• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Ketupat Lebaran dan Kisahnya di Zaman Kolonial #2

NGULIK BANDUNG: Ketupat Lebaran dan Kisahnya di Zaman Kolonial #2

Ketupat menjadi bagian dari tradisi dan kuliner di nusantara. Ketupat juga jadi bagian dari ransum tentara Hindia Belanda dalam ekspedisinya di nusantara.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Pedagang soto dalam ilustrasi majalah “Jeugd; gei?llustreerd tijdschrift voor jongens en meisjes, jrg 4, 1906, no. 3, 1906” halaman 74. (Sumber: delpher.nl)

5 Mei 2023


BandungBergerak.id – Koran De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad tanggal 21-2-1899 menceritakan tentang perayaan lebaran yang disebut Tahun Baru Ketupat di Surabaya. Diceritakan di sana warga menghiasi rumah dan gerobaknya dengan tanaman hijau, bendera, dan panji, mengenakan pakaian terbaik untuk bersenang-senang. Bupati dan pejabat pribumi menerima tamu dari berbagai kalangan untuk menerima ucapan selamat merayakan lebaran. Keramaian berlangsung hingga malam hari, makan malam bersama, menyambangi hiburan. Tentu saja ketupat menjadi sajian yang wajib ada.

Demikian suasana yang selalu tersaji di setiap lebaran tiba. Koran Soerabaijasch handelsblad tanggal 10-2-1900 menggambarkan suasana yang hampir sama yang dikisahkan oleh Stevensz yang menyaksikan perayaan lebaran di tepi Telaga-remis di Tjerimai dalam artikel koran tersebut berjudul “1 Sawal en het Javaansche Orakel” (1 Sawal dan Peramal Jawa). Artikel tersebut sejatinya bercerita tentang uraian seorang peramal yang ditemui Stevensz mengenai hitungan hari baik berdasarkan penanggalan setempat.

Namun Stevenz di koran tersebut juga bercerita tentang perayaan “Garebeg Poeasa” dengan sajian khasnya, ketupat. Pesta umat Islam setiap tanggal 1 Sawal dirayakan setelah puasa sebulan penuh dengan makan bersama dengan makanan khas lebaran yakni ketupat. “..de rikaja ketoepat hier in Indië. De geloovigen plegen dan ter dege van de ruitvormige rijstkoekjes te smullen (.. hari raya ketupat di Hindia. Umat beriman kemudian biasanya berpesta pora dengan kue beras berbentuk wajik)”.

Di tahun yang lain, suasana perayaan lebaran juga dikisahkan di koran Soerabaijasch handelsblad tanggal 3-11-1908. Dalam satu artikel pendek tanpa judul, disebutkan Tahoen Baroe Ketoepat dirayakan masyarakat di pedalaman dengan upacara, menghiasi hewan penarik dengan bunga, makan lontong dan ketupat. Kantor-kantor pemerintah tutup sehubungan dengan perayaan lebaran.

Di Jepara, ketupat menjadi bagian festival perahu layar Pada-Loemban yang digelar di Teluk Jepara. Buku berjudul “Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 2, 1868, no. 7, Deel: 2e deel” yang terbit tanggal 1-1-1868 menceritakan dengan rinci festival yang digelar di hari lebaran. Perahu layar bahkan didatangkan dari Samarang, Djawdna, dan Rembang untuk meramaikan festival tersebut. Perahu dihiasi beragam bunga, dipasangi bendera warna-warni (kecuali hijau). Penumpangnya membekali diri dengan ketupat, telur busuk, kolang-kaling untuk dipergunakan saling melempari saat perahu bertemu saat berlayar. Perahu tersebut berlayar dari Sungai Jepara menuju Poelau Pandjang dan Poelau Tëngah. 

Ketoepat yang digunakan dalam festival tersebut disebut ketupat lepat, jenis ketupat yang dibentuk tidak seperti ketupat umumnya, tapi berbentuk panjang dan bulat, lebih mirip silindris. Dalam festival tersebut orang-orang saling lempar dengan ketupat tersebut. Di penghujung festival perahu berlabuh di Pulau Lannang dan kemudian ramai-ramai berziarah di makam yang dikeramatkan di sana. Bupati, pejabat setempat, hingga orang-orang Eropa yang tinggal di Jepara mengikuti perayaan tersebut. Festival yang kini disebut Lomban itu masih berlangsung hingga saat ini di Jepara. 

