NGULIK BANDUNG: Tramweg di Bandung
Pembangunan trem menuju kantong-kantong perkebunan di selatan Bandung disokong kongsi pabrik kina dan teh. Menghubungkan Bandung dengan Ciwidey.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
28 Agustus 2022
BandungBergerak.id - Peta Bandung koleksi Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT), yang mencakup peta terbitan Boekhandel Visser tahun 1927, menampilkan sepenggal jalur trem alias kereta dalam kota. Jalur trem di peta tersebut tertulis dengan nama Tram Weg Naar Dajeuhkolot (Jalur Trem menuju Dayeuhkolot).
Karees, yang berada di antara Pasar Kosambi dan Jalan Papandayan, menjadi titik awal jalur trem tersebut. Dari Karees, jalur trem menjulur ke arah utara lalu membelok memutari daerah Cibangkong ke arah selatan untuk langsung menuju Banjaran.
Di putaran di Cibangkong tersebut, di sekitar daerah Kiaracondong, jalur trem ada yang membelok bercabang. Cabang jalur trem tersebut kemudian menyatu dengan jalan kereta menuju Cikudapateuh, yang jika diteruskan menuju Stasiun Bandung di daerah Kebonkawung.
Jalur trem pada peta digambarkan berupa garis hitam putus-putus. Besar garisnya berbeda dengan simbol untuk jalan kereta pada peta yang dibuat berupa garis hitam tebal terputus-putus.
Trem dan kereta memang banyak kemiripannya. Keduanya sama-sama menggunakan gerbong untuk mengangkut penumpang. Keduanya juga sama-sama menggunakan rel sebagai jalur jalannya.
Pembedanya ada pada fungsi dan lingkup operasinya. Trem biasanya dipergunakan khusus untuk rute pendek, umumnya untuk melayani transportasi dalam kota. Sementara kereta dipergunakan untuk transportasi melayani jarak yang lebih jauh.
Sejumlah peta Bandung di zaman kolonial yang terbit setelah tahun 1918 menampilkan jalur trem. Peta dengan cakupan lebih luas memperlihatkan rute trem tersebut yang menghubungkan Bandung dengan Ciwidey.
Untuk Kina dan Teh
Mr. Mijer, pemilik pabrik es di Bandung, yang pertama kali mengajukan konsesi untuk membangun trem. Koran De Preanger-bode terbitan tanggal 25 Januari 1897 memberitakan pemilik pabrik es tersebut sedang mengajukan permintaan konsesi membangun jalur trem dari Bandung menuju Tjitjalengka (Cicalengka). Dia berniat membangun trem listrik memanfaatkan listrik yang dihasilkan turbin pembangkit listrik penggerak pabrik es miliknya yang berada di pinggir Cikapundung.
Mijer menginginkan ada dua rute yang akan dibangun. Setelah membangun jembatan menyeberangi Tjitarum, jalur trem akan bercabang dua. Satu menuju Banjaran dan terus ke Kopo (Soreang), satu lagi melintasi Ciparay ke Majalaya lalu menuju Cicalengka. Mijer optimistis karena jalur itu ramai dilewati orang dan angkutan barang hasil bumi dari perkebunan yang bertebaran di Preanger selatan.
Mijer bukan satu-satunya yang berniat membangun jalur trem yang menghubungkan Bandung dengan kantong-kantong perkebunan yang bertebaran di dataran tinggi di pegunungan yang mengitarinya. Mulai dari perkebunan kina, kopi, hingga teh.
Koran De locomotief tanggal 11 Maret 1910 memberitakan tentang sejumlah pemilik perkebunan yang bersaing mendapatkan konsesi untuk membangun jalur trem menuju Bandung. Trem yang akan menghemat biaya transportasi pengiriman barang.
Di daerah pegunungan di selatan Bandung, bertebaran perusahaan perkebunan kina dan teh. Di antaranya Rioenggoenoeng, Tirtasari, Tjibeureum, Kawah Tjiwidej (perusahaan kina pemerintah), Kertamanah, Santosa, Taloen, Wanasari, Tjihoerang, Boemikaso, Wanasoeka, Malabar, Gamboeng, Tjilaki, Pasirmalang, dan Tjoekoel (lokasi paling selatan). Rangkaian gerobak sarat muatan berisi teh dan kulit kina berangkaian seperti tak putus di sepanjang jalan penghubung Bandung menuju Pangalengan.
