• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #20: Mas Atmawinata

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #20: Mas Atmawinata

Atmawinata merupakan redaktur Sipatahoenan angkatan pertama. Sempat memimpin majalah Parahiangan, majalah mingguan berbahasa Sunda terbitan Balai Pustaka.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Antara 1 Juli 1924-7 Agustus 1928, Mas Atmawinata menjadi redaktur Sipatahoenan. Ia berhenti karena diangkat menjadi pegawai Balai Pustaka. (Sumber: Sipatahoenan, 7 Agustus 1928)

11 Mei 2023


BandungBergerak.id – Selain Soetisna Sendjaja, redaktur pertama Sipatahoenan adalah Mas Atmawinata. Dan seperti Soetisna, Atmawinata lulusan Kweekschool (sekolah calon guru) di Bandung, pernah menjadi redaktur surat kabar Sunda sebelumnya, dan menjadi guru di Tasikmalaya. Namun, berbeda dengan Soetisna, setelah menjadi redaktur Sipatahoenan, Atmawinata sempat menjadi pemimpin redaksi majalah Parahiangan, terbitan Balai Pustaka, meski tidak lama. Data terakhir yang saya dapat menunjukkan Atmawinata kembali menjadi guru, di Leles, Garut.

Bukti Mas Atmawinata lulusan Kweekschool atau Sakola Raja di Bandung antara lain terbaca dari berita singkat De Preanger-bode edisi 20 Juni 1917. Di situ dikatakan Atmawinata, bersama Achmad, Hardjawinata, Isad, Parmasasmita, Soepjansaori, Prawiradiredja, Kartawisastra, Roestan, Oetoen, Gani, Oekas, Endo, Wiratmadja mengikuti ujian kelas enam di Kweekschool. Dari sini saya dapat menyimpulkan bahwa Atmawinata merupakan adik angkatan Soetisna. Karena Soetisna lulus dari sana pada 1911 atau berbeda sekitar enam angkatan dengan Atmawinata.

Setamat dari Sakola Raja, Atmawinata menjadi guru dan aktif menjadi anggota Paguyuban Pasundan. Buktinya, menurut berita-berita yang dihimpun dalam Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers (IPO) sejak No. 8, 1919 hingga No. 17, 1921, Atmawinata menjadi ketua Paguyuban Pasundan Cabang Bogor sekaligus merangkap pemimpin redaksi surat kabar berbahasa Sunda terbitan cabang tersebut, Djadjaka Pasoendan.

Dalam IPO No. 8 (1919) disebutkan Djadjaka Pasoendan diterbitkan sejak Februari 1919 (No. 1) sebagai berkala Paguyuban Pasundan Cabang Bogor, yang akan dikeluarkan sebulan sekali dan redaksinya adalah Atmawinata (“Dit is een nieuw verschenen orgaan in het Soendaneesch van de afdeeling Bogor der Pasoendan; het zal eens in de maand verschijnen en staat onder redactie van den heer Atmawinata”).

Ternyata Djadjaka Pasoendan tersendat-sendat. Misalnya untuk edisi Mei 1919 terbitnya telat, dan Juni 1919 bahkan tidak terbit (IPO, No. 26, 1919). Dalam IPO No. 50 (1920) dikatakan Cabang Bogor punya pengurus baru, tetapi kegiatannya belum hidup lagi, dan Djadjaka Pasoendan sudah tidak lagi diterbitkan selama beberapa bulan.

Saat itu bahkan disayangkan atas sikap Pengurus Besar Paguyuban Pasundan di Batavia yang berjanji akan menjadikan Djadjaka Pasoendan sebagai berkala resmi. Oleh karena itu, penulis yang menamakan diri Sentik (Padjadjaran No. 3, 3 Februari 1921, dalam IPO No. 6, 1921) meminta kepada Atmawinata, bekas ketua Cabang Bogor, terkait janji untuk menerbitkan kembali Djadjaka Pasoendan dan menanyakan mengapa surat kabarnya tidak lagi diterbitkan.

