• Foto
  • Mimpi Menghidupkan Kembali Jalur Kereta Api Mati Bandung Ciwidey

Mimpi Menghidupkan Kembali Jalur Kereta Api Mati Bandung Ciwidey

Pada 2021, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil berencana menghidupkan lagi jalur kereta mati Bandung Ciwidey. Bukan rencana mudah dan murah.

Fotografer Prima Mulia27 Agustus 2022

BandungBergerak.idWilayah dataran tinggi Kabupaten Bandung atau dikenal dengan nama Bandung selatan, adalah penghasil utama komoditi perkebunan sejak masa Hindia Belanda. Kina, teh, dan kopi, adalah hasil bumi utama dari perkebunan yang ada di pedalaman Bandung selatan yang selanjutnya harus dikirim ke Bandung dan Batavia.

Perlu transportasi cepat, murah, dan terpadu untuk membawa semua hasil bumi tersebut ke pusat-pusat pemerintahan. Alasan ini yang membuat Belanda melalui perusahaan kereta apinya, Staatsspoorwegen (SS), membangun jalur kereta api Bandung Ciwidey antara 1921 sampai 1924 dengan panjang lintasan rel 41 kilometer.

SS membuka jalur kereta api dari Stasiun Bandung sampai Stasiun Soreang pada 13 Februari tahun 1921. Dilanjut pembukaan jalur kereta api dari Stasiun Soreang sampai Stasiun Ciwidey pada 17 Juni 1924. Jalur ini ditutup pada tahun 1982 dengan dalih tak lagi menguntungkan secara bisnis. Kalah pamor dengan transportasi darat lain seperti sepeda motor, mobil pribadi, atau bus.

Hampir setengah abad tertidur, jejak-jejak jalur kereta api Bandung Ciwidey masih bisa ditelusuri dengan jelas, walau sebagian jejaknya terlihat samar, bahkan hilang, terutama di wilayah perkotaan yang telah berubah jadi perkampungan padat penduduk.

Kita mulai "perjalanan " kereta api Bandung Ciwidey versi 2022 dengan panjang lintasan 41 Km ini dimulai dari Stasiun Bandung mengarah ke timur melewati Stasiun Cikudapateuh. Di ruas antara Cikudapateuh dan Stasiun Kiaracondong, rel berbelok ke jalur Cibangkong Lor, melintasi permukiman padat Cintaasih dan Cibangkong, sampai kawasan Turangga.

Di sini jalur rel baja kereta sudah banyak jadi permukiman dan jalan umum. Ada halte Cibangkong Lor yang sudah tak terlihat jejaknya. Di sebuah sungai kecil jembatan kereta masih terlihat namun relnya setelah menyeberang jembatan berakhir di dinding sebuah rumah. Jalur ini ada di bagian belakang dan sisi timur Trans Studio Mall.

Dari sini kereta berhenti dulu di halte Cibangkong yang sekarang sudah jadi bangunan rumah makan, lokasinya persis di mulut gang permukiman padat Gang Babakan Halte, di sisi Jalan Gatot Subroto, seberang Trans Studio Mall.

Perjalanan kereta berlanjut melintasi permukiman di kawasan Turangga sampai Jalan Batu Api lalu menyeberangi Jalan Sukarno Hatta, masuk perkampungan padat di Sekelimus Barat. Jalurnya jadi jalan setapak dengan dinding rumah di kanan kirinya.

Pemandangan jalur kereta berlanjut ke selatan, melewati jembatan kereta api di atas Sungai Cikapundung Kolot yang saat ini digunakan para pedagang untuk berjualan. Jalur rel ini berada di dalam Pasar Kordon.

Lepas Pasar Kordon, jalur rel menyusuri Jalan Cipagalo sampai perbatasan kota dan kabupaten, persis di sisi Jalan Raya Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Awal tahun 1990-an, pemandangan di sisi timur rel kereta di Bojongsoang masih berupa sawah, kolam ikan, dan lahan-lahan pertanian. Saat ini sudah berubah jadi komplek-komplek permukiman.

Persis di simpang tiga yang memilah jalan raya dari Bojongsoang ke Dayeuhkolot dan Baleendah, kita berbelok ke kanan masuk ke permukiman padat Desa Citeureup, Kecamatan Dayeuhkolot. Kanan kiri rel sudah berubah jadi rumah-rumah. Kereta menyeberangi jembatan yang masih kokoh di atas Sungai Cikapundung menuju perhentian berikut di Stasiun Citeureup, Dayeuhkolot.

Sebelum masuk kawasan stasiun, jalur rel kereta melewati SDN Leuwibandung. Di sekitar stasiun masih ada 2 rumah tua bergaya kolonial. Di dinding 2 rumah tersebut terpasang plang penanda aset milik PT KAI.

Bangunan Stasiun Citeureup masih terlihat cukup jelas walau saat ini sudah berubah fungsi jadi tempat-tempat usaha. Bahkan genting di stasiun tersebut masih otentik dan belum pernah diganti, terlihat jelas  cetakan JB Heijne Bandoeng, sebuah pabrik genting milik ahli keramik Belanda, JB Heijne.

Dari Citeureup perjalanan berlanjut melewati kampung-kampung padat penduduk hingga sampai di Sungai Citarum. Jembatan baja membentang di atas sungai terpanjang di Jawa Barat itu. Besi-besi baja konstruksi jembatan menjulang ke langit, berkarat termakan usia.

Selepas Citarum, jalur rel kereta masuk ke Kecamatan Baleendah melintasi Jalan Raya Banjaran sampai wilayah Kecamatan Pameungpeuk. Di sepanjang jalur ini rel kereta membelah permukiman padat termasuk pasar. Lepas Pameungpeuk, masuk Kecamatan Banjaran, lalu berbelok ke kanan memotong Jalan Raya Banjaran, menyeberangi sungai kecil dengan pemandangan kanan kiri lagi-lagi perkampungan padat.

Masuk ke Kampung Pajagalan, rel kereta dikepung permukiman di kana kirinya, sampai perjalanan berhenti di Stasiun Banjaran. Emplasmen stasiun ini cukup luas, sebagian jadi Terminal Banjaran. Bangunan stasiun masih terlihat namun berubah fungsi jadi ruang-ruang usaha, warung, dan bengkel.

Instalasi besi baja untuk bongkar muat barang masih kokoh berdiri, terhimpit rumah-rumah penduduk. Di sisi selatan emplasmen masih berdiri kokoh bangunan dari kayu dan gudang-gudang yang kini masih dipakai untuk penyewaan garasi mobil dan Bandar arang kayu. Sisa jalur rel yang mengarah ke Kamasan sudah berubah jadi rumah-rumah penduduk.

Pemandangan sedikit berbeda ketika masuk wilayah Kamasan. Setelah rel kereta menyeberang Sungai Cisangkuy, jalur rel membelah permukiman lagi, namun masih diseling dengan pemandangan sawah dan lading yang masih cukup luas di kanan kirinya. Agak sedikit terhibur setelah sebelumnya pemandangan hanya melulu permukiman padat.

Dari Banjaran, jalur rel menembus permukiman, sawah, dan ladang, sampai ke Cangkuang. Memasuki Kecamatan Soreang, rel kembali membelah permukiman padat. Sering kali rel hilang berubah jadi permukiman. Di satu lokasi ada rel yang menggantung, sementara kedua ujungnya berubah jadi rumah dan toko. Perjalanan berhenti sejenak di Stasiun Soreang.

Bangunan stasiun ini masih terlihat, walau terhimpit bangunan-bangunan lain yang lebih baru. Satu ruangan masih terlihat asli seperti di masa lalu, difungsikan sebagai gudang penyimpanan bahan makanan. Emplasmen stasiun ini cukup luas. Ada instalasi pencucian kereta dan tandon penampung air. Di sini beberapa genting di bangunan utama stasiun masih asli seperti saat pertama dibangun. Nama pabrik genting masih terlihat jelas, Tan Liok Tiauw Batavia. Selain itu, plang nama stasiun masih terlihat dengan tulisan agak pudar, Soreang + 734 M.

Meninggalkan Stasiun Soreang, perjalanan berlanjut ke arah Sadu dan Pasirjambu. Jembatan baja megah yang dikenal dengan nama jembatan Sadu membentang di atas Sungai Ciwidey. Pemandangan di atas jembatan lalu menyeberang ke wilayah Pasirjambu, pemandangannya sangat indah. Sungai dengan latar pegunungan membentang. Di Pasirjambu, jalur rel kereta berubah jadi setapak, kanan kirinya sawah-sawah menghijau.

Di sini ada beberapa halte kereta seperti Cukanghaur dan Cisondari. Ada jembatan kereta yang terkenal ruas rel Pasirjambu, dikenal dengan nama jembatan Rancagoong, bentuknya mirip dengan jembatan cincin di jalur kereta nonaktif di Jatinangor, Sumedang. Jalur rel di lajur antara Sadu dan Pasirjambu memiliki panorama cantik, membelah persawahan dengan latar bukit dan gunung, berhias perkampungan yang sudah ada sejak masa lalu.

Selepas Pasirjambu, jalur rel kereta memasuki wilayah Ciwidey, terus membelah permukiman dan perkampungan penduduk hingga jalur kereta sampai di perhentian terakhir di kawasan dataran tinggi, Stasiun Ciwidey + 1106, termasuk yang tertinggi di Indonesia selain stasiun nonaktif Stasiun Cikajang +1246 di dataran tinggi Garut.

Emplasmen di Stasiun Ciwidey saat ini telah berubah jadi lahan-lahan untuk unit usaha warga. Warung, toko, dan penyewaan garasi mobil. Di jalur rel sebelum masuk stasiun malah sudah berubah jadi perkampungan. Ada turn table untuk memutar lokomotif di kampung sebelum masuk stasiun. Kanan kirinya sudah jadi rumah-rumah warga. Instalasi tandon air untuk keperluan kereta juga telah berhimpit dengan rumah-rumah.

Ribuan rumah termasuk sekolah dan fasilitas umum lainnya sertan ratusan perkampungan berjejalan di jalur rel baja sepanjang 41 Km dari kota sampai ke kabupaten tersebut. Puluhan tahun warga memanfaatkan lahan aset PT KAI di jalur kereta Bandung Ciwidey. Lalu muncul wacana untuk mengaktifkan kembali kereta api Bandung Ciwidey.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bermimpi untuk menghidupkan lagi jalur kereta mati di Jawa Barat, salah satunya Bandung Ciwidey. Ide ini muncul pada tahun 2021 lalu, saat Ridwan Kamil meneken MoU dengan PT KAI terkait kerjasama pembangunan infrastruktur kereta api di Jawa Barat.

Tahun 2021 lalu jalur kereta yang difungsikan kembali adalah ruas Cibatu Garut, PT KAI juga tengah merencanakan reaktivasi jalur Bandung Ciwidey, Banjar Cijulang, dan Rancaekek Tanjungsari. 

"Perlu kolaborasi dan sinergi dengan berbagai pihak, KAI hanya operator, sementara pengembangan infrastruktur bagiannya pemerintah," kata Direktur Utama PT KAI, Didiek Hartantyo.

Bangunan tua bekas emplasmen Stasiun Banjaran yang beralih fungsi sebagai Terminal Banjaran, ruang-ruang usaha, warung, dan bengkel. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Mendengar Suara Warga

Menghidupkan kembali jalur kereta api Bandung Ciwidey bagai mimpi. Banyak rumah warga dan fasilitas publik yang berdiri di jalur yang sudah lama mati. Warga yang tinggal di sana berpuluh-puluh tahun berhak menyuarakan pendapatnya.

"Kalau disuruh milih mah, saya minta nggak usahlah, pak gubernur jangan buka lagi jalur kereta. Kasihan anak-anak kan sekolahnya deket, kampung kami kan dekat di sini, begitu juga dengan murid-murid lain," kata Yani (40 tahun), salah satu orang tua siswa yang bersekolah di SDN Leuwibandung.

Sedangkan pihak SDN Leuwibandung yang bangunannya berdiri di jalur kereta mati, menyerahkan semuanya ke pemerintah. "Kita ngikut saja, jika jalur ini dibuka lagi, ya mungkin sekolah kami harus direlokasi," kata Pipit (21 tahun), guru di SDN Leuwibandung 03.

Aki Cece (79 tahun), adalah salah seorang saksi hidup yang selalu menggunakan kereta Bandung Ciwidey tahun 1960an.

"Saat kecil saya selalu melihat rangkaian kereta yang lewat dekat kampung, ada 3 kali jam keberangkatan, subuh, duhur, dan lepas ashar, lokomotifnya yang warna hitam, bunyinya kuwiiiiik," kata Cece mengenang masa lalunya.

Masuk tahun 1970an, lokomotifnya sudah bertenaga diesel dengah tubuh berwarna kuning hijau. Saat ini Cece tinggal di rumahnya yang ada di pinggir rel kereta di Banjaran.

Membangkitkan kembali jalur kereta mati bukan perkara mudah. Untuk jalur kereta Cibatu Garut sepanjang 19 kilometer menelan investasi sebesar Rp 352 miliar. Kereta Cibatu Garut ini adalah penugasan negara alias public service obligation, jadi misi utamanya bukan untuk cari untung. Entah berapa besar biaya yang harus digelontorkan untuk menghidupkan jalur kereta api Bandung Ciwidey sepanjang 41 kilometer yang kini sudah padat penduduk.

Jalur ini akan kembali bersaing dengan jalur jalan raya Bandung Ciwidey yang rencananya akan diperlebar. Akses jalan tol juga sudah tersedia dengan exit toll di Soreang. Perjalanan kereta api ke Ciwidey harus terintegrasi dengan akses transportasi darat lainnya, jika jalur ini dianggap potensial dari sisi bisnis pariwisata.

Sementara spot wisata alam di Ciwidey bertebaran di mana-mana dan tak bisa diakses langsung oleh kereta api. Stasiun paling akhir di Ciwidey ada di dekat alun-alun. Stasiun ini masih jauh dari daya tarik utama Ciwidey di kawasan Rancabali dan Patuha.

Teks dan Foto: Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//