GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #48: Gunung Sadu Soreang dengan Misteri Batuan Anomali Magnetik dan Jejak Perjuangan Kemerdekaan
Puncak Gunung Sadu yang sejuk berkat rumpun bambu, memiliki keunikan berupa batuan anomali magnetik. Masih menjadi misteri yang belum terungkap seluruhnya.
Gan Gan Jatnika
Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika
7 Mei 2023
BandungBergerak.id - Sebuah tempat atau gunung ditetapkan sebagai situs cagar budaya tentu dengan alasan yang kuat. Gunung Munjul di Baleendah dan Gunung Sadu di Soreang, misalnya, sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya oleh Pemerintah Kabupaten Bandung sejak tahun 2012.
Gunung Munjul di Baleendah konon merupakan tempat bersejarah berkaitan dengan pertemuan Prabu Siliwangi dengan putranya Raden Kian Santang. Pertemuan ini membahas masa depan Kerajaan Sunda Pajajaran dan pembagian wilayah untuk para putra Prabu Siliwangi.
Sementara itu, Gunung Sadu di Soreang lain lagi kisah sejarahnya. Konon ada empat orang sakti yang datang ke tempat ini, kemudian mengembangkan wilayah di sekitar Gunung Sadu sebagai tempat permukiman dan pertanian. Empat orang ini selanjutnya dikenal dengan sebutan Empat Sekawan. Selain kisah tersebut, Gunung Sadu juga memiliki banyak batuan yang mengandung anomali magnetik. Batuan di sini memiliki medan magnet yang beragam kekuatannya dan mampu memutarbalikkan arah kutub utara magnet semisal pada jarum yang ditunjukkan sebuah kompas penunjuk arah .
Lokasi dan Akses
Situs Budaya Gunung Sadu terletak di Kampung Sadu Kidul, Desa Sadu, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung. Puncaknya merupakan batas antara dua desa, yaitu Desa Sadu dan Desa Karamatmulya. Beberapa kampung yang berada di lereng dan kaki gunung ini adalah Kampung Ciputih, Sindangmulya, Cibeureum hilir, Cijengkol dan Cijaringan.
Jika ditarik garis lurus, Gunung Sadu berjarak sekitar 17 kilometer dari pusat Kota Bandung ke arah barat daya. Sedangkan dari gedung Pusat Pemerintahan Kabupaten Bandung di Soreang, jaraknya hanya sekitar 2,5 kilometer.
Ketinggian puncak Gunung Sadu adalah 865 mdpl (meter di atas permukaan laut) berdasar peta RBI (Rupa Bumi Indonesia), lembar peta 1208-633, edisi I-1999 dengan judul peta Soreang, skala 1:25.000.
Untuk menuju puncak Gunung Sadu, tersedia beberapa pilihan jalur, tetapi yang paling sering dipilih adalah jalur pendakian dari Lapang Sepakbola Desa Sadu. Mencapai tempat ini cukup mudah. Dari Jalan Raya Soreang-Kopo, kita melanjutkan perjalanan menuju Jalan Raya Soreang-Ciwidey dan berbelok ke kiri ke Jalan Cijengkol-Selaawi melewati gapura selamat datang di Kampung Santiong. Jalan ini adalah juga jalan menuju sebuah tempat wisata yang cukup terkenal, yaitu “Taman Love Soreang”.
Untuk memudahkan perjalanan, kita bisa menggunakan bantuan daring semisal Google Maps. Kata kunci yang harus diketikkan adalah “Lapang Bola Desa Sadu”, lalu rute dan peta akan tersaji.
Mendaki Puncak Gunung Sadu
Rute mendaki Gunung Sadu dengan titik awal pendakian dari lapang bola Desa Sadu tidaklah terlalu jauh. Lapang Bola Sadu berada di ketinggian 830-an mdpl, sedangkan Puncak Gunung Sadu berada di ketinggian 895 mdpl. Mendaki menuju puncak memiliki celah ketinggian (gain elevation) sekitar 65 meter saja. Lama perjalanan untuk mencapai puncak sekitar 15 menit, atau sedikit lebih lama kalau kita sering berhenti untuk menikmati atau memotret pemandangan.
Di salah satu sudut kawasan Lapang Bola Desa Sadu, tepatnya di sisi barat, terpasang sebuah plang penanda situs cagar budaya dengan tulisan “Situs Makom Gunung Sadu”. Di sana terdapat keterangan sejarah sebagai berikut : “Di puncak Gunung Sadu ditemukan peninggalan benda cagar budaya berupa lingga yang dijadikan ciri tempat orang pada jaman dahulu untuk melakukan tapa brata dengan maksud mensucikan diri dari nafsu duniawi”.
Di bawah plang tersebut, terdapat sebuah batu yang cukup besar. Batu ini pun memiliki anomali magnet. Ada semacam anjuran: sebelum mendaki Gunung Sadu, hendaknya kita duduk dulu selama beberapa saat di atas batu tersebut.
Perjalanan menuju puncak diawali dengan menyusuri tembok. Selain tembok tinggi di sebelah kiri yang memagari bangunan IPA (Industri Pengolahan Air) PDAM Tirta Raharja Kabupaten Bandung, ada juga tembok penahan tanah (TPT) Kampung Sindangmulya. Selepas tembok ini, kita akan memasuki jalan setapak dengan dominasi tumbuhan bambu. Di beberapa ruas jalan setapak, telah dibuat undakan-undakan untuk mempermudah kaki melangkah.
Pada setengah jarak perjalanan, terdapat tempat dengan pemandangan terbuka ke arah barat laut. Dari sini, kita bisa melihat bentang alam pegunungan gunung api purba Soreang. Berderet Gunung Singa, Gunung Hawu, Gunung Aul, Gunung Kutawaringin, Gunung Buleud, dan yang lain. Di depannya terhampar persawahan dan permukiman Desa Sadu dan Desa Cilame.
Perjalanan menuju puncak sudah tak jauh lagi. Derajat kemiringan tanjakan pun sedikit bertambah. Di kiri dan kanan jalan setapak, hutan bambu terasa semakin rimbun.
Puncak Gunung Sadu merupakan lapangan datar dengan banyak batu berbagai ukuran berserakan, serta rumpun-rumpun pohon bambu sebagai peneduhnya. Di sisi sebelah timur terdapat sebuah saung dari bambu dengan ukuran cukup luas. Saung ini kondisinya terawat dan bersih. Terdapat semacam dapur atau perapian, serta tempat untuk duduk dan juga rebahan.
Biasanya di saung ini kita bisa bertemu dengan juru pelihara situs Gunung Sadu yang biasa dipanggil Abah Chandra. Sayang pada kesempatan kali ini beliau sedang tidak berada di tempat.
Di puncak Gunung Sadu, selain beristirahat menikmati suasana alam, kita bisa juga duduk di atas batuan. Karena batuannya memiliki kandungan magnet, duduk di atasnya bisa menjadi semacam terapi untuk kesehatan.
Keberadaan batuan anomali magnetik di puncak Gunung Sadu masih menjadi misteri yang belum terungkap seluruhnya. Dari mana asalnya dan sejak kapan ada di sana? Ada yang berkeyakinan batuan ini dulunya merupakan dorphall, yaitu batuan bulat hasil bentukan teknologi maju pada masanya. Dorphall memiliki batuan atau logam inti di dalamnya yang bisa berputar akibat medan magnet dari batuan kulitnya. Karena bentuknya bulat, pancaran medan magnet yang disebut dengan erselna dapat memancar ke segala arah. Teknologi dorphall digunakan untuk membaca pergerakan tanah semisal gempa atau aktivitas gunung api, serta dapat meredamnya.
Bisa juga batuan ini asli dari dalam perut bumi Gunung Sadu, berjenis dasitik dan ada juga yang berjenis andesit dengan kandungan mineral bermuatan magnet yang cukup kuat.
Jika penasaran ingin mengukur daya magnetik yang terkandung dalam batuan ini, kita bisa menggunakan aplikasi magnetometer pada smarthphone android, atau menggunakan kompas manual yang menggunakan jarum penunjuk arah.
Di sekitar kaki dan lereng Gunung Sadu terdapat gua-gua buatan Jepang. Ada sekitar 5 buah gua, dengan salah satunya memiliki panjang sekitar 30 meter. Terdapat juga sebuah air terjun yang disebut Curug Buni Agung.
Pada bulan-bulan tertentu, terutama di musim penghujan, pengunjung puncak Gunung Sadu disarankan untuk membawa lotion anti gatal atau anti nyamuk.
Toponimi dan Sekilas Sejarah
Asal-usul penamaan Gunung Sadu memiliki beragam versi. Salah satunya adalah dari kata “sadu” yang sering diucapkan oleh leluhur saat bertapa dan duduk di atas batu. Leluhur yang dimaksud adalah empat orang yang konon merupakan pendatang dari Kerajaan Mataram pada abad ke-15 atau sekitar tahun 1400-an. Mereka, yang dikenal dengan nama Empat Sekawan, adalah Raden Jaya Manik alias Eyang Tingkar Jaya, Eyang Padu Raksa, Eyang Malim, dan Eyang Lewi.
Setiap anggota Empat Sekawan memiliki keahlian dan tugas yang berbeda dalam mengembangkan permukiman, pertanian, dan pengairan di sekitar Gunung Sadu. Mereka mengetahui kekuatan dan keunikan karakteristik gunung yang berbeda dengan gunung lainnya, sehingga cocok untuk menjadi pusat tapa brata menyucikan diri sekaligus membangun kawasan di sekitarnya.
Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #47: Gunung Kerenceng dan Gunung Kareumbi, Kerucut Kembar di Lintasan Sesar Cicalengka
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #46: Pasir Pangukusan yang Terlupakan, Titik Pandang Patahan Lembang nan Menawan, dan Hutan Bambu Arcamanik yang Unik
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #45: Gunung Cadaspanjang dan Gunung Puncak 2020 Ciwidey, Bagian Sejarah Batalion Siluman Merah Divisi Silliwangi
Taman Makam Pahlawan Pasir Pahlawan
Dalam perjalanan menuju Lapang Bola Desa Sadu, kita akan melewati Taman Makam Pahlawan (TMP) Pasir Pahlawan. Dalam kunjungan bulan April 2023 lalu, TMP ini nampak tertata rapi dan bersih. Sebuah dinding tembok besar, disebut Tembok Keabadian, menyambut kedatangan para peziarah. Untuk memasuki kompleks ini, kita melewati sebuah pintu gerbang dan undakan tembok yang terbagi tiga bagian, yakni Undakan 17 anak tangga, Undakan 8 anak tangga, serta Undakan 45 anak tangga, yang melambangkan tanggal kemerdekaan Republik Indonesia.
Di dalam kompleks pemakaman seluas 2,5 hektare ini terdapat Plaza Upacara. Monumennya bertuliskan: “Terima kasih atas pelestarian tempat embarkasi kami pada masa revolusi fisik menjadi Taman Makam Pahlawan”, TTD. Dr. A.H. Nasution, Jendral Besar. Mereka yang dimakamkan di sini adalah para pejuang kemerdekaan yang sebagian besar berasal dari Kesatuan TRI Pelopor yang gugur di masa awal mempertahankan kemerdekaan.
*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)