Majalah “Jeugd; gei?llustreerd tijdschrift voor jongens en meisjes, jrg 4, 1906, no. 3, 1906” terbitan tahun 1906 menyajikan ilustrasi ketupat yang dipergunakan menjadi sajian pelengkap untuk menyantap soto yang dijajakan pedagang kaki lima. Artikel pendek berjudul “Indische Straatventers” (Pedagang Kaki Lima Hindia) yang dikirimkan oleh Tine van Witzenburg dari Banyumas tanggal 24 Oktober 1905 di majalah tersebut memerincinya.

Tine bercerita tentang tukang kunci dan penjaja soto yang biasa ditemukan melapak di pinggiran jalan-jalan di kota-kota di Hindia Belanda. Tukang kunci bisa berkeliling membawa dua kotak besar berisi peralatan servis kunci yang dipikul menggunakan pikolan, tongkat bambu panjang. Penjual soto juga menggunakan pikolan untuk membawa kwali yakni pot dari bahan gerabah dan di sisi lainnya kotak kayu tempat menyimpan mangkuk dan ketupat. Kwali tersebut digunakan untuk menyimpan kuah soto, mirip sup berisi campuran sayur dan kaldu dari daging cincang yang di bagian bawahnya memiliki ruang yang terpisah untuk menyimpan arang untuk menjaga kuah tetap panas.

Onder den pot, waar de soep in wordt bewaard, wordt steeds een vuurtje aangehouden, opdat de menschen warme soep kunnen krijgen. De soep is een groentesoepje Van gehakt koevleesch maken ze bouillon, waarin ze dan rijst en allerlei bladeren werpen. Voor den middelsten man staat nog een bankje met twee kommetjes. In het volste kommetje is „lombok”. Dit is een heel heete toespijs. Ieder kan er nu zooveel van nemen, als hij verdragen kan. Het is zooveel sommige menschen er van nemen, zooveel zelfs, dat zij al etende zitten te blazen. In Holland heet lombok „Spaansche peper”. Tusschen de kommetjes in ligt „ketoepat”. Dat is rijst, die in een mandje, gevlochten van jonge klapperbladen is gedrukt. Dat mandje is heelemaal dicht. Is de rijst er in, dan wordt ze in heet water gekookt en zoo krijgt men de „ketoepat." Bovenop het kastje ligt ook „ketoepat”. De twee andere mannen, die er bij zitten, eten. De een eet van de soep en de ander snijdt wat „ketoepat" om het er bij te gebruiken. Ze krijgen de soep in een kommetje en gebruiken een steenen lepeltje. Zoo hebben wij dus hier in Indië wandelende gaarkeukens. Ze zijn ouder dan die men in Europa kent, maar ik denk, dat de volksspijswagens in Berlijn wel netter zullen zijn dan de Indische gaarkeukens

(Api kecil disimpan di bawah panci tempat sup disimpan, sehingga orang bisa mendapatkan sup panas. Supnya adalah sup sayur. Mereka membuat kaldu dari daging sapi cincang, di mana mereka membuang nasi dan segala jenis daun. Di depan pria tengah ada bangku lain dengan dua mangkuk. Dalam mangkuk penuh adalah "lombok". Ini adalah bumbu yang sangat panas. Masing-masing sekarang dapat mengambil sebanyak yang dia mampu. Sedemikian rupa sehingga beberapa orang mengambilnya, sedemikian rupa sehingga mereka meniupnya saat makan. Di Belanda lombok disebut “Spaansche peper”. Di antara mangkuk terletak "ketoepat". Yaitu nasi yang dipadatkan ke dalam besek, dianyam dari daun kelapa muda. Keranjang itu benar-benar tertutup. Jika ada nasi di dalamnya, direbus dalam air panas dan begitulah cara mendapatkan "ketoepat". Di atas lemari juga ada "ketoepat". Dua pria lainnya, yang duduk di sana, makan. Yang satu makan supnya dan yang lainnya memotong beberapa "ketoepat" untuk digunakan. Mereka memasukkan sup ke dalam mangkuk dan menggunakan sendok batu. Jadi kami memiliki dapur umum berjalan di sini di Hindia. Mereka lebih tua dari yang dikenal di Eropa, tapi menurut saya truk makanan rakyat di Berlin akan lebih rapi daripada dapur umum Hindia).