Awal tahun 1883, misalnya, Mr. Maas Geesteranus, Administratur perusahaan Malabar mengajukan konsesi membangun trem dari Bandung menuju Pangalengan. Pemerintah Hindia Belanda memberikan konsesi tersebut, tapi Maas gagal membangunnya karena modal yang dibutuhkan untuk membangun trem tersebut tidak berhasil dikumpulkan. Maas mencari modal hingga ke Eropa, tapi kembali dengan tangan hampa.
Pemerintah Hindia Belanda diam-diam juga tertarik dengan ide tersebut. Mr. P. Van Leersum, direktur perusahaan kina milik pemerintah, sengaja dikirim ke Eropa untuk menjajaki kemungkinan membangun trem untuk mengangkut produk kina. Pemerintah Hindia Belanda, dengan meminjam tangan perkebunan kina pemerintah, juga menggalang dukungan pemilik kebun kina dan teh untuk bersama-sama mendapat konsesi membangun trem.
Keberadaan trem akan sangat menguntungkan, karena akan memudahkan mengangkut bahan kimia, mesin, dan material untuk mengolah hasil kebun. Namun tantangannya yang tersulit adalah membangun jalur rel untuk trem yang rutenya mendaki dataran tinggi. Bandung berada di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut, sementara Pangalengan di ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut.
Jalur rel masih relatif mudah dibangun dari Bandung menuju Cikalong karena melintasi dataran yang relatif datar. Namun sejak dari Cikalong, rutenya menanjak mendaki lereng pegunungan. Jalan rel harus dibuat berkelok-kelok agar mampu menghindari tanjakan dan menakhlukkan medan yang berbukit-bukit. Kesimpulannya: tidak mungkin membangun trem. Yang memungkinkan justru menggunakan kereta.
Rencana mengganti trem dengan kereta sempat dilayangkan tahun 1908. Rencana tersebut ditolak Dewan Regional.
Diambil Pemerintah Hindia Belanda
Pemerintah Hindia Belanda akhirnya terang-terangan mengambil alih. Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta milik pemerintah, mendapatkan tugas membangun trem menuju selatan Bandung. Koran De locomotief tanggal 13 Oktober 1917 memberitakan perusahaan kereta tersebut menyiapkan anggaran tambahan untuk membangun jalur trem Bandung-Banjaran-Kopo (Soreang) yang akan mulai dikerjakan tahun 1918.
Pembangunan jalur trem Bandung-Banjaran-Kopo sepanjang 26,5 kilometer tersebut diperkirakan akan memakan biaya hingga 1.465 juta Gulden. Pembangunannya akan memakan waktu 22 bulan. Uang sebesar 100 ribu Gulden disiapkan pada tahun 1918 untuk memulai desain jalan dan gambar kerja. Sisanya akan disediakan setahun lagi sebagai biaya untuk membangun jalur trem tersebut.
Koran De Preanger-bode tanggal 19 Mei 1919 memberitakan desain rute jalur trem di selatan Bandung sudah hampir final. Jalur trem tersebut akan dibangun dari Karees, Bandung. Pekerjaan konstruksi jalur trem akan segera dimulai. Perusahaan kereta tersebut juga memutuskan untuk membangun jalur trem di rute yang lain, yakni dari Rantja Ekek (Rancaekek), menyambungkan rel kereta yang sudah ada, menuju Tanjungsari di Sumedang.
Koran De locomotief tanggal 29 Januari 1920 memberitakan tentang perkembangan pembangunan jalur trem tersebut yang dimulai pada Mei 1919. Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menyiapkan rencana lebih jauh lagi. Jalur trem tersebut tidak berhenti sampai di Kopo (Soreang), tapi diteruskan hingga ke Ciwidey. Anggarannya akan disiapkan tahun depan.
