• Kolom
  • Menggali Pernyataan Ambigu Soal Kebebasan dan Batasan di Dunia Pendidikan dari Pak Uu

Menggali Pernyataan Ambigu Soal Kebebasan dan Batasan di Dunia Pendidikan dari Pak Uu

Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya kebebasan berpikir dalam sistem pendidikan. Menurut Uu Ruzhanul Ulum, kebebasan itu ada batasan.

Iman Herdiana

Editor BandungBergerak.id, bisa dihubungi melalui email: [email protected].

Guru sedang menerangkan di SDN 025 Cikutra, Bandung, Jumat (2/9/2022). (Foto Ilustrasi dan desain: Prima Mulia dan Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

4 Mei 2023


BandungBergerak.idAda yang menarik saat Plh. Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum memimpin Upacara Hari Pendidikan Nasional 2023 Tingkat Provinsi Jabar di Lapangan Gasibu, Kota Bandung, Selasa (2/5/2023) lalu. Ia menjelaskan bahwa program Merdeka Belajar memberikan kemerdekaan dan kebebasan pada insan pendidikan untuk berkreasi, berinovasi, dan berkolaborasi.

Uu kemudian menyinggung sekilas nama Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh penting di bidang pendidikan. Seperti diketahui, Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya kebebasan berpikir dalam sistem pendidikan. Namun Uu mengingatkan mengenai kebebasan yang memiliki batasan.

"Sekalipun diberi kebebasan tetapi ada batasan, supaya semua mengarah pada satu tujuan," ujar Uu, sebagaimana dikutip dalam siaran pers.

Kalimat “kebebasan tetapi ada batasan” dari Pak Uu ini terkesan ambigu. Bagaimana mau bebas kalau dibatasi? Apakah dunia pendidikan kita sudah bebas sehingga perlu dibatasi. Atau jangan-jangan dunia pendidikan kita belum bebas sama sekali.

Kebebasan dan keterbatasan memang menjadi dua hal yang saling bertentangan dalam dunia pendidikan. Atau bisa jadi selama ini dunia pendidikan lebih banyak keterbatasannya daripada kebebasannya. Maka dari itu Mendikbud R.I Nadiem Makarim menggagas konsep “merdeka belajar” agar diberlakukan pada dunia pendidikan, gagasan yang sudah dipraktikkan oleh Ki Hajar Dewantara di masa kolonial.

Namun apakah konsep Merdeka Belajar hanya sekadar retorika atau dilanjutkan dengan rancangan strategis untuk menjalankan konsep merdeka belajar di seluruh aspek pendidikan? Jawabannya bisa ditengok pada realitas yang kini terjadi di dunia pendidikan.

Terkait merdeka belajar ini, Pemkot Bandung mengklaim bahwa implementasi Kurikulum Merdeka di Kota Bandung menunjukkan tren positif. Pemkot lalu menyodorkan sederet angka-angka klaim yang menunjukkan progress program merdeka belajar di Kota Bandung tahun 2023.

Dalam data tersebut, dilaporkan 677 sekolah di Kota Bandung telah mengimplemantasikan Kurikulum Merdeka pada 2023. Jumlah tersebut terdiri dari 47 Taman Kanak-kanak (TK), 442 Sekolah Dasar (SD), dan 188 Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Selain itu, ada 69 sekolah yang telah menjalankan Program Sekolah Penggerak (PSP), yang terdiri dari 27 TK, 31 SD, dan 11 SMP. Sementara itu Platform Merdeka Mengajar (PMM) di Kota Bandung menunjukkan angka lulus topik sebanyak 292 dari akumulasi 136 SD, 88 SMP, 11 SMK, 21 SMA, 27 PAUD, dan 6 PKBM.

Di luar itu, masih ada 216 platform yang sudah lolos post-test, dan 204 platform yang sudah log in ke PMM. Ada pula sebanyak 106 guru dinyatakan lulus pada Program Guru Penggerak angkatan 4. Jumlah tersebut akan bertambah karena 91 guru sedang melaksanakan diklat hingga Agustus 2023.

Entah kenapa angka-angka tersebut malah membuat mumet, tidak menunjukkan bagaimana membuminya konsep merdeka belajar pada guru dan murid di sekolah. Yang terbayang dari data-data yang disodorkan Pemkot Bandung adalah kesibukan sekolah harus beradaptasi dari kurikulum lama ke Kurikulum Merdeka, kesibukan sekolah menerapkan Program Sekolah Penggerak, mengisi platform Merdeka Mengajar (PMM), dan guru sibuk mengikuti Program Guru Penggerak.

Apakah kesibukan-kesibukan tersebut membuat guru dan murid merasa bebas dan merdeka? Ki Hajar Dewantara menekankan, “…kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, yaitu jangan selalu “dipelopori”, atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain, akan tetap biasakanlah anak-anak mencari sendiri segala pengetahaun dengan menggunakan pikirannya sendiri…”

Pernyataan Ki Hadjar Dewantara tersebut dikutip dari karya ilmiah berjudul “Medeka Belajar; antara Retorika dan Aplikasi” oleh Nofri Hendri dari Universitas Negeri Padang. Menurut Nofri Hendri, kemerdekaan dalam pernyataan Ki Hajar Dewantara mengandung makna, “Dalam pendidikan harus senantiasa diingat bahwa kemerdekaan itu bersifat tiga macam: berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur diri sendiri”.