Hingga November 1937, Atmawinata masih tercatat sebagai anggota Paguyuban Pasundan Cabang Leles, tetapi sudah tidak aktif lagi. (Sumber: Sipatahoenan, 23 November 1937)
Hingga November 1937, Atmawinata masih tercatat sebagai anggota Paguyuban Pasundan Cabang Leles, tetapi sudah tidak aktif lagi. (Sumber: Sipatahoenan, 23 November 1937)

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #19: Si Roda Mala
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #18: Ahmad Atmadja
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #17: Diserahkan kepada Pengurus Besar Paguyuban Pasundan

Redaktur Pertama

Setelah dari Bogor, agaknya Atmawinata pindah tempat kerjanya ke Jatinegara dan Tasikmalaya, masih sebagai pengajar. Di Tasikmalaya, seperti yang dilakukannya di Bogor, ia aktif, bahkan menjadi pendiri Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya. Fakta ini akan saya singgung kembali dalam konteks kepindahannya ke Batavia sebagai pegawai Volkslectuur atau Balai Pustaka. Saya akan membahas dulu keterlibatannya sebagai redaktur Sipatahoenan.

Bila melihat publikasi Sipatahoenan paling lama pada koleksi Perpustakaan Nasional RI, agaknya Atmawinata sudah menjadi redaktur Sipatahoenan sejak edisi pertama, 1 Juli 1924. Di Sipatahoenan No. 24, 9 Desember 1924, nama Atmawinata sudah tercantum sebagai redaktur bersama dengan Soetisna Sendjaja. Dugaan saya juga diperkuat keterangan-keterangan dari Ahmad Atmadja (“Ngadjoeroeng Lakoe” dalam Sipatahoenan, 7 November 1931, dan “Pangeling-eling Sipatahoenan 10 Taoen” dalam 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan, 1933).

Menurut Ahmad (1931), Atmawinata bersama Soetisna yang sanggup mengemudikan Sipatahoenan saat akan diterbitkan (“Koe margi ngemoetkeun kana kagoembiraaana [enthousiasime] sadaja oetoesan dina conferentie di Bandoeng, nja Tasik singkil bade lahlahan. Noe sanggem djadi redaktoerna nja eta djrg. Soetisna Sendjaja sareng djrg. Atmawinata sareng redaktoer di Batawi djrg. Soeriadiradja”). Saat itu, kata Ahmad (1933), baik Soetisna maupun Atmawinata menjadi guru di HIS Pasundan di Tasikmalaya dan pada tahun 1933 Atmawinata menjadi guru di Pasoendanschool di Leles, Garut (“noe djadi redacteur mimiti Djrg. Soetisna Sendjaja sareng Djrg Atmawinata harita djadi goeroe HIS Pasoendan di Tasik, ajeuna djadi goeroe HIS Pasoendan di Leles”).

Seperti halnya Soetisna, selama menjadi redaktur Sipatahoenan, Atmawinata pernah mendapatkan teror dari pihak yang tidak suka bila Sipatahoenan mengkritisi kebijakan kolonial. Teror ini terjadi pada awal 1927 setelah Sipatahoenan menurunkan polemik antara Abah Si Entjep, Sasradipoera, Bapa Edjle, Soeriadiradja, dan lain-lain sejak edisi 7 Desember 1926.

Teror terhadap Atmawinata ada dalam berita “Debat Aneh (baoe-baoe facisme)” (Sipatahoenan, 11 Januari 1927). Di situ dikatakan “Dina malem Rebo di boemina djrg. Atma Redacktoer Sipatahoeann geus aja kadjadian noe aneh. Golodog boemina aja noe njemeer koe noe seungit-seungit, boemina ditjentang koe ... batoe. Ti noe poek tangtoe” (Pada malam Rabu di rumahnya Tuan Atma redaktur Sipatahoenan ada kejadian aneh. Undakan rumahnya ada yang menyembur dengan yang “wangi-wangi”, rumahnya dilempari dengan ... batu).

