Melihat Democratic Backsliding di Indonesia
Indonesia menunjukkan sejumlah ciri pelemahan demokrasi. Perubahan hukum dan praktik kekuasaan sering kali dibungkus dengan narasi stabilitas dan ketertiban.

Mugi Muryadi
Pegiat literasi, pemerhati sosial dan pendidikan, serta pendidik.
23 Desember 2025
BandungBergerak.id – Sejak awal 2024, arah demokrasi Indonesia menunjukkan gejala kemunduran yang semakin sistematis dan terstruktur. Sejumlah kebijakan politik yang lahir dalam ruang formal negara justru memunculkan kegelisahan publik mengenai masa depan kebebasan sipil dan jaminan hak asasi manusia. Gejala ini tidak hadir secara tiba-tiba, melainkan muncul perlahan melalui keputusan-keputusan yang secara prosedural sah, tetapi bermasalah secara substantif. Demokrasi tampak berjalan normal di permukaan, sementara fondasi etik dan akuntabilitasnya mengalami erosi.
Salah satu peristiwa yang memicu perdebatan luas adalah pemberian pangkat Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo Subianto. Kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 13/TNI/2024. Pemberian pangkat itu menuai kritik keras dari aktivis hak asasi manusia. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai kebijakan tersebut “mengabaikan prinsip akuntabilitas dan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat masa lalu” serta berpotensi “melanggengkan impunitas di Indonesia” (KontraS, Pangkat Kehormatan dan Impunitas Pelanggaran HAM, 2024). Senada dengan itu, Imparsial (2024) dalam “Pangkat Kehormatan dan Kemunduran Reformasi HAM” menyatakan bahwa pemberian pangkat kehormatan kepada figur yang memiliki rekam jejak dugaan pelanggaran HAM “bertentangan dengan semangat keadilan transisional dan penyelesaian pelanggaran HAM berat”. Kritik serupa juga disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil yang menegaskan bahwa keputusan tersebut “melukai rasa keadilan korban dan keluarga korban penghilangan paksa 1997–1998” (Gugatan atas Keppres Pangkat Kehormatan, 2024). Diskursus publik tersebut kembali mempertanyakan komitmen negara terhadap keadilan transisional.
Demokrasi kehilangan maknanya ketika simbol kekuasaan lebih ditonjolkan daripada upaya penyelesaian keadilan. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori democratic backsliding. Andrew T. Little dan Anne Meng dalam Democratic Backsliding and Authoritarian Resilience (2024) menjelaskan bahwa kemunduran demokrasi modern terjadi secara legal dan bertahap, bukan melalui kudeta militer atau pembubaran parlemen. Pelemahan demokrasi dilakukan lewat kebijakan yang sah secara prosedural, tetapi mengubah fungsi hukum dan institusi. Demokrasi tetap berjalan secara formal, namun substansinya terkikis perlahan hingga sulit dikenali sejak awal oleh publik.
Indonesia menunjukkan sejumlah ciri dari pola tersebut. Perubahan hukum dan praktik kekuasaan sering kali dibungkus dengan narasi stabilitas dan ketertiban. Akademisi Bivitri Susanti menyebut kondisi ini sebagai legalisme otoriter, yakni penggunaan hukum sebagai alat pembatas kritik tanpa melanggar prosedur formal demokrasi (Legalisme Otoriter: Hukum sebagai Alat Kekuasaan, 2019). Regulasi dibuat tampak netral dan rasional, tetapi dampaknya timpang. Kelompok kritis dan minoritas pendapat sering berada dalam posisi paling rentan.
Penyempitan ruang kebebasan berekspresi juga terlihat dalam ranah seni dan budaya. Kasus band punk Sukatani pada Februari 2025 menjadi contoh nyata. Lagu “Bayar Bayar Bayar” yang mengkritik praktik suap aparat secara satir ditarik dari seluruh platform digital, disusul dengan video permintaan maaf dari para personelnya. Amnesty International Indonesia (2025) menyatakan keprihatinan serius dan menilai negara gagal melindungi kebebasan berekspresi warganya. Tekanan informal semacam ini dinilai efektif membungkam kritik tanpa perlu proses hukum terbuka.
