• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #18: Ahmad Atmadja

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #18: Ahmad Atmadja

Ahmad Atmadja adalah perintis surat kabar Sipatahoenan. Bakrie Soeraatmadja mengusulkan nama Patahoenan. Lalu disepakati Sipatahoenan dan dicetak  di Tasikmalaya.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Ahmad Atmadja sebagai ketua Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya yang diwajibkan menerbitkan Sipatahoenan oleh hasil konferensi di Bandung. (Sumber: 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan (1933))

27 April 2023


BandungBergerak.idSejarah Sipatahoenan takkan terlepas dari Ahmad Atmadja. Ia ketua Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya yang diberi tugas untuk menerbitkan surat kabar bagi Paguyuban Pasundan sekaligus bertanggungjawab atas nasib surat kabar tersebut pada tahun 1924.

Sebelum lebih jauh mengurai sepak terjang Ahmad Atmadja dalam kerangka sebagai perintis Sipatahoenan, saya akan menyampaikan sedikit riwayat hidupnya sebagaimana yang tertulis dalam Orang Indonesia yang terkemuka di Jawa (1944, 1986: 270) susunan Gunseikanbu.

Di situ disebutkan Ahmad Atmadja dilahirkan di Mandirancan, Kabupaten Kuningan, pada 24 November 2561 atau 1901. Pendidikannya berturut-turut HIS, Kweekschool Bandung, dan HBS pada tahun 1922. Ia pernah bekerja sebagai guru HIS Banyuwangi, Situbondo, dan Tasikmalaya antara 1922-1923. Pada tahun 1939, dia diangkat menjadi pegawai penerangan urusan koperasi di Bandung dan sejak 1 November 1942 diangkat menjadi pegawai balai penerangan urusan koperasi perdagangan Cirebon (Syomin Kumiai Soodan Zyo).

Adapun perhimpunan yang diikutinya adalah menjadi ketua Balai Pamoelangan Pasoendan di Tasikmalaya dan Bandung, terutama mengurus keuangan pengajaran. Antara 1930 hingga 1940, Ahmad Atmadja menjadi pengurus pusat koperasi di Tasikmalaya dan menjadi ambtenaar koperasi di Bandung. Di bidang politik, ia menjabat sebagai anggota college van gecommitterd Dewan Kabupaten Tasikmalaya antara 1927 hingga 1939 dan anggota dewan Provinsi Jawa Barat antara tahun 1934 hingga 1937.

Perintis Sipatahoenan

Bagi Sipatahoenan, Ahmad Atmadja dapat dibilang perintisnya. Ihwal ini ia ungkap dalam beberapa tulisan, yaitu “Ngadjoeroeng Lakoe” (dalam Sipatahoenan, 7 November 1931), “Pangeling-eling Sipatahoenan 10 Taoen” (dalam10 Taoen Dagblad Sipatahoenan, 1930), “Tri Dasa Warsi” (dalam Sip 1923-1953, 1953). Sementara perkembangan surat kabar tersebut antara lain ia dedahkan dalam tulisan berjudul “Kaajaan Sipatahoenan” (Sipatahoenan, 15 Desember 1925) dan “Doea Taoen” (Sipatahoenan, 6 Juli 1926). Termasuk mengenai surat kabar Somah Moerba yang dimaksudkan sebagai bemper Sipatahoenan (“Soemah Moerba” dalam Sipatahoenan, 17 Agustus 1926).

Kata Ahmad Atmadja (1931), “Dina djaman tigerat dina taoen 1924, Bestuur Pasoendan Tjabang Tasikmalaja babadamian hojong ngaloearkeun serat kabar minggoean, koe margi djaman harita perkawis politiek (het politiek leven) katjida djemplingna. Nja kitoe deui dina perkawis serat kabar, harita saparantosna Padjadjaran sareng Siliwangi teu aja dikieuna, aja noe njobi-njobi ngaloearkeun serat kabar Soenda, naning katingalna teh ngan kiat sasihan bae, teu lami parantos koebra deui” (Pada masa krisis 1924, pengurus Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya berdiskusi untuk menerbitkan surat kabar mingguan, sebab waktu itu ihwal kehidupan politik sangat sepi. Demikian pula surat kabar, saat itu setelah Padjadjaran dan Siliwangi tidak lagi terbit, ada yang sempat mencoba-coba menerbitkan surat kabar Sunda, tapi hanya kuat beberapa bulan).

Namun, pengurus Cabang Tasikmalaya, yang dibantu Soetisna Sendjaja dan Atmawinata, bersikukuh untuk menerbitkan surat kabar Sunda, demi orang Sunda memiliki corongnya sendiri. Niatan tersebut terdengar oleh Bakrie Soeraatmadja yang waktu itu menjadi ketua Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya. Dengan demikian, keinginan tersebut terus dipendam, hingga adanya konferensi Paguyuban Pasundan di Bandung.

