• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #19: Si Roda Mala

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #19: Si Roda Mala

Sipatahoenan mengkritik tindakan represif pemerintah Hindia Belanda pada merekayang diduga terlibat pemberontakan komunis tahun 1926 dalam dongeng Si Roda Mala.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Tulisan pertama Abah Si Entjep tentang kaum Si Roda Mala yang mendapatkan tindakan keras dari polisi kolonial. (Sumber: Sipatahoenan, 7 Desember 1926)

4 Mei 2023


BandungBergerak.id – Ada saatnya Sipatahoenan mengkritik tindakan represif yang dilakukan oleh pegawai pemerintah Hindia Belanda. Titik pangkalnya perlakuan keras hamba-hamba hukum kolonial terhadap orang-orang yang diduga terlibat pemberontakan tahun 1926, yang digerakkan oleh kaum komunis. Kritiknya ditulis Abah Si Entjep dengan tajuk “Tjoerat-tjaret” (Sipatahoenan, 7 Desember 1926), tapi kemudian lebih dikenal sebagai “Si Roda Mala”.

Ternyata tulisan tersebut berbuntut panjang, karena menuai polemik berkepanjangan, menyebabkan berhentinya sebagian pelanggan Sipatahoenan terutama yang berasal dari kalangan pegawai pemerintah kolonial, dan menimbulkan teror ke rumah dua redaktur Sipatahoenan.

Salah seorang redakturnya, Soetisna Sendjaja, memotret kejadian tersebut dalam tulisan “Op Hoop van Zegen” (dalam Sip 1923-1953, 1953: 4). Katanya, “Emut keneh, November ‘26, djaman pemberontakan Kominis. Lantaran tindakan2 alat2 pamarentah geus luar garis kamanusaan, dikritik dina artikel ‘Si Roda Mala’. Naha atuh, ana burusut teh, nu mundut liren! Aneh, barang nepangan aji Ahmad, patali sareng ieu kadjadian, bet disampakkeun gelenju, nu disangka bakal merengut teh. Mana horeng aja imbanganana! Burusut nu kalaluar, burusut deui langganan anjar”.

Artinya, saya masih ingat, bulan November 1926, saat terjadinya pemberontakan komunis, dikarenakan tindakan-tindakan aparat-aparat pemerintah sudah di luar batas kemanusiaan. Perbuatan tersebut dikritik dalam artikel “Si Roda Mala”. Kemudian banyak (langganan Sipatahoenan) yang meminta berhenti! Anehnya, saat menemui Adik Ahmad (Atmadja) (untuk membicarakan) kejadian tersebut, ternyata ia menyambutnya dengan senyuman, padahal tadinya disangka akan memberengut. Ternyata ada imbangannya! Ketika banyak langganan yang keluar, diimbangi dengan banyaknya langganan yang baru.

Bakrie Soeraatmadja, yang saat itu masih menjadi kontributor, mengenang pula kejadian tersebut dalam tulisannya “Sipatahoenan dina Djaman Djadjahan” (Sip 1923-1953, 1953: 7). Menurut Bakrie, ketika baru sekitar tiga tahun umurnya mingguan Sipatahoenan, sungguh tidak diduga-duga tahun 1926 timbul huru-hara pemberontakan kaum komunis. Meski musibahnya tidak langsung terasa oleh Sipatahoenan, tapi lambat laun terasa).

Selanjutnya Bakrie mengatakan pemerintah Hindia Belanda melakukan pengawasan yang ketat terhadap surat kabar, sehingga dampaknya banyak langganan Sipatahoenan yang mendadak minta berhenti, karena banyak yang menakut-nakuti. Bila ada yang hendak membaca, biasanya seraya bersembunyi-sembuyi (“Ku kerasna panalingaan Pamarentah Hindia-Walanda di Indonesia djaman harita ka surat-surat kabar, dumeh tas aja huru-hara kaum Komunis tea, nepi ka rea langganan Sipatahoenan nu ngadadak menta eureun tina langgananana lantaran loba nu ngahihileudan. Sakalieun teh aja nu hajang keneh matja, bari susulumputan”).

