuk pengabaian keselamatan mereka, sehingga wartawan dapat menjalankan tugasnya tanpa rasa takut.
Peran media massa (Pers) di Indonesia dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran sangatlah mendasar, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Pers. Fungsi ini diaktualisasikan melalui mekanisme kontrol sosial yang kuat, di mana pers memiliki kebebasan penuh untuk mengawasi dan memberikan kritik terhadap kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga pemerintahan, termasuk eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam konteks hukum, pers mengambil peran sebagai pendukung (fasilitator) penegakan hukum, bukan sekadar entitas yang tunduk pada hukum, melainkan juga sebagai aktor penting yang berkontribusi dalam diseminasi fakta dan kebenaran. Pers memikul tanggung jawab untuk memastikan publik dapat memenuhi haknya atas informasi dengan menyediakan data yang valid, tepat, dan berdasarkan fakta. Lebih lanjut, pelaksanaan fungsi ini secara simultan berperan penting dalam mendorong terwujudnya supremasi hukum dan menghormati hak asasi manusia. Keseluruhan upaya ini pada dasarnya merupakan wujud konkret dari kedaulatan yang dimiliki rakyat.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