Polisi terjun. Atmawinata dimintai penjelasannya apakah dia punya musuh atau tidak. Di akhir berita redaksi mengatakan: “Lah aheng pohara. Debat batoer mah noe djadi kateranganana bet loear biasa: bangsa teuas-teuas djeung seungit-seungit. Bleg bae di Itali. Facistische strijdmethode?” (Aneh sekali. Debat orang itu yang menjadi keterangannya luar biasa: benda keras dan harum-harum. Mirip dengan yang ada di Italia. Apakah ini metode fasis?).

Satu tahun setengah kemudian, Mas Atmawinata berhenti sebagai redaktur Sipatahoenan. Namanya terakhir tercantum sebagai redaktur Sipatahoenan dalam edisi No. 6, 7 Agustus 1928. Setelah itu posisinya digantikan oleh Patah, seperti yang terlihat pada edisi No. 7, 14 Agustus 1928, No. 8, 21 Agustus 1928, dan No. 9, 28 Agustus 1928. Patah bersanding dengan Soetisna Sendjaja, sementara Atmawinata mendapatkan promosi menjadi pegawai Balai Pustaka.

Menjadi Pemimpin Redaksi Parahiangan

Kabar kepindahan Mas Atmawinata ke Batavia mengemuka dalam tulisan “Djrg. Atmawinata Ngalih ka Batawi” (Sipatahoenan, 7 Agustus 1928). Pada awal tulisan terbaca demikian: “Dina malem Minggoe tanggal 29 Juli 1928, di Soesitet Kaweningan Mitra rame mestakeun djrg. Atmawinata, minangka sosonoan doemeh andjeunna ngalih ka Batawi djadi Redacteur di Volkslectuur” (Pada malam Minggu tanggal 29 Juli 1928, di Societeit Kaweningan Mitra berlangsung keramaian pesta Tuan Atmawinata, sebagai temu kangen karena dia akan pindah ke Batavia menjadi redaktur di Balai Pustaka).

Pesta perpisahannya dikatakan sangat meriah, karena banyak tamu undangan yang datang. Dalam tulisan selanjutnya dijelaskan alasan-alasan demikian. Pertama, karena konon Atmawinata adalah salah seorang pendiri Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya (“Saperkara djrg. Atmawinata teh salah sahidji ti noe ngadegkeun tjabang Pasoendan Tasik”), sekaligus bersama Sastraprawira, mendirikan HIS Pasoendan Tasikamalaya.

Kedua, Atmawinata adalah redaktur Sipatahoenan, yang seperti Soetisna Sendjaja dan lain-lainnya tidak dibayar, dan sempat diteror dengan kotoran (“Kadoea perkara: Keur noe maraos Sip, tangtos moal bireuk kapan andjeunna djadi redaktoer Sip zonder gadjih, hartina amal ngaloearkeun tanaga pikeun njaangan kaom leutik sateka-teka djeung sabisa-bisana andjeunna. Keur noe dibelaan tangtos aja mangpaatna. Hanas diboeroehan boboreh, apa boleh boeat risico van den arbeid”).

Ketiga, Atmawinata adalah ketua Boedi Kaprijajian yaitu perhimpunan bank koperasi, yang modalnya sudah berpuluh ribu gulden dan anggotanya sudah ada ratusan. Melalui organisasi itu, para anggotanya dibantu bila mendapatkan kesusasahan. Dan jasa-jasa lain Atmawinata disebutkan oleh Patah, wakil ketua Boedi Kaprijajian sekaligus penggantinya di Sipatahoenan, dan oleh Ahmad Atmadja, ketua Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya (“Djasa-djasana djrg. Atma ditataan dina waktoe toespraak djrg. Patah, W.d. voorzitter B.K. noe ngagentoes andjeunna sareng ngagentos andjeunna djadi redaktoer ieu soerat kabar, .. kitoe deui ditataan koe djrg. Ahmad Atmadja, voorzitter Pasoendan Tasik”).

