• Opini
  • Prabowo-Jokowi dalam Memori Publik dan Realisme Politik

Prabowo-Jokowi dalam Memori Publik dan Realisme Politik

Memori publik tentang relasi Prabowo-Jokowi telah terbentuk dan tidak bisa dianulir. Wacana kedekatan kedua tokoh ini bukan sekadar persepsi atau imajinasi publik.

Ari Ganjar Herdiansah

Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Padjadjaran (Unpad)

Prosesi Pisah-Sambut Presiden Republik Indonesia dari Joko Widodo (Jokowi) ke Prabowo Subianto di Istana Merdeka, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Minggu, 20 Oktober 2024. (Foto: Humas Setkab/Agung)*

24 Desember 2025


BandungBergerak.id – Dalam pidatonya saat peresmian pabrik Lotte Chemical Indonesia (LCI) di Cilegon, Banten, pada Kamis, 6 November 2025, Presiden Prabowo Subianto secara terbuka menyinggung narasi miring tentang hubungannya dengan Presiden ke-7, Joko Widodo (Jokowi). Beliau kesal karena dianggap masih dibayangi atau dikendalikan oleh pendahulunya itu.

Respons Prabowo menyiratkan bahwa narasi tentang kendali Jokowi atas pemerintahannya bukan sekadar gosip, melainkan sebuah wacana publik yang sepertinya mengganggu perhatian beliau.

Akar Wacana

Sebuah wacana publik tidak berdiri sendiri, melainkan terangkai melalui akumulasi historis dari berbagai peristiwa, persepsi, dan manuver politik.

Kedekatan Prabowo-Jokowi dimulai ketika Prabowo bergabung dengan pemerintahan Jokowi pasca Pilpres 2019. Sejak saat itu, setidaknya terdapat tiga akar wacana yang saling berkaitan yang membangun anggapan publik tentang kendali Jokowi atas Prabowo.

Pertama, tentang endorsement Jokowi yang memunculkan istilah “cawe-cawe” politik pada masa Pilpres 2024. Puncaknya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, sebagai calon wakil presiden.

Putusan kontroversial yang melibatkan Anwar Usman, paman Gibran sekaligus Ketua MK saat itu, dilihat aktivis pro-demokrasi sebagai intervensi istana terhadap jalannya demokrasi yang berkeadilan.

Kedua, Prabowo sendiri mengakui peran Jokowi di balik kemenangannya. Dalam pidato di acara ulang tahun ke-17 Partai Gerindra pada Februari 2024, Prabowo secara gamblang mengakui peran dan bantuan dari Jokowi. Pengakuannya lantas diikuti dengan teriakan “Hidup Jokowi!”

Di mata publik, peristiwa tersebut menyiratkan kedekatan politik antara Prabowo dengan Jokowi, serta berlakunya utang budi.

Ketiga, terkait komposisi kabinet yang dianggap mengakomodir orang-orang titipan Jokowi. Segera setelah pelantikan, narasi “kabinet titipan” langsung mengemuka. Publik dan media menyoroti banyaknya figur yang identik sebagai “orang Jokowi” yang mengisi pos-pos strategis.

Di ranah digital, podcast-podcast politik yang memiliki jutaan pendengar turut membahas tentang pengaruh kuat Jokowi terhadap pemerintahan Prabowo. Berbagai obrolan santai politik itu memelihara, dan bahkan menguatkan, memori politik publik tentang eratnya kepentingan Prabowo dan Jokowi.

Baca Juga: Dari Balas Budi ke Politik Nilai, Menakar Harapan untuk Kabinet Prabowo
Menerka Tantangan Pergerakan Sipil di Tangan Pemerintahan Prabowo-Gibran
Mengapa Kita Perlu Waspada Terhadap Target Pertumbuhan Ekonomi Prabowo?

Bukan Sekedar “Wacana”

Wacana kedekatan kedua tokoh ini bukan sekadar persepsi atau imajinasi publik. Namun, narasinya sejalan dengan analisis sejumlah akademisi yang meneliti dinamika politik menjelang Pemilu 2024 dan sesudahnya.

