NGULIK BANDUNG: Ketupat Lebaran dan Kisahnya di Zaman Kolonial #1
Ketupat jadi ciri khas perayaan lebaran di nusantara sejak zaman kolonial. Orang Belanda saat itu menggolongkannya sebagai sejenis “kokjes” alias biskuit.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
28 April 2023
BandungBergerak.id – Perayaan lebaran di sebagian besar daerah di nusantara tidak bisa dilepaskan dari ketupat, makanan berbahan dasar beras yang dimasak dalam bungkusan anyaman daun kelapa. Rasanya tidaklah lengkap merayakan lebaran tanpa ketupat. Saking lekatnya, ketupat kemudian menjadi simbol perayaan lebaran. Dan kelekatan ini terlacak dalam catatan lama Belanda saat menghuni nusantara.
Adalah C. Poensen, seorang misionaris sekaligus etnolog dan linguis Belanda yang merekam tentang Islam dan tradisinya yang dijalankan di Jawa di zaman kolonial. Ia menuliskan reportasenya tersebut dalam sebelas tulisan berjudul Brieven van een Desaman (Surat dari Seorang yang Tinggal di Desa) yang diterbitkan berseri dalam koran Soerabaijasch handelsblad dengan membubuhkan inisial “C” di setiap tulisannya tersebut. Seri tulisan Poensen tersebut kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Brieven Over Den Islam, Uit Binnenlanden Van Java (Surat-Surat dalam Islam dari Pedalaman Jawa) yang terbit tahun 1886. Dalam sejumlah tulisannya tersebut Poensen menyinggung tentang ketoepat (ketupat) dan lebaran.
Dalam seri tulisannya ke-6 yang terbit di koran Soerabaijasch handelsblad tanggal 31-8-1883, Poensen masih menceritakan tentang perayaan lebaran yang disebutnya sebagai Garebeg Poeasa atau Rijaja-Koepat yang jatuh setiap tanggal 1 dan 2 bulan Syawal. Perayaan setelah satu bulan puasa di bulan Ramadan tersebut dirayakan dengan pesta makan dengan makanan khas yang disajikan secara luas saat lebaran yakni ketupat.
Ia mendeskripsikan ketupat sebagai “die kleverige, kubiek- vormige, kluit rijst in dicht aan elkander gevlochten reepen van palmbladeren” atau “gumpalan nasi yang lengket, berbentuk kubik, yang dimasak dengan potongan daun palem yang terjalin erat”. Ia juga mengatakan, ketupat tersebut, bahkan oleh majalah Belanda saat itu disebut sebagai “soort rijstkoekjes” (sejenjis kue beras). Poensen menyatakan penggolongan ketupat sebagai “kokjes” (biskusit) tidak tepat.
Kala itu, Islam yang dianut masyarakat pribumi di nusantara dipandang mayoritas orang Eropa dengan pandangan stereotip, bahkan salah kaprah. Orang Belanda kala itu misalnya menyebut perayaan Lebaran sebagai Tahun Baru umat Islam yang belakangan orientalis dan sarjana Belanda sendiri yang meluruskannya dengan penjelasan mengani penanggalan Islam yang menyebutkan tahun baru jatuh pada 1 Muharam, belum lagi kewajiban puasa satu bulan penuh yang dipandang menyiksa diri, atau memainkan petasan semalam suntuk menjelang lebaran, hingga pembantu pribumi yang meminta libur hingga nekat bolos (juga meminjam uang) untuk merayakan lebaran. Perlahan, semua kebiasaan dan tradisi umat Islam yang menjadi agama mayoritas pribumi akhirnya diterima sebagai bagian dari keseharian orang-orang Eropa yang tinggal di nusantara kala itu.
Begitu juga salah kaprah mengenai ketupat, yang digolongkan sebagai sejenis kue berbahan dasar beras. Ketupat jelas bukan makanan ringan seperti biskuit.
Rijstkoekjes
Ketupat juga disajikan menjadi makanan pengganti nasi, untuk menyantap sate. Koran Soerabaijasch handelsblad tanggal 10-5-1883 menceritakan tentang penjual sate yang sial karena kedatangan 3 pelanggan yang memesan beberapa lusin sate lengkap dengan “ketoepat”. Giliran diminta membayar, ketiganya ngamuk. Dalam berita berbahasa Belanda tersebut masih memadankan ketoepat dengan “rijstkoekjes” alias kue beras.
Penyebutan ketoepat sebagai “rijstkoekjes”perlahan ditinggalkan setelah kerancuan yang ditimbulkan penyebutan tersebut dengan makanan kue beras yang populer di kalangan masyarakat Tiongkok. Koran De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad tanggal 27-8-1900 dalam artikelnya berjudul “Een diner in China” (Makan malam di Cina) mengutip kisah dari sekelompok orang Belanda yang ditraktir makan malam oleh pejabat Sy-Miang di Tiongkok sana. Di sana dirincikan beragam makanan khas negeri tirai bambu tersebut, dan tentu saja menggunakan sumpit bambu. Makan malam dengan beragam makanan yang disajikan dalam 10 piring besar dan kecil, berisi sup sirip hiu, sup biji teratai, sup bebek, mie, ikan goreng biskuit dari umbi-umbian, nasi rebu, juga “rijstkoekjes met suiker” atau kue beras dengan taburan gula.
Dari penelusuran digital koran-koran berbahasa Belanda yang terbit kala itu, penyebutan ketupat sebagai “rijstkoekjes” pelan-pelan ditinggalkan di awal abad ke-19. Ketupat sebagai makanan khas yang disajikan saat lebaran akhirnya disebutkan tanpa padanannya, hanya ketoepat.
Bagaimana dengan “rijstkoekjes”? Kue beras tersebut benar-benar menyebar luas. Nyonya-nyonya Belanda menyajikannya sebagai makanan ringan. Kue tersebut populer. Koran De locomotief tanggal 12-3-1927 dalam rubriknya mengenai resep favorit kiriman pembaca menayangkan resep cara membuat rijstkoekjes.
“Kook een rijstebrij van 150 gr. rijst en 1 L. melk. Klop 2 eierdooiers met suiker en kaneel en vermeng dit met de brij. Het stijfgeklopte eiwit ’t laatst erdoor roeren. Van deze massa in de koekepan in heete boter kleine ronde koekjes bakken, die aan beide zijden lichtbruin moeten zijn” (Masak puding beras dari 150 gr beras dan 1 L susu. Kocok 2 kuning telur dengan gula dan kayu manis dan campur dengan adonan. Aduk terakhir putih telur yang sudah dikocok kaku. Dari massa ini dalam wajan dengan mentega panas, goreng biskuit bundar kecil, yang kedua sisinya harus berwarna kecokelatan).
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Cerita-cerita Edelweis di Jawa #1
NGULIK BANDUNG: Cerita-cerita Edelweis di Jawa #2
NGULIK BANDUNG: Cerita-cerita Edelweis di Jawa #3
Buku Resep Nyonya Catenius
Belanda dalam sejumlah buku yang diterbitkan di awal abad ke-19 menyebutkan ketoepat. Kata tersebut masuk dalam kamus yang menjadi pegangan pegawai Belanda untuk berkomunikasi dengan pribumi di Jawa.
Buku Praktische Indische Tolk (Djoeroe-ba?sa? Indija?) gesprekken en woordenlijst in Hollandsch, Maleisch en Javaansch, ten dienste der aankomende vreemdelingen en inlanders in Nederlandsch-Indie? (Penerjemah Bahasa Indonesia Praktis (Djoeroe-båså Indijå) percakapan dan glosarium dalam bahasa Belanda, Melayu, dan Jawa, melayani kedatangan orang asing dan penduduk asli di Hindia Belanda) yang terbit tahun 1902 menukil terjemahan kata ketoepat. Ketoepat adalah istilah dalam bahasa Melayu, dan koepat sebutanya dalam bahasa Jawa ngaka dan krama. Namun pengertiannya sama, beras yang dimasak dalam bungkus anyaman janur atau daun kelapa.
“Ketoepat: rijst in cocos- of bamboe-bladeren gekookt (Ketoepat: nasi yang dimasak dengan daun kelapa atau bambu)”.
Ketoepat juga diuraikan dalam buku kumpulan resep masakan di Hindia Belanda yang dtuliskan orang-orang Belanda. Yang terhitung paling awal adalah buku Nieuw volledig Oost-Indisch kookboek
recepten voor de volledige Indische rijsttafel, zuren, gebakken, vla's, confituren, ijssoorten (Buku Masak India Timur Lengkap Baru resep masakan nasi meja lengkap nusantara, asinan, gorengan, puding, selai, es krim) oleh Mevrouw J. M. J. Catenius, van der Meijden yang diterbitkan di Semarang-Soerabaja tahun 1902. Buku resep tersebut memerinci tentang cara membuat ketupat, serta lauk pauk khas yang menjadi temannya.