Titik awal jalur trem Bandung-Ciwidey ada di Karees, Bandung. Lokasinya berada di antara Jalan Papandajanlaan dan Pasar Kosambi. Halte trem dipersiapkan di Kiaracondong. Jalur trem dari Karees ke Kiaracondong hanya dipergunakan untuk mengangkut barang.
Rute trem tersebut menjajari Jalan Papandjanlaan, memutari perumahan kavaleri untuk membelok ke selatan menuju Boeah Batoe (Buahbatu). Dari sana lurus ke selatan menuju Banjaran melewati Citeureup, Dayeuhkolot. Di Citeureup, akan dibangun jembatan besi sepanjang 40 meter di atas sungai untuk menyeberangi Citarum.
Jalur trem kemudian langsung menuju Banjaran. Stasiun pemberhentian trem di Banjaran dibangun dekat pasar. Dari sana, jalur trem membelok menuju ke Soreang.
Koran De locomotief menceritakan, pembangunan rel sempat terhambat pekerja yang menolak menebang pohon beringin di Dayeuhkolot yang berada di lintasan trem tersebut. Pohon tersebut dirubuhkan dengan dinamit.
“Beringin suci harus ditebang, yang tidak ada pekerja yang berani mengambilnya. Pohon itu harus ditebangi dengan bantuan dinamit, tetapi untuk menyenangkan penduduk asli ini pertama kali tidak berhasil, sehingga "tembakan" lain harus dilakukan, setelah itu angin melakukan sisanya di malam hari,” tulis De locomotief (29 Januari 1920).
Rampung
Koran De Preanger-bode tanggal 12 Februari 1921 memberitakan tentang pembukaan jalur trem Bandung-Soreang serta Rancaekek-Tanjungsari. Kedua jalur trem tersebut dibangun di bawah arahan kepala insinyur J.K. Lagerwey.
Pada jalur trem Bandung-Kopo, untuk sementara hanya dibuka dua stasiun saja. Penumpang akan naik dari Karees di Bandung, lalu turun di Soreang dan begitu sebaliknya.
Sebuah buklet diterbitkan untuk memperingati peresmian pembangunan jalur trem Bandung-Soreang. Di dalamnya, dicatat sejarah singkat ide membangun jalur trem tersebut. Dimulai dari pengajuan konsesi oleh A. A. Maas Geesteranus tahun 1883, disusul pengajuan konsesi oleh perusahaan berbeda. Konsesi pembangunan trem terakhir diberikan pada perusahaan Tiedeman en Van Kerchem pada tahun 1912.
Pengambilalihan tersebut diputuskan setelah perusahaan Tiedeman en Van Kerchem mengirim surat pada pemerintah untuk mengembalikan konsesi yang diterimanya. Pemerintah lalu memberikan konsesi tersebut pada Staatsspoorwegen yang diminta membangun jalur trem dari Bandung menuju Soreang. Desain jalur trem yang disusun oleh P. A. Roelofsen disetujui tanggal 30 Oktober 1916.
Pembangkit listrik tenaga uap untuk trem dibangun di Dayeuhkolot. Beberapa jembatan yang menyeberangi sungai dibangun untuk jalur trem tersebut. Yang terbesar di Citeureup, Dayeuhkolot, untuk menyeberangi Citarum. Jembatan lain dibangun di atas Citalutuk, Cisangkuy, serta Ciherang.
Koran De Preanger-bode menyebutkan, jalur Bandung-Kopo menyandang sebutan resmi jalur trem, tapi rel yang dibangun mengikuti ukuran rel kereta sehingga bisa dipergunakan oleh kereta biasa. Kereta yang melintas di sana hanya diperbolehkan melaju dengan kecepatan yang terbatas, maksimum 30 kilometer per jam.
Sementara itu, untuk jalur trem Rancaekek-Jatinangor sepanjang 5,25 kilometer, perencanaannya dimulai tahun 1916. Persiapan pembangunan dimulai tahun 1917. Jalur ini dipersiapkan untuk menjangkau rute yang lebih jauh lagi, yakni menuju Sumedang.