Besoknya saat berangkat ke Stasiun Tasikmalaya, banyak orang yang mengiringi kepergian Atmawinata, dan saat perpisahan banyak yang menitikkan air mata, baik perempuan maupun laki-laki (“Endjingna waktoe angkat, setatsion pinoeh koe noe ngadjadjapkeun. Teu kedah ditjarioskeun, seueur sapoe tangan noe baraseuh. Lain bae istri, pameget oge aja noe geus teu bisa mengkek kasedihanana”).

Selanjutnya, bila melihat-lihat Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indie tahun 1929 dan 1930, saya jadi mengetahui posisi Atmawinata di Volkslectuur. Bila pada Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indie tahun 1929 ia masih dituliskan sebagai “Ambtenaar ter beschikking” pada “Onderafdeeling Redactie Tijdschriften” seksi bahasa Sunda, sementara dalam edisi tahun 1930 dikatakan ia adalah “Hoofdredacteur” (pemimpin redaksi) majalah Parahiangan.

Parahiangan adalah majalah mingguan berbahasa Sunda terbitan Balai Pustaka antara 1929-1942. Majalah yang terbit setiap hari Kamis ini pertama kali terbit pada 3 Januari 1929. Namun, sebelum itu, Balai Pustaka sebenarnya lebih dulu menerbitkan nomor contoh sebanyak dua edisi, nomor contoh (proefnummer) pertamanya pada 1 Desember 1928. Ini mengandung arti saat Mas Atmawinata diangkat bisa jadi memang dalam kerangka mempersiapkan penerbitan Parahiangan, karena salah satu pertimbangannya dia berpengalaman dalam mengelola surat kabar, seperti Djadjaka Pasoendan dan Sipatahoenan.

Tapi dalam praktiknya, Atmawinata tidak lama bekerja di Balai Pustaka. Dalam Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indie tahun 1931 dan 1932, namanya sudah tidak lagi tercantum sebagai pemimpin redaksi Parahiangan. Untuk jabatan pemimpin redaksi dalam kedua almanak tersebut dibiarkan kosong, tidak diisi. Bila dikaitkan dengan tulisan Ahmad Atmadja (1933), Atmawinata kemudian menjadi guru di Pasoendanschool Leles, Garut.

Fakta ini diperkuat tulisan Nak-toe berjudul “Kaajaan Pasoendan Tjabang Leles” (Sipatahoenan, 23 November 1937). Di situ Nak-toe menyayangkan sikap acuh tak acuh Atmawinata untuk perkembangan Paguyuban Pasundan Cabang Leles, berbeda ketika dia aktif di Bogor, Jatinegara, dan Tasikmalaya. Padahal Leles adalah tempat asalnya (“Tapi nja eta atoeh, ari ngadenge tjaritana priboemi mah, koemaha hare-harena sawareh leden ka Pasoendan, matak handjeloe noe ngabandoengan, geura bae: saperti Djrg. Atmawinata bae [ngahadja koe noe noelis ditembrakeun], noe noelis terang bedja-bedja bae mah, koemaha soson-sosonna nalika andjeunna aja Tasik, Bogor sareng di Djatinagara, ari di Pakoewon koe andjeun mah tjenah, ngan dina mimiti soemping bae soson2na teh, da kabeh dieunakeun mah hih ... tara tembong2 atjan).

Ini berarti, sejak keluar dari Balai Pustaka, Atmawinata kembali ke tempat asalnya, yaitu Leles, menjadi guru HIS Pasoendan dan mula-mula aktif lagi dalam kegiatan Paguyuban Pasundan Cabang Leles. Namun, belakangan, paling tidak hingga November 1937, Mas Atmawinata nampak tidak berhasrat lagi memajukkan Cabang Leles.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//