Selanjutnya, “Harita oetoesan Tasik kaleresan sim koering sareng djrg. Kartawisastra H.O. Sindanggalih, ajeuna mah di Tasik, babalagondjangan njarioskeun ieu perkawis, saparantosna dipengker badanten sareng djrg. Bakrie. Oetoesan-oetoesan sadajana moepakat, oepami Tasik ngaloearkeun serat kabar sarta H.B. Pasoendan bade ngadeudeul, boh koe artos boh koe tanaga, asal bae leden Pasoendan kenging eta s.k. gratis

Artinya, saat itu utusan dari Tasikmalaya kebetulan saya dan Kartawisastra HO Sindanggalaih, sekarang di Tasik, menyampaikan maksud tersebut, setelah berdiskusi dengan Bakrie di belakang. Utusan-utusan semuanya sepakat bila Cabang Tasikmalaya menerbitkan surat kabar dan Pengurus Besar Paguyuban Pasundan akan mendukungnya baik dengan uang maupun tenaga, asal saja anggota Pasundan mendapatkannya secara gratis.

Namun, waktu itu utusan dari Tasikmalaya belum memberikan keputusan. Setelah kembali ke Tasikmalaya, Ahmad Atmadja dan kawan-kawan membuat perhitungan ongkos-ongkos yang diperlukan, setelah bertanya kepada percetakan. Niat Pengurus Besar Paguyuban Pasundan yang ingin menggratiskan bagi anggotanya tidak disertai kesanggupan untuk menanggung biayanya, sehingga akhirnya Pengurus Besar menyatakan lebih baik agar surat kabar itu diterbitkan oleh Cabang Tasikmalaya. Dengan demikian, Pengurus Besar tidak membantu keuangannya, demikian pula risikonya diserahkan seluruhnya kepada Cabang Tasikmalaya.

Karena mengingat besarnya antusiasme para utusan dalam konferensi Paguyuban Pasundan, Cabang Tasikamalaya akhirnya bertekad untuk menerbitkannya. Setelah itu, Soetisna Sendjaja, Atmawinata, dan Soeriadiradja (redaktur di Batavia) dimohon untuk menjadi redakturnya.

Ihwal nama surat kabarnya, kata Ahmad Atmadja, “Eta serat kabar keur waktos conferentie di Bandoeng, poerstelna djrg. Bakrie soepados dingaranan ‘Patahoenan’, nanging dibarempagkeun deui di Tasik sanes ‘Patahoenan’, nanging kedah ‘Sipatahoenan’  nja nelah doegi ka ajeuna. Ditjitakna di Drukkerij Soekapoera Tasik” (Surat kabar itu waktu konferensi di Bandung atas usul Bakrie agar diberi nama ‘Patahoenan’, tapi setelah didiskusikan lagi di Tasik bukan ‘Patahoenan’, tetapi harus ‘Sipatahoenan’ hingga dikenal hingga sekarang. Dicetaknya di Drukkerij Soekapoera Tasikmalaya).

Demikianlah, akhirnya pada hari Selasa, 1 Juli 1924, Sipatahoenan mulai diterbitkan. Konon, banyak yang menyokongnya meski uang langganan belum begitu teratur mengirimnya, tapi waktu semua yang terlibat tidak ada yang diberi gaji, cukup dengan uang pengganti perangko dan ongkos cetak. Kata Ahmad, “Dinten Salasa ping 1 Juli 1924, Sipatahoenan ngawitan koematjatjang di alam pawenangan. Nja mokaha ti ditoe ti dieu sami roemodjong, sami ngintoenkeun tawis moepakat. Sanadjan artos langganan henteu sabaraha angger dongkapna, nanging koe margi sadajana sasambian teu aja noe digadjih, asa aja keur meser parangko sareng ongkos njitak, nja parantos ngaraos bingah”.

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #15: A.S. Tanoewiredja
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #16: Nomor-Nomor Khusus
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #17: Diserahkan kepada Pengurus Besar Paguyuban Pasundan

Paviliun rumah Ahmad Atmadja di Jalan Kajaksaan, Tasikmalaya, kantor pertama Sipatahoenan. (Sumber: 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan (1933))
Paviliun rumah Ahmad Atmadja di Jalan Kajaksaan, Tasikmalaya, kantor pertama Sipatahoenan. (Sumber: 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan (1933))

Kantor Pertama Sipatahoenan

Pada tulisan lainnya Ahmad Atmadja (1933) menjelaskan: “Dina conferentie ‘Pasoendan’ di Bandoeng noe djadi voorzitterna Djrg. Kadmirah Karnadidjaja sareng diloeoehan koe para Djrg. S. Prawiraamidjaja, Otto Soebrata, Sastraprawira ti Soekaboemi, Bakrie Soeraatmadja, Imoen ti Soerabaja, sareng oetoesan ti Tasik Kartawisastra sareng sim koering. Dipoetoes harita eta s.k. baris dikaloearkeun koe ‘Pasoendan’ sarta tempatna di Tasikmalaja. Dengan kata lain, Sipatahoenan dilahirkan atas keputusan rapat Paguyuban Pasundan di Bandung, yang antara lain dihadiri oleh Ahmad Atmadja sebagai perwakilan dari Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya. Saat itu diputuskan bahwa Paguyuban Pasundan akan menempatkan surat kabarnya di Tasikmalaya.