Sedangkan Moh. Koerdie, yang saat kejadian belum bergabung dengan Sipatahoenan tetapi kemudian menjadi pemimpin redaksinya, secara singkat (“Pangalaman Sipatahoenan”, Sip 1923-1953, 1953: 48) menyatakan pemberontakan 1926 membuat pemerintah jajahan naik pitam. Namun, Sipatahoenan terus mengabarkannya, tidak halangan dengan keadaan gawat, sehingga kala itu terkenallah istilah Si Roda Mala.

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #18: Ahmad Atmadja
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #15: A.S. Tanoewiredja
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #16: Nomor-Nomor Khusus
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #17: Diserahkan kepada Pengurus Besar Paguyuban Pasundan

Kritik dan Polemik

Kritik Abah Si Entjep (“Tjoerat-tjaret”, Sipatahoenan, 7 Desember 1926) sebenarnya dapat dibilang sangat halus, karena dengan menggunakan perlambang.

Kata Si Roda Mala muncul dalam kutipan berikut: “Tina kitoena oge bedja deui bae lila ti lila katepaan koe watekna eusina leuweung tea. Nja nepi ka mangroepa bagong. Malah dingaranan si Roda Mala. Katjatoerkeun Si Roda Mala keukeuh peuteukeuh hajang balik deui ka asal, da njaho tjenah kana toeroenan, tapi lingloeng tina geus sedjen alam tea. Noe matak djadi ngaroesoehkeun: ngarandjah kakebon-kebon” (Oleh sebab itu pun ada kabar lagi, lama kelamaan tertular dengan watat penghuni hutan. Sehingga berwujud babi hutan, bahkan diberi nama Si Roda Mala. Konon, Si Roda Mala bersikeras hendak kembali ke asal, karena tahu asal usul keturunannya, tetapi linglung karena sudah berbeda alam. Dengan demikian mereka membuat kerusuhan, merusak kebun-kebun).

Selanjutnya, babi hutan-babi hutan itu ditangkapi oleh tukang kebun dan anak-anaknya. Meski tidak semua, konon, anak-anak tukang kebun bersuka hati melihat anak keturunan Si Roda Mala ditangkapi, bahkan setiap yang dimasukkan ke dalam kerangkeng, terus diikat, dibuat sebagai kuda-kudaan, dilecut, seperti halnya seorang anak kepada satwa. Padahal maunya Abah Si Entjep (yang ditulis dengan cetak tebal) adalah: “Kahajang teh Kangdjeng Toean Besar sotjana mang ewon-ewon, sangkan iasa ningali koe andjeun kalakoean-kalakoean anak toekang kebon” (Hendaknya sih Tuan Besar yang matanya beribu-ribu itu, agar bisa melihat sendiri kelakuan-kelakuan anak tukang kebun).

Pada edisi 21 Desember 1926, Sipatahoenan memuat “Kahatoer Abah Si Entjep” yang dibuat Sasradipoera sebagai tanggapan untuk tulisan Abah Si Entjep sekaligus “Tjoerat-tjaret” berisi tanggapan Abah Si Entjep bagi Sasradipoera.

Sasradipoera antara lain menyangka Abah Si Entjep mengatakan aksi Si Roda Mala karena dulunya dizalimi, sehingga mengamuk. Namun, sebenarnya menurut Sasradipoera, tindakan itu diakibatkan iri dengki, rakus, dan punya rasa akan ada yang menolong. Ia bahkan menduga tindakan balasan tukang tani dan anak-anaknya disebabkan adanya perasaan yang membuat mereka gelap pikirannya. Termasuk menyebutkan motif-motif Si Roda Mala, yaitu hendak merdeka, mau uang karena akan membuka bank dan ontvanger, dan hendak memperistri priyayi.

Pada gilirannya, Abah Si Entjep menduga Sasradipoera salah mengartikan pendapatnya, seraya menegaskan bahwa bukankah tukang kebun itu punya kewajiban untuk menjaga agar kehidupan bermasyarakat tidak keluar dari aturan negara (“Lain toekang kebon teh kawadjibanana koedoe ngadjaga, soepaja hiroep koemboeh oelah mengpar tina palanggeran nagara? Lain dina oenggal-oenggal palanggeran nagara salawasna aja: Gelast en bevelt, dat alle hoogere en lagere kollegien en amtenaren ... enz ...?”).

Dalam edisi 28 Desember 1926, polemik bersambung. Kali itu Bapa Edjle (“Djoeragan Redactie Sipatahoenan. Si Roda Mala”) yang dijawab Abah Si Entjep (“Tjoerat-tjaret”). Maksud Bapa Edjle menanggapi tulisan Sasradipoera sekaligus Abah Si Entjep. Kepada Abah Si Entjep, Bapa Edjle meminta untuk menjelaskan perlambang-perlambang itu, jangan sampai menyebabkan timbulnya makna ganda.

Konon, Bapa Edjle dan kawan-kawannya mengartikan Si Roda Mala dan kawan-kawan sebagai kaum komunis yang membuat keributan di Hindia Belanda (“Si Roda Mala djeung sabatoerna=Communisten, anoe ngariboetkeun djagat di oerang ajeuna tea”). Sementera tukang kebun adalah polisi dan anak-anak tukang kebun sebagai polisi berpangkat rendah seperti agen polisi (“Toekang kebon=politie. Anak-anak toekang kebon=bangsa pangkat politie anoe laleutik saperti politie agent”).

Abah Si Entjep menjawab ia dan Bapa Edjle berbeda sudut pandang. Ia berbicara atas nama hukum, sementara Bapa Edjle dari sudut pandang sentimen, padahal yang penting yang ia tegaskan adalah upaya menegakkan aturan bernegara. Di akhir tulisan Abah Si Entjep, redaksi Sipatahoenan memberi tanggapan agar polemik dihentikan, karena sudah jelas maksud Abah Si Entjep hanya memberitahu, sebab bila dilanjutkan akan menyebabkan jadi urusan pribadi, yang tidak akan ada habisnya.

Teror Kotoran

Meski redaksi Sipatahoenan menghentikan polemik, tetapi ekornya masih ada. Dalam edisi 11 Januari 1927 ada berita “Debat Aneh (baoe-baoe facisme)” yang isinya menyatakan pada malam Rabu, undakan rumah Atmawinata, redaktur Sipatahoenan, disembur kotoran dan rumahnya dilempari batu (“Dina malem Rebo di boemina djrg. Atma Redacktoer Sipatahoeann geus aja kadjadian noe aneh. Golodog boemina aja noe njemeer koe noe seungit-seungit, boemina ditjentang koe ... batoe. Ti noe poek tangtoe”).

Atas kejadian itu, Atmawinata dimintai keterangan oleh polisi dan ia menyebutkan tidak merasa musuh. Di akhir berita redaksi menyatakan bahwa peristiwa tersebut sangat aneh, karena debat orang lain berakhir dengan benda keras dan kotoran, mirip fasisme di Italia (“Lah aheng pohara. Debat batoer mah noe djadi kateranganana bet loear biasa: bangsa teuas-teuas djeung seungit-seungit. Bleg bae di Itali. Facistische strijdmethode?”).

Sebelumnya pada halaman pertama edisi yang sama dimuat tulisan “Het Recht van ‘t vrije woord: Hak Kamerdikaan Ketjap”. Antara lain di situ dikatakan bahwa kritik Abah Si Entjep untuk urusan polisi dalam dongeng Si Roda Mala, dibalas dengan kelakuan yang tidak diduga-duga. Padahal kritik Abah Si Entjep tersebut sangat halus sekali.

Tulisan tersebut juga ditanggapi Bapa Edjle dengan judul yang sama “Het Recht van Het Vrije Woord” dan jawaban (“Pangwaler”) terhadap tulisan Bapa Edjle dalam edisi 17 Januari 1927. Namun, selain itu, teror kotoran terjadi lagi kepada redaktur Sipatahoenan lainnya, Soetisna Sendjaja, sebagaimana yang diberitakan dalam edisi 22 Februari 1927 dengan tajuk “Journalist Model Baoe”.

Lain salah tjitak ieu teh, bener teu koedoe make r. Bareto djoeragan Atma Redacteur Sipatahoenan didebat koe noe sareungit, lantaran sigana aja karangan dina Sip noe teu ngeunah keur sabagian rahajat. Noe seungit ditambahan koe pelor batoe ti sisi balong, toekangeun beberes rek ngotoran. Ajeuna djoeragan Soetisna Sendjaja Redaktoer Sipatahoenan meunang serangan ti Journalist mode baoeoe. Pinoeh di tepas, medja, korsi, panto, bilik koe noe sareungit. Moal lila deui oge poelisi meunang katerangan, sabab boemi djoeragan Soetisna tjaket ka tangsi Veldpoelisi djeung ieu kadjadianana dina malem Kemis tanggal 16 Februari 1927 meneran tanggal 15 boelan Rewah, djadi keur tjaang boelan”.

Artinya, ini bukan salah cetak, betul tidak usah memakai r. Dulu Tuan Atma redaktur Sipatahoenan yang didebat oleh kotoran, sebab agaknya ada karangan dalam Sip yang membuat tidak nyaman bagi sebagian rakyat. Kotoran ditambah peluru batu dari pinggir kolam, di belakang beres-beres hendak mengotori. Sekarang Tuan Soetisna Sendjaja, redaktur Sipatahoenan, mendapat serangan dari jurnalis model bau. Serambi, meja, kursi, pintu, dan dinding rumahnya penuh kotoran. Tidak akan lama lagi polisi akan mendapatkan keterangan, sebab rumah Tuan Soetisna dekat ke tangsi polisi lapangan dan kejadian ini terjadi pada malam Kamis tanggal 16 Februari 1927 atau 15 Rewah, jadi ketika terang bulan.

Demikian berita singkatnya. Redaktur Sipatahoenan di Batavia, Soeriadiradja, turut menanggapi teror kepada dua redaktur Sipatahoenan (“Katotolojoh”, dalam Sipatahoenan, 8 Maret 1927). Katanya, “Pakoempoelan Pasoendan anoe ngaloearkeun Sipatahoenan tangtoe moal tjitjingeun, bakal ngoeroeskeun tepi ka djoetjoengna” (Paguyuban Pasundan penerbit Sipatahoenan tentu saja tidak akan diam, akan mengurus soal ini hingga usai). Urusannya memang saat itu sudah ditangani oleh polisi dan Pengurus Besar Paguyuban Pasundan Otto Soebrata sudah berangkat dari Batavia ke Tasikmalaya untuk mengurus hal tersebut (“Djoeragan O. Soebrata geus angkat ka Tasik baris ngoeroeskeun ieu perkawis. Sae oerang antos heula bae”).

Apakah perbincangan Si Roda Mala sudah selesai? Ternyata ada dua edisi Sipatahoenan lagi yang menyentilnya. Abah Si Entjep menyatakan akibat komunisme itu bukan hanya para pegawai pemerintah yang celaka; kaum Si Roda Mala atau komunis-komunis beserta keluarganya celaka, sengsara, dibuang ke Boven Digul atau dihukum mati; dan rakyat kebanyakan terkena dampaknya seperti yang terlihat dalam anggaran belanja negara tahun 1928 (“Tjoerat-tjaret”, Sipatahoenan, 7 Juni 1927). “Tjoerat-tjaret” ditulis lagi Abah Entjep dalam edisi 12 Juli 1927, yang menanggapi “Poenale Sanctie” dan “Mishandeling” (siksaan) di Deli dalam perbincangan Volksraad yang bernuansa dongeng Si Roda Mala.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//