Kisah Para Perempuan di Tengah Perampasan Lahan di Nusantara
Buku Pembangunan Untuk Siapa? Kisah Perempuan di Kampung Kami didiskusikan di Perpustakaan Bunga di Tembok. Memuat pengalaman perempuan menghadapi konflik agraria.
Penulis Salma Nur Fauziyah21 Desember 2025
BandungBergerak - Diskusi buku Pembangunan Untuk Siapa? Kisah Perempuan di Kampung Kami digelar pada Minggu, 14 Desember 2025, di Perpustakaan Bunga di Tembok. Buku ini memuat tujuh laporan jurnalistik tentang pengalaman perempuan menghadapi konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia.
Dalam prolog buku tersebut tertulis, “Perempuan di lingkar pembangunan tidak sedang memburu kemenangan. Mereka sedang menjaga makna hidup yang tak bisa dituker dengan janji-janji kosong pembangunan.” Kutipan itu menjadi pengantar diskusi mengenai maraknya perampasan lahan atas nama proyek strategis nasional (PSN) dan pembangunan.
Anita Dhewy, redaktur Konde.co, menyebut laporan jurnalistik dalam buku yang diterbitkan Marjin Kiri pada November 2025 itu ditulis berdasarkan temuan di enam wilayah yang dirangkum menjadi tujuh cerita. Selain Anita, laporan juga ditulis oleh Fiona Wiputri dan Luthfi Maulana Adhari.
“Jadi ada enam wilayah yang kami tulis menjadi tujuh cerita. Di semua pulau di Indonesia ya, dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTB dan NTT,” ujarnya.
Anita menjelaskan bahwa laporan ini berangkat dari narasi pembangunan yang selama dua dekade terakhir disebut bertujuan untuk kesejahteraan rakyat. Namun, fakta di lapangan menunjukkan dampak sebaliknya, terutama bagi masyarakat adat dan perempuan. Salah satu contoh yang disampaikan adalah konflik pertambangan nikel di Desa Torobulu, Sulawesi Tenggara.
Di desa tersebut, aktivitas penambangan nikel merambah hingga mendekati permukiman warga. Ayunia, warga setempat sekaligus pegiat HAM dan lingkungan, mempertanyakan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) perusahaan tambang dan bersama warga melakukan aksi penolakan. Ayunia menginginkan adik-adiknya dapat bersekolah dengan nyaman tanpa terganggu debu tambang di sekitar sekolah.
Anita menyebut konflik serupa juga terjadi di Desa Telemow, Kalimantan Timur, yang terancam tergusur oleh perusahaan dan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Menurutnya, perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak akibat konflik lahan.
“Jadi di sini yang membuat ya perempuan itu jadi menanggung beban kerja, rumah tangga, dan reproduksi sosial yang berlipat,” jelas Anita.
Ia mencontohkan kasus di Desa Telemow, ketika warga yang menolak pembangunan mengalami kriminalisasi. Banyak laki-laki ditangkap, sementara istri mereka harus mengambil peran sebagai kepala keluarga. Beban perempuan pun meningkat, baik secara ekonomi maupun sosial.
Anita menilai ketimpangan tersebut muncul karena model pembangunan yang bertumpu pada ekonomi dan profit, tanpa melibatkan masyarakat sejak awal, khususnya perempuan.
Meski demikian, buku ini juga merekam berbagai bentuk perlawanan perempuan. Salah satunya adalah aksi perempuan adat di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, yang bertelanjang dada sebagai penolakan pembangunan Waduk Mbay Lambo.
Anita menegaskan buku ini menjadi upaya dokumentasi peran perempuan dalam menghadapi kesewenangan pemerintah dan elit oligarki.
“Selama ini sering kali gitu ya cerita-cerita perlawanan itu kan tidak banyak mengungkap peran perempuan. Bagaimana keterlibatan perempuan seperti itu. Padahal ya sebenarnya perempuan juga memegang peran kunci peran penting,” ungkapnya.
Baca Juga: Rifa Rahnabila dan Aktivis Muda Menghadapi Meja Hijau Terkait Demonstrasi Agustus, Dijerat Pasal UU ITE yang Sering Menyasar Suara Kritis Masyarakat
Bandung Raya 2025: Hulu Gundul, Hilir Tenggelam

Penggusuran di Bandung
Dalam diskusi yang sama, Maulida Zahra Kamila dari LBH Bandung memaparkan sejumlah konflik agraria yang mengatasnamakan PSN dan proyek transisi energi. Ia menayangkan video aksi penolakan pembangunan PLTU II di Desa Mekarsari, Indramayu, yang melibatkan banyak perempuan dari Jatayu (Jaringan Tanpa Asap dan Batu Bara Indonesia Baru). Warga menolak proyek tersebut karena berdampak pada ketersediaan air dan mata pencaharian mereka.
Maulida juga mencatat konflik agraria di Kota Bandung yang terjadi di Tamansari, Dago Elos, Anyer Dalam, dan Sukahaji. Wilayah-wilayah tersebut menjadi contoh bagaimana ruang hidup warga direbut atas nama pembangunan.
Salah satu konflik tanah di Bandung disampaikan oleh Eva Eryani, warga Tamansari RW 11. Ia menceritakan awal konflik pada 2017, saat warga diundang buka puasa bersama oleh Wali Kota Ridwan Kamil yang sekaligus menjadi ajang sosialisasi pembangunan rumah deret. Eva mengingat janji bahwa proyek tersebut bertujuan untuk mensejahterakan warga.
Namun warga menolak rencana itu karena skema pembangunan dinilai terburu-buru dan menimbulkan banyak pertanyaan.
“Kami tidak tahu ini tentang dulu ya. Walaupun saya mungkin enggak kepikiran tentang amdal apa-apa gitu loh kan. Karena saya dinina bobokan dengan pekerjaan konveksi,” kata Eva.
Penolakan berujung pada konflik panjang, termasuk proses hukum dan intimidasi terhadap warga. Pada 2021, sebagian warga terpecah dan menerima kompensasi. Eva memilih bertahan hingga akhirnya rumah yang ia bangun sejak 2021 diserang aparat pada 18 Oktober 2023. Meski kehilangan rumah, Eva menegaskan tidak menyesali perjuangannya.
“Saya tidak menyesali apa yang saya perjuangkan,” katanya.
Diskusi buku ini menegaskan bahwa pembangunan yang mengabaikan hak warga dan lingkungan telah melahirkan konflik berkepanjangan, dengan perempuan berada di garis depan untuk mempertahankan ruang hidup.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