Marcus Mietzner (2024), dalam artikelnya Jokowi’s Pyrrhic Victory, mengungkapkan bahwa dukungan Jokowi untuk Prabowo merupakan sebuah pilihan strategis yang diambil setelah berbagai skenario politik lain, seperti perpanjangan masa jabatan presiden, tidak terwujud. Menurut Mietzner, aliansi ini menguat secara signifikan karena faktor-faktor kalkulasi politik jangka panjang.

Faktor yang paling memperkuat aliansi ini, menurut Mietzner, adalah kesediaan Prabowo untuk menggandeng Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.

Di sisi strategi pemenangan pilpres, Burhanuddin Muhtadi dalam artikelnya, Collective Memory, Democratic Ambivalence, and Authoritarian Notions of Democracy: Explaining the Rise of Prabowo Subianto (2025) menyoroti rebranding Prabowo yang sukses menjadi “kakek menggemaskan” (gemoy).

Strategi ini, menurut Muhtadi, berhasil mencapai dua tujuan: menyesuaikan diri untuk mendapatkan dukungan Jokowi dan pengikutanya serta menarik pemilih muda yang jumlahnya sangat signifikan.

Temuan penting lainnya dari riset Muhtadi (2025) adalah terjadinya pergeseran memori kolektif. Jika sebelumnya Prabowo kental dengan citra masa lalu, strategi penyesuaian ini berhasil membuat publik kini lebih mengasosiasikan Prabowo sebagai “orangnya” Jokowi dan bukan warisan Orde Baru.

Riset mutakhir dari Wijaya dan Jayasuriya (2025) menyatakan tentang kondisi politik kita di era Prabowo sebagai authoritarian statism, di mana intervensi negara berlangsung secara berlebihan di sektor-sektor sipil. Penggunaan aparatur negara yang represif dan militerisme, yang menguat di era Jokowi, dilanjutkan dengan konfigurasi yang makin mencengkram dan menjadi keteraturan politik di era Prabowo.

Prabowo Seorang Realis

Dalam kedekatan politik yang sedemikian rupa itu, Prabowo tidak mungkin melupakan jasa besar Jokowi yang menghantarkannya ke kursi RI-1 setelah tiga kali gagal di pilpres. Namun, Prabowo juga seorang realis.

Meskipun ada “utang budi” politik yang tak terbantahkan, Prabowo menunjukkan bahwa ia adalah seorang presiden yang berkuasa penuh dan bertindak berdasarkan kalkulasi berbagai kepentingan untuk mengonsolidasikan kekuasaannya. Tanda-tanda independensi ini terlihat jelas, dan dengan sendirinya telah membantah narasi bahwa ia sekadar “boneka”.

Langkah ini terlihat pada beberapa keputusan politiknya. Contohnya adalah pemberhentian Budi Arie Setiadi, Ketua Umum Projo, loyalis Jokowi, dari jabatan Menteri Koperasi pada September 2025.

Contoh lainnya terlihat pada evaluasi proyek warisan Jokowi, yakni Ibu Kota Nusantara (IKN). Meski berkomitmen melanjutkan, Prabowo memangkas alokasi anggarannya dalam RAPBN 2026. Prabowo terlihat jelas lebih memilih alokasi APBN yang cukup besar pada program Makan Bergizi Gratis (MBG), program unggulannya, ketimbang IKN.

Penutup

Memori politik publik tentang relasi Prabowo-Jokowi kini telah terbentuk dan tidak bisa dianulir. Ia sampai pada puncak kekuasaan melalui serangkaian manuver politik, endorsement, dan kompromi elite di era sebelumnya. Namun, keadaan politik juga menghadirkan Prabowo sebagai seorang realis yang mulai membangun fondasi atas nama dirinya sendiri, dan (mudah-mudahan) demi kepentingan nasional.

Pada akhirnya, tantangan terbesar Prabowo bukanlah sekadar membantah wacana “bayang-bayang” Jokowi. Tantangan sesungguhnya terletak pada bagaimana ia mengelola mandat dari rakyat yang kini ia pegang.

Dalam konteks ini, tugas terbesar Prabowo adalah memulihkan muruah demokrasi yang kini sedang tercabik-cabik. Mengembalikan prinsip-prinsip kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan menyediakan ruang sipil yang pada aman adalah tindakan yang urgent dilakukan. Itu pun kalau Prabowo benar-benar ingin membuktikan bahwa ia bukan pewaris rezim sebelumnya dan ia adalah seorang nasionalis sejati.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//