Resep membuat ketupat misalnya, membutuhkan 2 kilogram beras untuk 20 bungkus keranjang anyaman daun kelapa sebagai bungkus ketoepat. Cara membuatnya: “Men wascht de rijst eerst goed schoon, vult daarna de ketoepathuisjes een weinig meer dan halfvol, sluit de openmg der mandjes en koekoest ze of kookt ze in water gaar, telkens dit water met warm water aanlengende, als het verdampt” (Beras dicuci bersih terlebih dahulu, kemudian rumah ketupat diisi sedikit lebih dari setengah penuh, keranjang ditutup dan dikokohkan, atau dimasak dengan air, setiap kali air ini diencerkan dengan air panas saat menguap).
Ada juga resep membuat ketoepat-soempil yang dibuat dengan bungkus daun pisang raja dan anyaman pelepah bambu. Cara membuatnya sama. Pelepah bambu di anyam menjadi wadah yang di dalamnya dilapisi daun pisang, diisi beras setengah penuh, lalu di rebus dalam panci berisi air yang harus terus di jaga airnya sampai matang.
Buku resep buatan Nyonya Catenius tersebut juga menyebutkan cara lauk pauk yang menjadi teman menyantap ketupat. Yakni sajor loddèh, sambel oedang, sambel poja, sambel boeboek déndèng, sambel klappa, satée Bentoel, dan dembaran ayam. Buku tersebut juga menuliskan resep masing-masing makanan teman makan ketupat tersebut.
Dembaran ayam misalnya mirip opor ayam jika melihat isi resepnya. Bahan dembaran, yakni 1 ekor ayam, 1-2 gelas air, kelapa parut bakar, 4 sendok makan bawang goreng cincang halus, 5 kemiri kembung, 3 potong lengkuas panggang, 2 sendok teh garam, 1/2 santan kelapa, sereh sepanjang jari, 2 daun jeruk-purut, 4 lembar belimbing asem dirajang halus. Mentega atau minyak kelapa.
Cara membuatnya: “Ayam dipotong-potong dan direbus dalam air asin hingga dagingnya mudah diangkat. Kemudian 1/4 bagian kelapa yang telah diparut kemudian ditumis hingga berwarna kuning kecoklatan dengan bumbu sebagai berikut: bawang, lengkuas, kemiri, dan garam. Kemudian goreng campuran ini dengan minyak kelapa sampai matang, tambahkan daging dan kaldu ayam dan biarkan matang. Kemudian tambahkan sereh, daun, dan asem belimbing dan biarkan masak bersama sampai kuah mengental."
Menariknya, buku resep tersebut menguraikan dengan rinci bumbu khas yang menjadi ciri rasa yang kuat yang menjadi masakan lokal di nusantara. Diceritakan bahwa sebagian besar bumbu tersebut bahkan sudah tersedia di Belanda, bahkan jika kesulitan mendapatkannya bisa dipesan langsung dari Hindia Belanda. Bumbu-bumbu tersebut tersedia di Belanda dalam bentuk bubuk, potongan cincang, atau parutan halus. Di antaranya bubuk seréh, djahé, laos, kentjoor, temoekoentji, serta kunyit.
Buku tersebut juga menuliskan perbandingan takaran penggunannya. Satu jari seréh misalnya setera dengan 1 ½ sampai 2 sendok makan dalam bentuk potongan daun yang telah dicincang halus, 5 jari lengkuas setara dengan ½ sendok teh dalam bentuk bubuk atau 1 sendok teh dalam bentuk teh kering atau cincang halus, ¼ jari kentjoor setara 1/2 sendok teh dalam bentuk bubuk, serta ½ jari kunyit setara 1/2 sendok teh dalam bentuk bubuk. Beragam bumbu dalam bentuk bubuk kering dan halus tersebut bisa disimpan lama tanpa mengubah rasanya.
Khusus selongsong ketupat, buku tersebut menyebutkan sudah tersedia di toko-toko di Hindia Belanda. “Wil men ketoepats eten, dan worden bovenbedoelde omhulsels eerst goed schoongemaakt, van stof gereinigd, vervolgens den nacht te voren in lauw water geweekt” (Jika ingin makan ketupat, selongsong tersebut dibersihkan terlebih dahulu, dibersihkan dari debu, kemudian direndam semalaman dengan air suam-suam kuku).
*Tulisan kolom Ngulik Bandung merupakan bagian dari kolaborasi antara bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman