Amnesty Internasional Indonesia: Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Perlu Diikuti Pengungkapan Kebenaran dan Penghukuman Pelaku
Tanpa pengungkapan kebenaran dan penghukuman pelaku pelanggaran HAM, pelanggaran HAM serupa di masa yang akan datang berpotensi terulang kembali.
Penulis Iman Herdiana4 Mei 2023
BandungBergerak.id - Presiden RI Joko Widodo memimpin Rapat Terbatas (Ratas) mengenai Pelaksanaan Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat, Selasa (02/05/2023), di Kantor Presiden, Jakarta.
Pada rapat tersebut dijelaskan bahwa upaya penyelesaian non-yudisial bagi korban-korban pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu, di antaranya terdiri atas pemulihan nama baik, pendampingan ekonomi, perbaikan dan pengadaan rumah, serta pemulihan hak warga eksil rencananya akan diluncurkan di Aceh pada Juni mendatang.
Menanggapi Ratas tersebut, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan pihaknya menghargai upaya yang telah dilakukan negara untuk menindaklanjuti rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Namun di sisi lain kami juga mengingatkan, jangan sampai negara lupa pada hal lain yang juga tidak kalah penting, yaitu pengungkapan kebenaran dan penghukuman pelaku serta pelurusan sejarah,” kata Usman Hamid, dikutip dari siaran pers Amnesty Internasional Indonesia, Kamis (4/5/2023).
Tanpa pengungkapan kebenaran dan penghukuman pelaku serta pelurusan sejarah, kata Usman Hamid, maka dampaknya bukan saja keadilan korban dan keluarganya tidak terpenuhi, tetapi juga tidak mendorong akuntabilitas serta perbaikan sistem untuk mencegah pelanggaran HAM serupa di masa yang akan datang.
Negara tetap wajib mengadili pelaku pelanggaran HAM berat. Akuntabiltas para pelaku merupakan bagian penting dalam penyelasaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Kewajiban negara untuk mencari bukti terletak di Jaksa Agung dan justru itu yang belum dilakukan.
Usman Hamid menyesalkan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan usai Ratas bahwa pemerintah tidak akan meminta maaf kepada masyarakat atas terjadinya pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
Padahal menurut Usman, permintaan maaf adalah salah satu bentuk reparasi yang wajib diberikan oleh negara kepada korban pelanggaran HAM berat atas penderitaan yang mereka tanggung dan alami. Di negara-negara lain, permintaan maaf juga menjadi salah satu keputusan politik negara untuk menarik batas demarkasi masa lalu dan masa kini.
“Di Chili, Presiden Patricio Alwyn meminta maaf kepada para korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Di Australia, Perdana Menteri Kevin Rudd juga meminta maaf kepada masyarakat Aborigin dan Selat Torres, terutama Generasi yang Hilang (Stolen Generation), atas pemisahan paksa yang dilakukan pemerintah Australia. Bahkan Raja Belanda Willem Alexander meminta maaf kepada masyarakat Indonesia yang jadi korban kekejaman kolonial Belanda masa lalu,” beber Usman.
Baca Juga: Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) Berhak Mendapat Perlindungan dan tidak Didiskriminasi
Menjejaki Sidang Haris-Fatia #1: Pencemaran Nama Baik, Kritik, dan Solidaritas Publik
Mempersiapkan Pemuda yang Toleran Menjelang Pemilu 2024
Ia menjelaskan, permintaan maaf merupakan salah satu bentuk penyesalan yang pentingdari negara atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Dengan tidak adanya permintaan maaf, berarti negara tidak mengakui adanya kesalahan, dan pelanggaran HAM berat masa lalu berpotensi terulang kembali.
Sebelumnya, melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023, Presiden memerintahkan kepada 19 menteri dan pejabat setingkat menteri untuk mengambil langkah-langkah secara terkoordinasi dan terintegrasi guna melaksanakan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat di masa lalu. Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan penyelesaian non-yudisial ini menitikberatkan kepada korban dan bukan pelaku.
Penanganan non-yudisial ini juga hanya terfokus pada korban 12 kasus pelanggaran HAM berat berdasarkan temuan Komnas HAM, yaitu Peristiwa 1965-1966; Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa Talangsari, Lampung 1989; Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989; Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998; Peristiwa Kerusuhan Mei 1998; Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999; Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999; Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002; Peristiwa Wamena, Papua 2003; Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.