• Opini
  • Di Padesan, Salah Satu Cara Belanda Mengenalkan Modernitas

Di Padesan, Salah Satu Cara Belanda Mengenalkan Modernitas

Buku bacaan “Di Padesan” karya H. Schroo dan R. Djajadiredja menjadi buku pendamping untuk anak sekolah zaman kolonial. Mengajak anak berpikir rasional dan ilmiah.

Jihad Alif Syaban Hidayat

Mahasiswa Sastra Sunda Unpad

Sampul buku Di Padesan karya H. Schroo dan R. Djajadiredja. Buku ini diterbitkan oleh penerbit J. B. Wolters tahun 1926 di Den Haag, Belanda. (Foto: Dokumentasi Jihad Alif Syaban Hidayat)

3 Mei 2023


BandungBergerak.id – Di kehidupan modern seperti sekarang, kita sedikit susah untuk mengenalkan aneka tumbuhan dan hewan secara langsung kepada anak-anak. Sudah banyak hutan dan lahan-lahan hijau yang sudah berubah menjadi perkantoran, mall, atau pemukiman penduduk untuk menunjang kehidupan modern manusia. Hal tersebut menyebabkan semakin berkurangnya populasi tumbuhan dan hewan dari masa ke masa. Namun apabila kita pikir kembali, modernisasi juga memiliki sisi positif. Kita tidak perlu jauh-jauh ke luar rumah untuk mengenalkan anak-anak kepada lingkungan. Semakin banyak juga media yang bisa dipilih walau rasanya akan berbeda dengan mengenalkan secara langsung. Tapi begitulah kehidupan, akan ada sisi negatif dan positif dari setiap fenomena yang terjadi.

Dari banyaknya pilihan media yang tersedia, kita bisa memilih buku bacaan anak sebagai media untuk mengenalkan lingkungan kepada anak. Buku bacaan anak diharapkan dapat meningkatkan rasa penasaran dari anak-anak. Selain itu, buku bacaan anak juga bisa menjadi sumber ilmu untuk pembacanya. Kesusastraan Sunda juga memiliki buku yang cocok untuk digunakan sebagai media untuk pengenalan lingkungan kepada anak yaitu Di Padesan.

Di Padesan ditulis oleh orang Belanda dan orang Sunda yaitu H. Schroo dan R. Djajadiredja. Buku ini pertama terbit pada tahun 1926 di Den Haag, Belanda dan diterbitkan oleh penerbit  J. B. Wolters. Agar lebih menyenangkan para pembacanya, buku ini diberi ilustrasi oleh dua seniman Belanda yaitu C. Jetses jeung M. A. Koekkoek. Pada zaman pemerintahan kolonial, Di Padesan dijadikan buku pendamping di sekolah-sekolah. Cerita di buku ini cocok untuk anak-anak karena dua penulisnya merupakan guru. H. Schroo pernah mengajar di Hoorgere Burgerschool (HBS) sedangkan R. Djajadiredja pernah mengajar di Middlebare Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenar (MOSVIA), Hollandsche Indische Kweekschool (HIK), sampai ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Oleh pengalaman tersebut, mereka mengerti bagaimana cara mengarang cerita yang akan disukai oleh anak-anak. R. Djajadiredja juga, bersama A. C. Deenik, yang membuat buku bacaan anak Roesdi djeung Misnem.

Baca Juga: Masih Adakah Kesetaraan bagi Lelaki Feminin?
Surat Cinta untuk Presiden
Surat Terbuka untuk Presiden di Hari Raya Idulfitri
Ramadan Selfie

Kisah-kisah Di Padesaan

Di Padesan menceritakan kehidupan sehari-hari seorang anak bernama Abdulhadi. Ia memiliki sahabat yang selalu menemaninya yaitu Subandi. Mereka akan mengajak para pembacanya untuk berkeliling untuk mengenalkan tumbuhan dan hewan yang ada di sekitar kampungnya. Di setiap cerita disisipi cara pandang modern. Hal tersebut bertujuan agar para pembacanya berpikir lebih rasional dan ilmiah.