Menanak nasi di Jawa. Foto diambil sebelum tahun 1880. (Koleksi KITLV 91146, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Menanak nasi di Jawa. Foto diambil sebelum tahun 1880. (Koleksi KITLV 91146, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Ketupat Ransum Bekal Tentara

Koran De Oostpost: letterkundig, wetenschappel?k en commercieel nieuws- en advertentieblad tanggal 9-2-1853 menerbitkan surat yang dikirim seorang pensiunan prajurit Belanda yang pernah mengalami peperangan di Hindia Belanda. Pengirim surat yang menyebut dirinya sebagai “Een kloleh rooker” (Seorang perokok kloleh) menyampaikan unek-uneknya pada Tuan J. Hageman, seorang sejarawan Belanda. Ia mengecam uraian Hageman tentang masa lalu yang indah di Hindia Timur, tentang orang-orangnya yang ramah dan bersahabat. Pengalamannya tidak demikian sebagai tentara yang pernah bertugas di sana. Pensiunan tentara tersebut menyebut ketupat untuk menggambarkan kesannya yang pahit atas pengalamannya.

.. toen hem de verzekering werd gegeven dat rijst, even zoo goed was als aard-appelen , ketoepat even zoo goed smaakte als de slijmerige gort, en roedjak de lekkerste huspot evenaarde ; toen hem de proef werd gegeven dat de kloleh in geur en smaak den muffen , misselijken en genaturaliseerden Hollandsche Sigaar overtrof “ (...ketika dia diyakinkan bahwa nasi sama enaknya dengan kentang, ketupat rasanya sama enaknya dengan jelai mutiara berlendir, dan rudjak sama dengan suami yang paling enak; ketika dia diberi tes bahwa kloleh melampaui bau dan rasa Rokok Belanda basi, mual dan alami...).

Dalam penelusuran lebih dalam, nampaknya memang ada kaitan antara ketupat dan tentara Belanda kala itu. Ketupat kala itu dijadikan bekal makanan bagi tentara yang sedang bertugas.

Buku De Lombok expeditie yang dituliskan W. Cool seorang kapten Belanda yang diterbitkan di Batavia-Den Haag oleh penerbit G. Kolff & Co. tahun 1896 menceritakan tentang kehidupan sehari-hari tentara Belanda kala itu dalam ekspedisi menuju Lombok. Pada halaman 442 misalnya, disebutkan perbekalan tentara Belanda dalam ekspedisi tersebut. Dan ketupat ada di sana.

De troep zal gekleed zijn in marschtenue zonder ransel, doch met sprei en kapotjas. Elk man neemt behalve zijn 60 patronen, nog zo patronen in de broekzakken mede, en in zijn broodzak ketoepat en voor twee dagen dendeng of sardijntjes, terwijl voor twee dagen jenever door koelies wordt aangedragen” (Pasukan akan mengenakan seragam berbaris tanpa ransel, tetapi dengan seprai dan jaket berkerudung. Selain 60 butir peluru, setiap orang mengambil selongsong peluru di saku celananya, dan di kantong rotinya ketoepat dan dendeng atau sarden selama dua hari, sedangkan gin dibawa kuli selama dua hari).

