Zohran Mamdani dan Pelajaran Politik untuk Indonesia
Jakarta direbut oleh politik identitas. Di New York, politik kebencian mendapat pukulan telak. Mengapa?

Ari Ganjar Herdiansah
Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Padjadjaran (Unpad)
29 Desember 2025
BandungBergerak.id – Kota New York memberikan kejutan pada awal November 2025. Zohran Kwame Mamdani, putra imigran Uganda dari komunitas Muslim, memenangkan pemilihan sebagai wali kota. Kampanye lawannya memutarbalikkan citra Mamdani dengan hinaan identitas yang buruk, menyebutnya “pembenci Yahudi”, “komunis”, dan “teroris”. Namun, ternyata semua serangan tersebut memantulkan kemenangan gemilang.
Bandingkan dengan Jakarta pada tahun 2017. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak kalah karena kinerjanya buruk, tetapi karena politik identitas bergejolak, menenggelamkan suara akal sehat publik. Retorika yang memecah belah mengaburkan masalah urgen, seperti transportasi dan banjir.
New York dan Jakarta sama-sama kota besar, multikultural, dan kompetitif. Namun, hasilnya berbeda. Fokus di Jakarta direbut oleh politik identitas. Di New York, politik kebencian mendapat pukulan telak. Mengapa?
Alasannya sederhana: selain keragaman latar belakang penduduk yang tinggi, warga New York sudah lelah dengan kebencian dan kembali pada sesuatu yang lebih masuk akal. Politik yang berbicara tentang biaya hidup yang mereka alami sehari-hari.
Namun, Amerika Serikat sendiri tidak sepenuhnya kebal dari politisasi identitas dan kebencian. Mamdani telah melewati proses di mana politik identitas sebagai senjata digunakan dalam skala yang lebih besar.
Presiden Donald Trump secara langsung menggunakan sindiran anti-imigran terhadap Mamdani, dan fitnah tersebut bergema di kalangan pendukungnya. Itu sebabnya bahkan di negara demokrasi yang dianggap matang ternyata tidak kebal terhadap racun politik identitas.
Mamdani memenangkan pemilu dengan kampanye pintu ke pintu. Ia turun ke jalan untuk bertemu warga. Ia datang bukan membawa paket makanan, melainkan telinga dan catatan, bersama dengan 30 ribu relawan muda.
Ia mendengar banyak cerita tentang sewa rumah yang meroket, biaya transportasi yang berat, dan kesulitan menemukan penitipan anak yang terjangkau. Program konkret mengikuti hal tersebut: bus gratis, penitipan anak gratis, dan pengendalian sewa rumah.
Inilah yang membedakan metode Mamdani dari “blusukan” seremonial yang selalu dikenal dalam gaya politik di Indonesia. Di sini, perjalanan ke pasar atau menyusuri gang sempit hanya berakhir dengan foto-foto dan konten daripada percakapan.
Bukan suara rakyat yang kita rekam saat seorang pemimpin turun ke lapangan, melainkan kameramen dan kemudian akan ada semacam narasi heroik yang ditambahkan setelahnya.
Kita tidak banyak mendapatkan contoh blusukan yang menghasilkan data kebijakan, seperti survei untuk mengetahui harga sewa, atau menelusuri biaya transportasi atau kebutuhan penitipan anak di setiap kecamatan.
Baca Juga: Mengelola Politik Identitas
Bumerang Politik Gimmick
Prabowo-Jokowi dalam Memori Publik dan Realisme Politik
Kampanye yang Tertanam Dalam
Gaya kampanye Mamdani sangat mendasar, tetapi tepat sasaran. Warga kota tidak peduli dengan gedung pencakar langit atau proyek mewah bernilai triliunan. Mereka khawatir tentang tarif sewa, biaya perjalanan, dan biaya sekolah anak.
Bayangkan jika logika semacam ini diterapkan pada kota-kota dan daerah-daerah di Indonesia: transportasi publik gratis 24/7 untuk pelajar atau, penitipan anak di setiap kelurahan, dan harga sewa rumah/kontrakan yang terkendali.
Dalam sembilan bulan, Mamdani berubah dari tokoh politik lokal menjadi ikon nasional melalui video pendek di TikTok dan X. Sebetulnya metode ini bukan hal yang baru bagi para kandidat. Bedanya, Mamdani membuka ruang untuk politik rasional, yang diisi dengan konten informatif yang jujur.
Dan itu tidak dibiayai oleh para miliarder. Sementara itu, oposisi Mamdani dibiayai 38 juta dolar dari tujuh orang kaya. Mamdani mengumpulkan 12 juta dolar dari 120.000 donor kecil. Jika dilakukan dengan bijak, crowdfunding politik seperti Mamdani menunjukkan bahwa “uang kecil” dari banyak orang dapat mengalahkan “uang besar” dari oligarki.
Di Indonesia, metode ini pernah dicoba. Sebuah partai baru sempat mengandalkan sistem crowdfunding sebagai bentuk partisipasi publik dan simbol perlawanan terhadap oligarki. Namun semangat awal itu memudar ketika mereka terserap ke dalam politik arus utama dan mengabaikan suara kritis Gen Z yang dulu mereka wakili.
Kembali ke Mamdani. Ketika difitnah, ia tidak membalas dengan kebencian. Dia menjawab dengan cerita tentang kemanusiaan. Saat ia meneteskan air mata di masjid dan mengingat bagaimana bibinya dilecehkan setelah 9/11. Kejujuran itu kemudian memperkuat dukungan.
Di Indonesia, serangan bermotivasi identitas dan kebencian terus efektif sebagai senjata politik, dari istilah “kafir”, “cebong”, hingga “kampret”. Namun strategi semacam ini pada dasarnya menunjukkan kemiskinan ide dan kegagalan membaca persoalan nyata. Ketika harga pangan, ongkos transportasi, dan sewa rumah menjadi beban sehari-hari, politik yang menakut-nakuti atas nama identitas justru makin kehilangan relevansinya.
Yang dibutuhkan bukan politik yang mencari musuh, tetapi politik yang menawarkan solusi. Seorang kandidat yang berani membicarakan kesejahteraan, upah, dan layanan publik akan lebih mudah mendapatkan kepercayaan pemilih daripada seseorang yang menciptakan ancaman identitas. Pada akhirnya, hanya politik yang berakar pada rasionalitas dan kebutuhan warga yang dapat mengakhiri siklus kebencian.
Penutup
Kemenangan Mamdani didasarkan pada cara-cara politik cerdas: melibatkan rakyat dan mendengarkan masalah mereka, menawarkan solusi praktis, memanfaatkan media yang dapat dijangkau rakyat, menanggapi kebencian dengan kebaikan, dan biaya kampanye secara kolektif dan transparan.
Pemilihan gubernur Jakarta 2017 seharusnya menjadi pelajaran bagi dunia tentang bahaya politik identitas. Zohran Mamdani memberikan kita penawarnya: politik rasional yang berakar pada realitas.
Dia telah menunjukkan bahwa bahkan di masa kebencian, akal sehat dapat menang, asalkan ia menampilkan wajah yang jujur dan janji-janji yang masuk akal. Sekarang giliran Indonesia untuk mencoba cara berpolitik seperti ini dalam pemilu mendatang.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