Pengarang sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah Kolonial menggunakan dua pendekatan untuk memperkenalkan cara pandang yang lebih modern. Yang pertama yaitu dengan cara mempertanyakan nilai-nilai tradisional. Pemerintah Kolonial menganggap nilai-nilai yang masih dipercaya oleh masyarakat pribumi bertentangan dengan pikiran modern yang dianut oleh mereka.

Terlihat pada cerita yang berjudul Konéng jeung Hideung (Kuning dan Hitam). Dalam cerita tersebut pengarang menyinggung kepercayaan masyarakat pribumi terhadap dukun dan sasakala. Diceritakan ibu dari Subandi dinasihati oleh dukun untuk memakan burung kepodang agar sembuh dari penyakitnya. Lalu diceritakan juga bahwa burung tersebut merupakan burung yang berasal dari surga. Ia dikirim ke dunia karena melakukan kesalahan.

Cerita lain yang mempertanyakan masyarakat pada zaman tersebut kepada nilai-nilai tradisional yaitu Angkrék Japati (Anggrek Merpati). Masyarakat di kampung Abdulhadi percaya apabila ketika musim anggrek mekar merupakan waktu yang baik. Setiap orang yang melakukan apa saja pada waktu tersebut hasilnya pasti baik. Contohnya apabila seseorang bercocok tanam pasti hasilnya subur.

Pengarang menutup carita tersebut dengan pertanyaan, “Aéh-aéh, kutan kitu? Naha urang kudu ngandel kana éta kapercayaan urang kampung téh?” (Apakah seperti itu? Mengapa kita harus mengandalkan kepercayaan orang kampung tersebut?). Maksud dari pertanyaan pengarang tersebut sebenarnya untuk membantah nilai-nilai tradisional yang dipercaya oleh masyarakat pribumi pada zaman tersebut. Pengarang tidak secara terang-terangan membantah agar terlihat lebih sopan. Selain itu agar tidak membuat para pembacanya kaget dengan nilai-nilai modernitas yang coba diperkenalkan.

Pendekatan Saintifik Di Padesaan

Cara kedua yang digunakan oleh pengarang untuk memperkenalkan pandangan modern yaitu dengan memperkenalkan pendekatan saintifik. Ada beberapa pendekatan saintifik yang coba diperkenalkan yang pertama yaitu membandingkan dua makhluk hidup. Seperti yang kita ketahui bersama, dunia tumbuhan dan hewan juga mengenal sistem kekerabatan. Sistem tersebut diperkenalkan oleh seorang ilmuwan Swedia yang bernama Carolus Linneaus. Ia mengklasifikasikan makhluk hidup dengan urutan seperti ini (dari paling atas ke paling bawah): Kingdom, Filium (Hewan)/Divisio (Tumbuhan), Kelas, Ordo, Familia, Genus, dan Spesies. Dalam Di Padesan ada beberapa hewan yang coba dibandingkan, yang pertama yaitu sapi Jawa dan sapi peranakan. Perbedaan dari dua spesies sapi tersebut terletak pada jumlah susu yang dihasilkan. Sapi Jawa menghasilkan susu lebih sedikit. Lalu ada burung dan kelelawar, walaupun keduanya bisa terbang namun mereka berbeda Kelas. Burung termasuk ke dalam Kelas Aves (unggas) karena berkembang biak dengan bertelur dan tubuhnya ditutupi bulu. Sedangkan kelelawar masuk ke dalam Kelas Mamalia karena berkembang biak dengan cara beranak dan bisa menyusui.

Pendekatan saintifik yang kedua yaitu mengenai usaha makhluk hidup dalam bertahan hidup. Dalam dunia hewan ada yang dikenal dengan istilah nokturnal. Istilah tersebut merupakan istilah bagi hewan yang lebih aktif di malam hari. Dalam Di Padesan, hewan nokturnal yang dibahas yaitu serangga. Ada beberapa serangga nokturnal yang disebut, antara lain kumbang. kupu-kupu, dan nyamuk.