Buku yang lainnya menguatkan. Dalam terbitan “Militaire spectator; tijdschrift voor het Nederlandsche leger, jrg 67, 1898”  tanggal 1-2-1898 disebutkan lebih terang. Buku tersebut menuliskan tentang beras yang menjadi bahan utama ketupat, dan karakteristiknya yang rentan dengan kondisi cuaca untuk disimpan dalam jangka lama. Beras dipergunakan sebagai bekal untuk ransum tentara. Diterangkan bagaimana mengolah beras untuk disimpan dalam gudang, yang harus dalam ruangan yang luas, gelap, lapang, dan disebar dalam lembaran kayu sebagai lantainya. Beras harus dipisahkan dengan dinding dengan sekat kayu. Jika tempatnya lembab, beras harus disimpan dalam kantong, ditumpuk di atas lantai kayu agar gampang dipindahkan.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Ketupat Lebaran dan Kisahnya di Zaman Kolonial #1
NGULIK BANDUNG: Cerita-cerita Edelweis di Jawa #1
NGULIK BANDUNG: 100 Tahun Observatorium Bosscha, yang Terbesar di Bumi Selatan (1)

Menanam padi di Jawa. Foto diambil sekitar tahun 1880. (Koleksi KITLV 377224, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Menanam padi di Jawa. Foto diambil sekitar tahun 1880. (Koleksi KITLV 377224, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Beras juga harus dijaga dari kerusakan karena hama tikus dan mencit, kumbang beras, dan ulat. Salah satu trik mencegah kerusakan beras dari gangguan serangga adalah dengan mencampurkan beras sekam dengan jeruk nipis, menaruh beberapa ranting semak Lagoendi, atau dengan tawas halus pengganti kapur dengan perbandingan 1 kilogram tawas/kapur untuk 100 kilogram beras.

Buku yang diterbitkan militer Belanda tersebut juga merinci tentang cara memasak beras. Di Belanda beras dimasak, di Hindia Belanda beras dikukus.

Di Hindia Belanda, mengukus beras menggunakan keranjang berbentuk kerucut dengan menaruh bagian lancipnya di dalam ketel yang separuh berisi air. Ujung keranjang tersebut tidak boleh bersentuhan dengan air. Beras menjadi oleh uap air yang dihasilkan dari air dari air yang mendidih dalam ketel di atas api. Setelah nasi setengah matang, dipindahkan ke dalam piring tanah, diaduk dengan sendok kayu sambil ditambah sedikit air tanah. Kemudian nasi setengah matang tersebut dikembalikan lagi ke dalam keranjang kerucut tersebut untuk kemudian dikukus hingga matang. 

Namun khusus untuk keperluan prajurit yang sedang dalam perjalanan, memasak nasi menjadi tidak praktis karena akan menghabiskan waktu. Menyimpannya dalam bentuk nasi yang sudah masak juga sama saja, karena dalam sehari saja disimpan, besoknya menjadi basi. Solusinya adalah membawanya dalam bentuk ketoepat.

Voor onze Indische expeditiën wordt de rijst meermalen in den vorm van ketoepat bereid. Ketoepat noemt men de in kleine ruitvormige omhulsels van dicht ineengevlochten cocosbladeren gekookte rijst. De lijst wordt daartoe eveneens te voren gewasschen en daarna in de vooraf gereedgemaakte omhulsels gedaan, vervolgens gekookt en dan zóólang opgehangen, totdat al het water afgedropen is. Op deze wijze bereid, blijft de ketoepat drie dagen goed; wordt ze daarentegen nat verzonden, dan is de rijst reeds binnen 24 uur zuur” (Untuk ekspedisi di Hindia kami, nasi disiapkan beberapa kali dalam bentuk ketupat. Ketupat disebut nasi yang dimasak dalam selongsong kecil berbentuk ketupat dari daun kelapa yang terjalin rapat. Untuk keperluan ini, bingkai juga dicuci terlebih dahulu dan kemudian ditempatkan di dalam wadah yang telah disiapkan sebelumnya, kemudian direbus dan digantung sampai semua air habis. Disiapkan dengan cara ini, ketupat akan bertahan selama tiga hari. Sebaliknya, jika dikirim dalam keadaan basah, nasi akan menjadi asam dalam waktu 24 jam).

Demikian kisah ketupat, kegunaan dan kesalahpahamannya di zaman Hindia Belanda. Ketupat sejak lama sudah lekat dengan perayaan lebaran. Namun tidak demikian dengan nasib lontong yang masih menyimpan kesalahpahaman. Silakan coba untuk menerjemahkan lontong dengan memanfaatkan piranti Google Translate. Lontong dalam terjemahannya bahasa Belanda adalah  “rijsttaart”, sejenis bolu berbahan beras.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Redaksi

COMMENTS

//