RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #18: Markas Nationaal Indische Partij Pindah ke Bandung
Konsolidasi dengan kelompok komunis menjadi alasan pemindahan markas Nationaal Indische Partij dari Semarang ke Bandung, ke tempat lahirnya gagasan Indische Partij.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
8 Mei 2023
BandungBergerak.id – Openbare vergadering (pertemuan terbuka) yang berlangsung di Semarang pada akhir tahun 1922, menghasilkan keputusan penting antara lain, berpindahnya markas Nationaal Indische Partij (NIP) ke Bandung. Sebagaimana yang dilaporkan Algemeen Handesblad 31 Januari 1923, pertemuan tersebut diadakan tepat pada hari raya Natal tanggal 25 Desember. Meski demikian, rapat itu pun berbuntut kekecewaan dari para petinggi NIP, terutama kekecewaan yang dirasakan oleh Kessing sebagai pemimpin NIP di Semarang yang baru mengundurkan diri. Hal ini disebabkan oleh kurangnya respons anggota yang hadir, sehingga acara diskusi dalam pertemuan itu menjadi tidak dinamis.
Seraya memberikan pidato penutup, Kessing juga menyebutkan bahwa markas Pengurus Pusat NIP akan berpindah ke Bandung. Dengan harapan agar pengurus selanjutnya dapat menghidupkan NIP lebih baik lagi. Selain itu, koran De Maasbode 29 Desember 1922 juga melaporkan kepindahan markas NIP ke Bandung yang semula berada di Semarang. Dalam koran itu disebutkan bahwa kepindahan markas pusat Nationaal Indische Partij ke Bandung berdasarkan hasil keputusan pada pertemuan yang digelar di Semarang. Adapun pengurus pusat NIP yang baru antara lain: PF Dahler sebagai ketua, Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai anggota dan Douwes Dekker sebagai sekretaris.
Dahler sendiri baru bergabung dengan Insulinde pada tahun 1918. Dalam penelitian Max Rooyackers (2022) disebutkan jika Dahler merupakan seorang Indo-Eropa yang awalnya bekerja sebagai pegawai negeri di Hindia Belanda. Pada tahun 1918 ia berkenalan dengan Douwes Dekker, lalu bergabung dengan Insulinde atau Nationaal Indische Partij-Sarekat Hindia. Dia mewakili NIP di Volksraad, bahkan menjadi sosok yang vokal di dewan rakyat tersebut. Dengan demikian, keputusan untuk menjadikan Dahler sebagai ketua NIP pusat sangatlah tepat, meskipun pada tahun 1923 riwayat partai itu sudah mencapai masa-masa akhir.
Baca Juga: RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #17: De Expres Pindah ke Semarang
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #16: Suwardi Suryaningrat Menjadi Ketua NIP-Sarekat Hindia
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #15: Dari Insulinde Menjadi Nationaal Indische Partij-Sarekat Hindia
Pindah ke Bandung
Pemilihan Bandung sebagai markas pengurs pusat NIP bisa didasarkan pada beberapa alasan. Alasan pertama, karena kepindahan Tjipto Mangoenkoesoemo ke Bandung yang semula bertempat tinggal di Solo. Kedua, untuk kembali ke tempat lahirnya gagasan Indische Partij. Lalu, alasan ketiga, bisa juga karena Bandung merupakan salah satu kota pergerakan yang sangat masif.
Konsolidasi Nationaal Indische Partij dengan kelompok merah juga patut diperhatikan sebagai alasan berpindahnya markas NIP. Sempat mengalami ketegangan dengan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) dan juga Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP), Insulinde atau Nationaal Indische Partij akhirnya menunjukkan hubungan yang baik dengan kedua kelompok itu. Pada tanggal 3-4 Mei 1923, misalnya, Bond Tegen de Werlkoosheid cabang Yogyakarta menggelar pertemuan terbuka. Acara ini dihadiri oleh 300 orang, termasuk dari pers dan beberapa organisasi massa seperti Sarekat Islam Merah, PSI, Perserikatan Pegawai Pegadaian Boemipoetra (PPPB), PKI, NIP, Hidoep Merdika, Kleurmaker bond, Cauveerbond, VSTP dan PGB. Konon, perkumpulan Bond Tegen de Werlkoosheid ini bertujuan untuk membantu orang-orang yang sedang menganggur. Di antaranya, dengan cara mendidik para pengangguran itu agar bisa berdagang. Sementara tujuan diadakan rapat terbuka itu untuk membentuk cabang baru dengan dipimpin oleh KB Mandojono sebagai pengurus dari Bandung. Tentu saja, pertemuan ini didominasi oleh kelompok merah, bahkan NIP juga turut memberikan andil (Sapoedjagat 11 Mei 1923).
Bila dilihat dari cara pandang atau sikap kelompok merah dan juga NIP, belakangan keduanya seolah memperlihatkan sikap yang sama dalam merespons kondisi sosial kala itu. Saat terjadi pemogokan besar-besaran yang dilakukan oleh kalangan buruh di Hindia Belanda pada bulan Mei 1923, mereka yang terindikasi sebagai kelompok merah menggabungkan diri untuk memprotes PHK sepihak yang telah dilakukan oleh pemerintah kolonial. Tanpa terkecuali sikap protes dari pengurus NIP yang turut memberikan suaranya dalam pemogokan itu, sebagaimana yang ditunjukkan ketua Radicale Concentratie sekaligus pengurus NIP afdeelng Semarang bernama Robers. Menurut laporan Sapoedjagat 8 Juni 1923, Robers telah diskors dari jabatannya sebagai komisi Samarang-Joana Stroomtram Maatschappij (SJS) akibat keterlibatannya dalam sebuah pertemuan pemogokan pada tanggal 6 Mei.
Menerbitkan Sapoedjagat
Bukan hanya itu, sebagai petinggi Nationaal Indische Partij, Tjipto Mangoenkoesoemo menerbitkan koran Sapoedjagat yang bertempat di Bandung. Dalam koran tersebut ia menjabat sebagai penasihat dengan didampingi beberapa orang dari kelompok merah sebagai redaksi. Koran berbahasa Melayu itu mempunyai tagline “Soeara merdika: moeat tentang politiek kaoem kromo” dan banyak berisi perlawanan kaum merah, terutama menampilkan potret pemogokan yang terjadi di Pulau Jawa hingga bagian barat Sumatera itu. Hal ini mengindikasikan bahwa NIP sendiri menaruh peran dalam pemogokan yang didominasi oleh rengrengan kelompok merah itu sekaligus menunjukkan hubungan NIP dengan orang-orang yang diklaim sebagai komunis.
Dalam catatan Takashi Shiraishi, beberapa tokoh dari NIP-Sarekat Hindia berbondong-bondong meleburkan diri pada gerakan komunis. Takashi Shiraishi mencatat dua kelompok yang ikut beralih ke dalam pergerakan komunis. Pertama, mereka yang tergabung dalam PKI afdeeling Yogyakarta yang didirikan bulan Maret 1923. Kelompok ini kebanyakan berasal dari PPPB dan dekat dengan media yang dikelola oleh Soerjopranoto bersama Suwardi Suryaningrat bernama Doenia Baru, sehingga nantinya koran berbahasa Melayu ini secara de facto dijadikan sebagai organ PKI.
Kelompok kedua, yakni berasal dari Panggoegah. Beberapa orang seperti Sismadi Sastrosiswojo, Doellatib dan Padmotenojo merupakan bekas pengurus Personeel Fabriek Bond (PFB) dan Sarekat Hindia Delanggu. Selain menganggap Tjipto sebagai mentor, mereka juga tinggal di Pakualaman, Yogyakarta berdekatan dengan Suwardi, kemudian ikut bergabung ke dalam Comite Pangoeripan Mardika dan menerbitkan Panggoegah yang dipimpin oleh Suwardi Suryaningrat sebagai pemimpin redaksi. Beberapa saat kemudian, Nationaal Indische Partij-Sarekat Hindia memutuskan untuk bubar pada pertengahan bulan Mei 1923 dan meleburkan ke dalam PKI sebagai kebangkitan kembali semangat NIP-SH (Shiraishi, 2005:376).
Dengan demikian, kepindahan markas pengurus pusat Nationaal Indische Partij ke Bandung itu bersamaan pula dengan masa-masa akhir organisasi yang dipimpin oleh PF Dahler dengan riwayat kepemimpinan yang sangat singkat. Meski begitu pergerakan NIP masih sangat dipertaruhkan sebelum melebur menjadi PKI, karena para pemimpinnya seperti Tjipto dan Douwes Dekker tak pernah berhenti berjuang untuk kepentingan rakyat Hindia yang tertindas.