Baca Juga: Demonstran Remaja dan Demokrasi Indonesia
Jangan Biarkan Demokrasi Indonesia di Tepi Jurang
Elite Penguasa Mengancam Demokrasi Indonesia dan Rakyat Pekerja Memukul Balik
Menyempitnya Ruang Sipil
Pola penyempitan ruang sipil semakin menguat dengan disahkannya RKUHAP pada 18 November 2025. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP (2025) dalam “Sikap Kritis terhadap RKUHAP” menilai sejumlah pasal memperluas kewenangan aparat penegak hukum secara berlebihan, terutama dalam hal penahanan, penyelidikan, dan penyadapan. Mekanisme pengawasan eksternal dinilai belum cukup kuat untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Pakar hukum pidana Chairul Huda (2025) dalam “Pandangan Kritis atas Pasal Multitafsir RKUHAP” menyoroti bahaya pasal-pasal multitafsir dalam RKUHAP. Menurutnya, ketidakjelasan norma membuka ruang kriminalisasi pendapat, termasuk terhadap aktivitas akademik, riset kritis, diskusi publik, dan jurnalisme investigatif. Dalam kondisi hukum yang tidak pasti, aparat memiliki kuasa yang lebih besar, sementara warga cenderung memilih diam demi keamanan pribadi. Chilling effect menjadi konsekuensi sosial yang sulit dihindari.
Situasi tersebut diperparah oleh proses pembahasan RKUHAP yang minim partisipasi publik. Banyak dokumen pembahasan sulit diakses masyarakat luas. Padahal Mahkamah Konstitusi telah menegaskan pentingnya meaningful participation dalam pembentukan undang-undang (Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pembentukan Undang-Undang, 2020). Ketika partisipasi publik diabaikan, legitimasi hukum melemah dan aspirasi perlindungan hak asasi manusia tidak terserap secara optimal.
Persoalan impunitas pelanggaran HAM masa lalu juga belum menunjukkan kemajuan signifikan. Laporan tahunan Komnas HAM mencatat stagnasi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat sepanjang 2023 dan 2024 (Laporan Tahunan Komnas HAM, 2023–2024). Di sisi lain, kekerasan aparat dan penahanan sewenang-wenang masih terjadi dalam konteks penegakan hukum. Kondisi ini memperkuat kesan bahwa negara kebal terhadap koreksi publik.
Kemunduran demokrasi tidak hanya berdampak pada hak sipil dan politik, tetapi juga pada hak ekonomi, sosial, dan budaya. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mencatat peningkatan konflik agraria dan kriminalisasi warga yang menolak proyek ekstraktif sepanjang 2024 (Catatan Akhir Tahun WALHI: Konflik Agraria dan Demokrasi Ekologis, 2024). Masyarakat adat dan petani sering kehilangan ruang hidup, sementara hukum kerap berpihak pada kepentingan investasi.
Little dan Meng (2024) menyebut kondisi ini sebagai institutions undermined from within, yakni ketika institusi demokratis digunakan untuk membungkam kritik alih-alih melindungi kebebasan warga. Pemilu tetap berlangsung, tetapi demokrasi substantif kehilangan daya protektifnya. Demokrasi tersisa sebagai prosedur administratif tanpa substansi kebebasan yang hidup.
Demikianlah. Demokrasi tidak cukup diukur dari keberlangsungan pemilu semata. Demokrasi harus menjamin kebebasan berekspresi, seni, pers, dan akademik secara nyata. Tanpa komitmen kuat negara terhadap hak asasi manusia dan partisipasi publik, demokrasi Indonesia berisiko terus melemah. Dalam konteks inilah, menjaga suara rakyat bukan hanya tugas negara, tetapi tanggung jawab bersama seluruh warga negara.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