Ada lagi istilah simbiosis yaitu hubungan antara dua makhluk hidup yang berbeda jenis dalam satu asosiasi yang intim. Dalam Di Padesan ada dua simbiosis yang dibahas yaitu simbiosis parasitisme dan simbiosis komensalisme. Dua simbiosis tersebut bisa dilihat pada cerita yang berjudul Angkrék Japati (Anggrek Merpati). Dalam cerita tersebut dijelaskan bahwa benalu hidup menumpang pada tumbuhan lain. Benalu bukan hanya menumpang hidup tapi juga merugikan tumbuhan yang didiaminya. Oleh karena itu hubungan benalu dengan tumbuhan yang didiaminya merupakan simbiosis parasitisme. Bunga anggrek juga hidup menumpang di tumbuhan lain. Tetapi walaupun begitu tumbuhan anggrek tidak merugikan tumbuhan yang didiaminya. Oleh karena itu hubungan bunga anggrek dengan tumbuhan yang didiaminya merupakan simbiosis komensalisme.

Dalam dunia hewan ada yang disebut hukum rimba. Hewan akan melakukan segala cara untuk mempertahankan hidupnya karena yang kuat yang akan bertahan. Dalam Di Padesan, ada beberapa cara hewan untuk mempertahankan hidupnya. Salah satunya yaitu belalang sembah yang akan melakukan kamuflase untuk mencari mangsa. Ada juga yang mirip dengan kamuflase yaitu mimikri yang dilakukan oleh bunglon atau yang dalam bahasa Sunda londok. Bunglon bisa mengubah warna tubuhnya serupa dengan tempat yang ia diami. Oleh karena itu ada peribahasa Sunda yang bunyinya hirup mah kudu bisa lolondokan yang maksudnya kita sebagai manusia harus bisa meniru bunglon yang mudah beradaptasi dengan lingkungannya.

Dalam Di Padesan juga membahas mengenai fungsi dari anatomi hewan. Salah satunya terdapat pada cerita yang berjudul Sato Nu Kadutna Opat (Hewan yang Berlambung Empat). Pada cerita tersebut dijelaskan bahwa kerbau memiliki empat lambung yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Lambung seperti itu berguna untuk melembutkan makanan yang tinggi serat. Dalam istilah ilmiah, hewan yang memiliki lambung empat disebut hewan ruminansia. Sapi, kambing, dan domba juga termasuk ke dalam hewan ruminansia.

Istilah terakhir yang coba dikenalkan yaitu metamorfosa. Fenomena tersebut dijelaskan dalam cerita yang berjudul Tatamu di Warung Kaliki (Bertamu di Warung Jarak). Cerita tersebut menjelaskan mengenai daur hidup kupu-kupu. Sebelum menjadi kupu-kupu, ia harus melewati tiga fase yaitu telur, ulat, dan kepompong.

Pendekatan-pendekatan saintifik di atas diperkenalkan agar para pembacanya tidak kaget apabila nantinya istilah-istilah tersebut diajarkan di sekolah.

Bukan hanya penting pada zaman tersebut tetapi Di Padesan juga masih menarik untuk dibaca pada masa kini. Ada beberapa alasan yang menjadikan buku ini menarik, yang pertama yaitu memperlihatkan bagaimana cara pemerintah Kolonial melakukan Politik Etis melewati jalur edukasi. Politik Etis disebut juga politik balas budi karena pada hakikatnya bertujuan untuk memajukan bangsa Indonesia. Yang kedua, isinya masih relevan dengan zaman sekarang. Di Padesan masih cocok dibaca oleh anak-anak zaman sekarang karena cerita-cerita di dalamnya masih berhubungan dengan pelajaran di sekolah. Tapi bahasa yang digunakan dalam buku ini bisa jadi kurang dimengerti oleh beberapa anak terlebih yang hidup dan besar di perkotaan. Alasan yang terakhir yaitu sebagai sarana nostalgia. Untuk angkatan tua yang membacanya buku ini bisa dijadikan sebagai alat untuk kembali ke masa lalu. Mengingat kembali senangnya ketika masih menjadi anak-anak.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//