Titik awal jalur trem berada di Stasiun Rancaekek. Dari sana jalur membelok ke utara menuju Tanjungsari, melewati jembatan batu yang menyeberangi jurang Tjikoeda (Cikuda). Tinggi jembatan tersebut mencapai 115,5 meter.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Situ-Situ di Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG: Teror Bom di Bandung pada Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG: Penemuan Situ Lembang
Dari Trem Menjadi Kereta
Koran De Preanger-bode tanggal 18 Juli 1924 memberitakan rencana perusahaan kereta pelat merah Staatsspoorwaegen untuk memperlebar layanan trem di Bandung. Tak hanya melanjutkan membangun jalan trem menuju Ciwidey, tapi juga membahas kemungkinan membangun rute lain. Di antaranya menuju Majalaya, Cimahi, Ujungberung, serta Lembang. Jalur trem menuju Cimahi, misalnya, disokong militer Belanda.
Pengembangan jalur trem juga dipertimbangkan untuk melintasi sejumlah jalan raya di Kota Bandung, dengan memanfaatkan mobil trem. Trem yang beroperasi tanpa rel, hanya berupa gerbong yang ditarik kendaraan di atas jalan raya. Shanghai, kota di Tiongkok, sukses menggunakan mobil trem.
Potensi penumpang, biaya konstruksi dan operasional, serta rencana pengerjaan dihitung rinci. Sebagian pejabat Staatsspoorwegen meragukan rencana pelebaran layanan trem karena biayanya yang besar. Yang pasti, Staatsspoorwegen sedang melanjutkan pembangunan jalur trem Bandung-Kopo menuju Ciwidey.
Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 7 Februari 1925 memberitakan rampugnya jalur trem dari Karees di Bandung menuju Ciwidey. Rute terusan yang memiliki pemandangan cantik dengan melintasi jalur pegunungan tersebut akan beroperasi mulai 15 Februari 1925.
Staatsspoorwegen mengumumkan akan menutup Stasiun Karees, dan memindahkan titik pemberangkatan dari Stasiun Bandung. Penyebabnya adalah minimnya penumpang. Penumpang kereta masih enggan menggunakan trem karena mereka tetap harus berpindah kendaraan dari Karees menuju pusat kota.
Staatsspoorwegen mengumumkan akan menyiapkan tujuh kereta yang akan berangkat dari Stasiun Bandung menuju Ciwidey. Jejaring layanannya akan diperluas memanfaatkan jalur kereta yang sudah ada. Layanannya mirip kereta komuter yang beroperasi hari ini di Bandung. Penumpang bisa naik kereta berbeda dari Padalarang, Cicalengka, atau Stasiun Bandung, menuju Cikudapateuh untuk meneruskan perjalanan menuju Ciwidey.
“Tujuh kereta akan berjalan setiap hari di kedua arah, dengan koneksi ke dan dari Tjiwidej dan Madjalaja di Dajeuhkolot. Di Bandoeng, koneksi dibuat sebanyak mungkin ke kereta dari dan ke arah Padalarang dan di Tjikoedapateuh ke kereta campuran dari dan ke arah Tjitjalengka. Penumpang trem tujuan arah terakhir, yang ingin menggunakan kereta ekspres dan ekspres, yang diketahui tidak berhenti di Tjikudapateuh, harus berganti di Bandung,” tulis Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie?, 7 Februari 1925.
Staatsspoorwegen mengumumkan, tiket kereta disediakan di semua stasiun pemberhentian jalur trem tersebut. Bagasi juga bisa dimuat langsung, tanpa perlu disimpan di gerbong barang. Tarif kereta Cikudapetuh-Ciwidey dibagi dalam tiga kelas. Tarif kereta kelas dua hanya 15 sen, kelas tiga 10 sen, dan khusus kelas pribumi 5 sen.
Bandung makin ramai. Jalanan makin padat oleh lalu lintas kendaraan. Tabrakan antara mobil dan kereta kadang tak terhindarkan. Koran De koerier tanggal 10 Desember 1932 memberitakan nyaris terjadi kecelakaan serius di perlintasan kereta di Coenstraat, Bandung. Akibat jalan yang licin, mobil milik warga Papandajaanlan nyaris menabrak kereta yang melintas menuju Dayeuhkolot.
*Tulisan kolom NGULIK BANDUNG merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman