• Kolom
  • SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (17): Stasiun Nagreg

SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (17): Stasiun Nagreg

Sejak diresmikan pada 14 Agustus 1889, Stasiun Nagreg berperan penting dalam perkembangan perkebunan kina dan kopi, industri, dan militer.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Dua bocah berjalan kaki di sebelah kereta kargo yang berhenti di Stasiun Nagreg, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (3/10/2021). Stasiun kereta api aktif tertinggi di Indonesia ini diresmikan pada 14 Agustus 1889. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

28 November 2021


BandungBergerak.id - Salah satu potret yang terus menempel di benak saya adalah tanjakan Nagreg. Fotonya dibuat oleh Woodbury & Page dari Batavia sekitar tahun 1860. Judulnya “Post Nagreg bij Tjitjalengka ten oosten van Bandoeng” (KITLV 3197) atau “Pos Nagreg di Cicalengka timur Kabupaten Bandung”. Kini foto tersebut dikoleksi oleh Koninklijk Instituut voor taal-, land- en volkenkunde (KITLV) di Belanda dan dapat diakses gratis melalui disc.leidenuniv.nl.

Sebagaimana tajuknya, potret itu menampilkan tempat perhentian bagi kelana atau yang melakukan perjalanan dari arah Bandung ke Garut atau ke Tasikmalaya. Di situ disediakan kuda segar dan kerbau untuk menarik kereta karena hendak menempuh tanjakan. Itu sebabnya, di sekitar Pos Nagreg itu terlihat ada pesanggrahan, istal kuda dan kandang kerbau, serta sejumlah orang pribumi yang bersiaga membantu perjalanan para kelana ke Priangan timur.

Inilah yang disebut dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, derde deel (1919: 5) sebagai “Pas van Nagreg”, yaitu “Over dezen pas gaan de spoorlijn en de postweg van de hoogvlakte van Bandoeng naar die van Garoet; de postweg over de laagste inzinking, op 865 M hoogte, de spoorlijn iets Zuidelijker op ongeveer 900 M” (Melalui celah ini, rel kereta api dan jalan pos terlalui dari Cekungan Bandung menuju Garut; jalan pos melalui depresi paling rendah, dengan ketinggian 865 meter, dan rel sedikit ke selatan dengan ketinggian 900 meter).

Tiga warsa setelah Woodbury & Page memotret, peran pos perhentian kuda tersebut tampaknya berkurang jauh sekali. Sebabnya, jelas, seperti yang disebutkan Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie,  menjelang akhir abad ke-19, daerah sekitar Nagreg yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung mulai ditembus, diterobos, dirambah oleh si kuda besi kereta api.

Titik henti kereta kuda di Nagreg, dipotret oleh Woodbury & Page sekitar tahun 1860. Di situ disediakan kuda segar dan kerbau untuk menarik kereta karena hendak menempuh tanjakan. (Sumber foto: KITLV 3197)
Titik henti kereta kuda di Nagreg, dipotret oleh Woodbury & Page sekitar tahun 1860. Di situ disediakan kuda segar dan kerbau untuk menarik kereta karena hendak menempuh tanjakan. (Sumber foto: KITLV 3197)

Diresmikan pada 14 Agustus 1889

Jalur kereta api ke Nagreg bertautan dengan pembangunan lintasan Cicalengka-Warung Bandrek-Garut. Pembangunan jalur ini didasarkan pada Undang-undang 24 Desember 1886 yang tertuang dalam Staatsblad Nomor 254 (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997: 164-165).

Menurut Agus Mulyana (2017: 97-100), pembangunannya sendiri mulai dilakukan pada 1887 dan terbagi menjadi dua seksi, yaitu seksi 1 Cicalengka-Leles sepanjang 20.012,85 meter dan seksi 2 Leles-Garut sepanjang 30.668,76 meter. Pada seksi 1, 751,82 meter dari Cicalengka jalannya membentang dengan kemiringan 1:50 menembus lembah Cibodas dan mencapai celah Nagreg berketinggian 875 meter. Jalurnya sendiri diresmikan secara meriah oleh gubernur jenderal Hindia Belanda pada 14 Agustus 1889.

Dengan demikian, dapat dikatakan Stasiun Nagreg diresmikan pada 14 Agustus 1889, meskipun barangkali bangunan stasiunnya lebih dulu didirikan ketimbang stasiun-stasiun lainnya di sebelah timur Nagreg hingga Garut. Rincian pembangunannya serta peresmian jalurnya dapat disimak dalam koran-koran lama berbahasa Belanda.

Menurut De Locomotief (DL, 17 Mei 1887), karena hendak mencari posisi yang lebih baik ketika harus melalui lereng gunung di dekat Nagreg, posisi jalur kereta sedikit diubah. Modifikasinya telah diplot di situ dan pengukuran panjang levelingnya sudah dilakukan.

Selama awal pengerjaan jalur dari Cicalengka ke Nagreg, seorang penulis bernama MB sempat datang ke lokasi pembangunan. Ia menuliskan pengalamannya secara bersambung dalam Opregte Haarlemsche Courant edisi 6, 7, dan 9 Desember 1887.

Antara lain dia menyatakan saat tiba di Priangan, didapatinya jalan kereta api ke Cicalengka sudah ada dan beroperasi. Setelah beberapa lama terhenti, perluasan jalur ke Jawa Tengah mulai dilakukan lagi, yakni ke arah Garut. Para pegawai yang dipimpin tiga orang insinyur sedang berupaya menyelesaikan projek tersebut. Ketika melewati Cicalengka dan tiba di Nagreg, terutama di Cibuntu, MB melihat kelanjutan pengerjaan jalan kereta.

MB melihat sulitnya pembangunan rel untuk menempuh rangkaian pegunungan di Cicalengka. Untungnya ada beberapa celah antara pegunungan di belakang Cicalengka, yakni Beor dan Mandalawangi. Namun, setelah melewati celah itu pun tetap saja lerengnya menanjak, sehingga ketika berjalan dengan menggunakan kereta pos, selepas Cicalengka, harus dibantu kerbau untuk menarik roda kereta kuda (“met postpaarden reizende, bij het verlaten van Tjitjalengka, karbouwen to hulp krijgt om het rijtuig naar boven te helpen trekken”).

Di Nagreg, dia turun dari kereta kuda dan menjumpai beberapa pegawai yang bekerja di sana, yaitu pejabat pembangunan, pengawas, penanggung jawab peledakan dinamit, serta pembayar dan kontraktor. Mereka semua sementara menginap di rumah-rumah bambu di pinggir jalan pos. Sementara yang menjadi penjaga keamanan adalah orang Afrika, bekas prajurit KNIL.

Lalu, bagaimana selanjutnya pembangunan rel kereta ke Nagreg? Menurut kabar Bataviaasch Nieuwsblad (BN, 5 Juni 1888) dan DL (8 Juni 1888), pengurukan tanah sudah mencapai piket 60, pada titik tertinggi jalur, yaitu 10 kilometer jauhnya dari Cicalengka, yang berada di celah gunung Nagreg (“den bergpas van Nagrek”). Sehingga relnya tinggal dipasang pada awal Mei 1888.

Akhirnya, jalur kereta api Cicalengka-Garut diresmikan oleh gubernur jenderal pada 14 Agustus 1889. Seteleh berkunjung terlebih dulu ke Bandung, pada 14 Agustus 1889 pagi-pagi, gubernur jenderal beserta beberapa undangan naik kereta api tambahan ke Cicalengka. Di Cicalengka, tempat jalur baru ke arah timur dimulai, lokomotif dihiasi kembang-kembang dan bendera, lalu perjalanan dilanjutkan. Di banyak titik perjalanan, banyak pribumi berdiri dan menghormat pejabat tertinggi Hindia Belanda itu.

Ketika menyampaikan sambutan saat pembukaan, gubernur jenderal menyatakan pembangunan jalur itu bukan saja merupakan upaya pemerintah yang hendak meningkatkan keadaan ekonomi di daerah, tetapi juga demi keperluan perluasan proyek irigasi dan perbaikan pengairan (BN, 19 Agustus 1889).

Baca Juga: SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (16): Stasiun Cicalengka
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (15): Stasiun Haurpugur
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (14): Stasiun Rancaekek

Perkebunan Kina dan Kopi

Seperti disebutkan gubernur jenderal, pembangunan jalur Cicalengka-Garut terutama dilatari kepentingan ekonomi. Lalu, apa saja potensi yang dimiliki daerah Nagreg? Bila menilik sejarah Afdeeling Cicalengka, daerah Nagreg termasuk yang dijadikan sebagai lahan perkebunan. Terutama setelah 1870 dan 1871.

Namun, sebelum itu, ternyata Nagreg termasuk tempat kedua yang dipilih pemerintah kolonial untuk penanaman kina (“de gouvernements kina-onderneming”). Dalam AID De Preanger-bode edisi 10 Mei 1907, kina pertama kali ditanam di Nagreg pada 1856. Setelah itu, pada 1887, beberapa perkebunan kina di Nagreg disiangi dan ditanami lagi dengan benih kina Ledger. Selama dua-tiga tahun, benih-benih tumbuh subur. Tetapi memasuki tahun ketiga, pohonnya diserang kanker akar lalu mati. Itu sebabnya barangkali perkebunan kina di Nagreg menjadi persil yang terbengkalai.

Sebelumnya, anggota parlemen Van Kol dan direktur Gouvernement Kina-ondernemingen Van Leersum mengunjungi perkebunan-perkebunan di sekitar Bandung pada 13 April 1902. Selain berkunjung ke Lembang, mereka berencana perkebunan milik pemerintah di selatan Bandung, yaitu di lereng Gunung Malabar, termasuk berkunjung ke perkebunan di Nagreg (AID, 26 Mei 1902),

Namun, meski dikatakan terbengkalai, di daerah Nagreg ada pihak swasta yang tetap menanamnya. Di antaranya Ch. Ploem yang menjadikan Halte Nagreg sebagai alamat untuk menjual 30.000 kina Ledger, tingginya 1-2 kaki, benihnya dari perkebunan Panglipurgalih. Ia juga menjual sekian banyak pohon induk kina (AID, 1 Februari 1910).

Selain kina, hasil perkebunan lain yang dipasarkan dengan menggunakan alamat Halte Nagreg adalah kopi. Di antaranya Perkebunan Daoelat atau Daolat yang ada di Distrik Balubur-Limbangan, Afdeeling Cicalengka, yang dibuka oleh K.F. Holle pada 30 Desember 1876. Namun, sejak 1893, dua perkebunan itu dilelang.

Dalam Java-bode (9 Oktober 1893) dikabarkan pada Sabtu, 16 Desember 1893, perkebunan Daolat I yang luasnya 258 bahu dan Daolat II yang luasnya 299.02 bahu akan dilelang di Batavia. Kedua perkebunan itu berada pada ketinggian 2.250 kaki di Distrik Balubur-Limbangan, Afdeeling Cicalengka, sekitar 4 pal dari Halte Nagreg. Lahan Daolat I seluas 83 bahu ditanami kopi Liberia berumur 1-16 tahun, kopi Jawa seluas 25 bahu, 70 bahu kina, dan lain-lain. Sementara Daolat II merupakan lahan perawan. Informasi penjualannya dapat diperoleh di Halte Nagreg.

Demikian pula yang disiarkan dalam BN edisi 12 Desember 1894. Rupanya pada pelelangan setahun sebelumnya, Daolat I dan Daolat II tidak berhasil dijual. Sehingga pelelangannya diulang. Namun, informasinya ada yang sedikit berbeda. Tahun 1894 dikatakan Daolat I luasnya 253 bahu dan Daolat II sebanyak 184 bahu, yang ditanami kopi Liberia dan kina.

Pada 1902, Cultuur Maatschappij Daoelat kembali hendak dijual dan alamat administraturnya tetap di Halte Nagreg. Pada pelelangan 2 Mei 1902 itu dikatakan luas Daolat 259 bahu, sementara Daolat 1 selus 185 bahu. Antara lain 60 bahu ditanami kopi Liberia, 102 bahu kopi Jawa, ditambah puluhan ribu tanaman kina. Diperkirakan setiap tahunnya, kopi yang dihasilkan kedua perkebunan itu sebanyak 100 pikul. Alamat administraturnya, H. Muller, Halte Nagreg (AID, 6 Mei 1902).

Ekskursi sekelompok orang Eropa ke perkebunan yang ada di Nagreg, sekitar tahun 1920-an. (Sumber foto: KITLV 65198)
Ekskursi sekelompok orang Eropa ke perkebunan yang ada di Nagreg, sekitar tahun 1920-an. (Sumber foto: KITLV 65198)

Perluasan Industri

De Expres edisi 13 Juni 1912 menunjukkan nilai penting Nagreg bagi perkembangan industri. Konon, Halte Nagreg di Cicalengka menjadi terlalu kecil, karena adanya perluasan industri, dengan berkembangnya bisnis kapur, tras, batu, singkong dan lain-lain (“kalk, tras, steenen, cassave etc.”).

Sebelum yang lain-lain, saya akan mendahulukan pembahasan singkong. Transportasi singkong dengan menggunakan kereta api dari Nagreg dan daerah-daerah lainnya bahkan sudah dilakukan pada tahun ketika jalur Cicalengka-Garut dibuka. Dalam AID (9 Desember 1899), kepala eksploitasi jalur barat S. Schaafsma mengumumkan bahwa pengangkutan setidaknya 200 wagenladingen singkong dari Ciawi, Malangbong, Garut, Leles dan Nagreg ke Bandung akan mendapatkan potongan ongkos 20 persen.

Itu sebabnya di Nagreg ada perusahaan yang khusus berbisnis singkong, yaitu Nagreksche Handel-en Nijverheid-cassave-molen Maatschappij (Regerings-almanak voor Nederlandsch- Indie, 1905 dan 1906). Menurut AID (18 Juli 1902), perusahaan tersebut didirikan di Nagreg pada 1902.

Perusahaan itu hendak mendirikan dan mengoperasikan pabrik untuk penyiapan singkong, penyiapan minyak dari pohon jarak, dan lain-lain, serta membeli hasil bumi dari penduduk atau menyewa lahan penduduk untuk ditanami oleh mereka. Modal usahanya sebesar 60.000 gulden. Direkturnya M.A.L. Giesbers dan komisarisnya C.A. Ploem dan J. Carli (Soerabaijasch Handelsblad, 18 Agustus 1902).

C. A. Ploem juga menjual tufa dan tras dari Nagreg pada 1908 (AID, 12 September 1908). Usaha tufa dan tras kian berkembang dengan berdirinya N.V. tot Exploitatie van Nagrek-Tuftras pada 1912. Saat peresmian perusahaan itu, ada sekitar 1500 orang pribumi yang hadir dan menikmati berbagai hiburan, berupa permainan rakyat dan pesta. Kontrolir Cicalengka dan bupati Bandung juga hadir (AID, 22 Januari 1912).

Menurut data yang berkaitan dengan industri di Hindia Belanda (“Gegevens betreffende de Nijverheid in Nederlandsche-Indie”), tufa dan tras dari Nagrek (Nagrek tuftras) bersama-sama dengan tras dari Pati (Moeria tras), hingga 1916 memberi andil berarti bagi penghentian impor tegel dan dekorasi dinding yang selalu didatangkan dari luar negeri (BN, 2 Juni 1916).

Perusahaan lain yang mengusahakan tufa dan tras di Nagreg adalah Titan Tuftras. Perusahaan ini didirikan pada 8 Maret 1920 di Bandung oleh G. de Jong, C. Rotbaan dan J. Zwarthoed. De Jong menjadi direkturnya, sementara dua orang lainnya direktur pengawasan. Modal seluruhnya sebanyak 50.000 gulden, yang 10.000 gulden di antaranya sudah digunakan (AID, 9 Maret 1920). Perusahaan-perusahaan lain yang memanfaatkan sumber daya alam dari sekitar Nagreg antara lain Soeminta & Co (AID, 31 Juli 1916) dan N.V. Steen en Pannen fabriek Nagrek yang didirikan pada 1917 (AID, 19 November 1917).

Kereta api berlokomotif CC50 12 di Stasiun Nagreg yang dipotret  Werner Brutzer pada 30 September 1980. (Sumber foto: bahnbilder.de)
Kereta api berlokomotif CC50 12 di Stasiun Nagreg yang dipotret Werner Brutzer pada 30 September 1980. (Sumber foto: bahnbilder.de)

Kompi Artileri ke-19

Dalam Regerings-almanak voor Nederlandsch- Indie untuk 1910 hingga 1915, saya mendapati bahwa Nagreg dijadikan sebagai salah satu pusat militer di Bandung. Menurut buku tahunan itu, di Nagreg ditempatkan  “Artillerietroepen” atau pasukan artileri, yakni 19de compagnie artillerie. Pasukan di Nagreg ini berbagi dengan Bandung dan Sumedang.

Soalnya, kapankah pasukan artileri ditempatkan di Nagreg? Bila membaca keterangan sezaman, saya cenderung memilih tahun 1902 sebagai waktu mulai diresmikannya penempatan militer di Nagreg. Bukti yang memperkuat dugaan saya itu adalah kabar tentang kunjungan gubernur jenderal ke Nagreg pada 1902.

Rencana kepergian pejabat nomor satu di negeri kolonial itu antara lain dapat dimuat dalam AID (10 Mei 1902). Tanggal 9 Mei, gubernur berangkat dari Bogor menggunakan kereta api sore. Tiba di Cirebon (10 Mei), berangkat ke Kadipaten lalu dengan kereta kuda ke Sumedang (11 Mei), menggunakan kereta kuda dari Sumedang ke Rancaekek, ke Bandung dengan kereta api (12 Mei), mengunjungi pabrik kina, Kweekschool (13 Mei), tur pertahanan (14 Mei), tur pertahanan ke Cimahi dan dengan kereta kuda ke Padalarang untuk mengunjungi tempat yang akan dijadikan tempat latihan kuda militer (15 Mei), ke Lembang dan Tangkuban Parahu (17 Mei), hiburan, permainan rakyat, sajian musik, dan kembang api (18 Mei), pagi hari dari Bandung menggunakan kereta api tambahan ke Nagreg dengan tujuan tur pertahanan (Tocht in verband met de defensie).

Namun, dalam pelaksanaannya, pada 17 Mei, misi gubernur terhenti akibat merebaknya wabah kolera di sekitar tempat tinggal residen Priangan. Oleh karena itu, rencana ke Garut dibatalkan demi mencegah bahaya penularan kolera. Pada 19 Mei, gubernur jenderal menyaksikan pameran industri pribumi Priangan. Ia bahkan menyumbang 100 gulden bagi pekerja dalam pameran tersebut. Pada pagi 20 Mei, gubernur berangkat dari Bandung ke Nagreg dalam kerangka rencana pertahanan (“naar Nagrek in het belang der defensieplannen”).

Menurut laporan DL (21 Mei 1902), untuk menyambut kedatangan pejabat tertinggi di Hindia itu di Nagreg, banyak pribumi yang berbondong-bondong datang dan menghormat gubernur jenderal dengan khidmat.

Lalu, di manakah pasukan artileri di Nagreg ditempatkan? Beberapa waktu lalu, saya melihat unggahan seseorang dalam media sosial. Dalam postingan itu, saya melihat bekas bangunan setengah terkubur yang disebut-sebut sebagai benteng atau Gedong Peteng. Lokasinya berada di Bukit Citiis, Kampung Paslon, Desa Ciherang, Kecamatan Nagreg. Bila dihitung-hitung jaraknya dari Stasiun Nagreg, bekas bangunan militer itu berjarak sekitar 3,7 kilometer. Saya duga, tempat inilah yang pada tahun 1902 dikunjungi oleh gubernur jenderal Hindia saat melakukan tur pertahanan ke Nagreg. 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//