Berdiri sendiri berarti kemerdekaan belajar mengakui anak sebagai pemilik belajar. Anak mempunyai kewenangan dan inisiatif untuk belajar. Anak belajar tidak harus berhimpun dalam suatu kesatuan seperti kelas atau rombongan belajar.

Tidak tergantung pada orang lain berarti anak belajar tanpa tergantung pada hadir atau tidak hadirnya orang dewasa. Dengan atau tanpa kehadiran guru di kelas atau dengan atau tanpa kehadiran orang tua di rumah, anak-anak tetap belajar.

Dapat mengatur diri sendiri berarti anak mempunyai kemampuan untuk mengelola diri dan kebutuhan belajarnya. Ia dapat memilih cara dan media belajar yang sesuai dengan diri dan kondisi di sekitarnya. Ia dapat mengatur jadwal aktivitasnya untuk mencapai tujuan belajar.

Dari ukuran-ukuran tersebut, tampak sekali bahwa dunia pendidikan di tanah air masih memiliki pekerjaan rumah yang berat, mulai dari sistem yang belum ajeg hingga infrastruktur yang tidak merata. Sebagai contoh, Jawa Barat membutuhkan banyak sekali ruang kelas baru untuk tingkat SMA. Belum lagi bicara kesejahteraan guru honorer dengan nilai honor yang sangat kecil, jauh di bawah UMK.

Baca Juga: Jumlah SMA atau SMK di Jabar masih sangat Kurang
Mengurai Kemacetan Gedebage tidak Cukup dengan Exit Tol KM 149
Darurat Sampah, Pemkot Bandung Seharusnya Menjalankan TPS Terpilah

Kemerdekaan Murid

Menurut Nofri Hendri, selama ini proses belajar hanya bertumpu kepada pendidik sebagai sumber utama, sehingga peserta didik kurang terlibat dalam pembelajaran, karena peserta didik dikatakan belajar apabila mereka mampu mengingat dan menghafal informasi atau pelajaran yang telah disampaikan.

“Pembelajaran seperti ini tidak akan membuat peserta didik menjadi aktif, mandiri dan mengembangkan pengetahuannya berdasarkan pengalaman belajar yang telah mereka lakukan,” tulis Nofri.

Istilah kemerdekaan sendiri, lanjut Nofri Hendri, sering dimaknai dengan kebebasan dalam arti yang sesunguhnya. Yang menjadi permasalahannya adalah masih banyak kita melihat upaya pengekangan di mana-mana, khususnya dalam pendidikan.

Guru dan murid belum merasakan otonomi yang cukup untuk menentukan arah kebijaksanaan belajar dan mengajarnya karena masih diatur dengan regulasi yang membuat rencana, proses pelaksanaan, dan evaluasi yang dilakukan terkesan dibatasi dan mengikat.

“Tidak jarang, kita melihat dengan aturan jam pelajaran yang harus penuhi, membuat guru dan siswa tidak bisa fokus dalam pembelajaran,” tulis Nofri Hendri.

Baca Juga: Jumlah SMA atau SMK di Jabar masih sangat Kurang
Mengurai Kemacetan Gedebage tidak Cukup dengan Exit Tol KM 149
Darurat Sampah, Pemkot Bandung Seharusnya Menjalankan TPS Terpilah

Kemerdekaan Guru

Merdeka belajar mesti dimulai dari merdeka gurunya. Guru yang tidak merdeka akan sulit menjalankan konsep merdeka belajar pada murid-muridnya. Namun apa yang dihadapi guru saat ini tidaklah mudah.

Nofri Hendri mencatat, setiap tahun ajaran, guru menjumpai murid dan orang tua murid yang berbeda. Setiap tahun ajaran, guru menemui dinamika kelas yang berbeda. Pada rentang waktu tertentu, guru menghadapi perubahan peraturan dan kurikulum. Pada kala tertentu, guru menghadapi perubahan pemimpin sekolah dan rekan guru. Setiap waktu, guru terimbas perubahan situasi kondisi sosial, politik, lingkungan dan teknologi.

“Guru memang salah satu profesi dengan tuntutan dan tekanan yang tinggi,” tulisnya.

Akhirnya, konsep merdeka belajar harus dipahami betul oleh pembuat kebijakan. Jika tidak ingin konsep ini disebut retorika belaka, perlu dibangun sistem yang menurunkan konsep abstrak ini ke permukaan, ke ruang-ruang kelas dan ruang guru.

Selanjutnya konsep merdeka belajar harus dipahami betul oleh kepala-kepala daerah seperti Pak Uu sehingga tidak melahirkan kalimat ambigu “kebebasan tetapi ada batasan” tanpa ditopang kondisi faktual yang dialami guru dan murid di sekolah.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//