 “Tapi dina prakna rek dikaloearkeun koe lantaran harita organisatie Pasoendan keur katjida meunang toenggarana djadi kapaksa koe Hoofdbestuur Pasoendan dipasrahkeun sagala roepana kan Tasik, djadi dina risicona sagala tektek bengekna ditanggoeng koe Tjabang Tasik,” sambung Ahmad Atmadja. Maksudnya, karena Pengurus Besar Paguyuban Pasundan sedang tertimpa masalah, surat kabar itu diserahkan kepada Cabang Tasikmalaya beserta segala risiko dan tetek bengeknya.

Pada praktiknya, yang menjadi redaktur pertama Sipatahoenan, menurut Ahmad Atmadja adalah Soetisna Sendjaja dan Atmawinata yang waktu itu keduanya bekerja di HIS Pasundan Tasikmalaya dan pada 1933 menjadi guru Pasoendanschool di Leles, Garut. Administrasinya dipegang Koesnadi Martakoesoema (“noe djadi redacteur mimiti Djrg. Soetisna Sendjaja sareng Djrg Atmawinata harita djadi goeroe HIS Pasoendan di Tasik, ajeuna djadi goeroe HIS Pasoendan di Leles. Noe djadi administratie harita Djrg. Koesnadi Martakoesoema”).

Pada 1953, Ahmad Atmadja mengungkapkan hal yang sama. Kecuali Soetisna Sendjaja, Atmawinata, dan Koesnadi Martakoesoema, ia juga menyebutkan tentang Roekanta sebagai loper, Soepandi sebagai pelipat koran, dan kontributor Bakrie Soeraatmadja, Wira Sendjaja, Wangsaatmadja, Raden Kartaatmadja Timbang Windu Ciamis, dan lain-lain. Katanya, “Tukang ngiderkeun surat kabar, Roekanta, ajeuna njepeng warung ‘Garoet’ di Tjilimus, Tjirebon, Tukang nilep, Soepandi murid H.I.S. Pasundan, ajeuna padamel Djawatan Koperasi Tjilimus”).

Ahmad Atmadja sendiri katanya “Ari sim kuring mah teu aja kasebutna, malum digawe disakola Pamarentah. Dina kakuranganana karangan, nja ngabantu redaksi, administratur kaboler nagihan, nja ngabantu administrasi. Nu ngabaku mah tukang marios (corrector) ari wengi, lantaran ari siang mah teu aja waktos” (Sementara saya tidak banyak dikerjakan, maklum karena bekerja di sekolah pemerintah. Ketika kekurangan tulisan, saya membantu redaksi. Ketika administratur sibuk menagih para pelanggan, saya membantu administrasi. Yang tetap saya kerjakan adalah mengoreksi naskah saat malam, karena pada siang hari tidak sempat).

Bahkan kantor Sipatahoenan pertama kali bertempat di rumah Ahmad Atmadja. Dalam 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan (1933) ada fotonya dan diberi keterangan “Pavilioen roemah Ahmad Atmadja sebagai kantoor weekblad Sipatahoenan dengan gratis” dan “Djika kita melihat potret ini, kita ingat kepada sepoeloeh tahoen jang telah laloe. Disitoelah kantoor soerat kabar Sipatahoenan sebeloem weekblad”. Alamat rumahnya di Jalan Kajaksaan, Tasikmalaya.

Waktu berkantor di rumahnya, anggota keluarga Ahmad Atmadja turut terlibat mengurus Sipatahoenan. Katanya (1953), “Upami dinten Saptu dongkap Sipatahoenan ti kantor tjitak, teras bae indungna barudak sareng kaponakan-kaponakan nu nudju sakola nilepan surat kabar. Sawengi djeput dugi ka dinten Minggu beres. Senen endjing-endjing dilebetkeun ka kantor pos” (Bila hari Sabtu, Sipatahoenan datang dari percetakan, istri saya dan anak-anak beserta keponakan-keponakan yang masih sekolah melipat-lipat surat kabar. Semalaman hingga hari Minggu baru beres. Senin pagi, Sipatahoenan dimasukkan ke kantor pos).

Pada akhirnya, setelah berpindah kantor beberapa kali, berganti percetakan dan Sipatahoenan-nya sendiri menjadi harian, akhirnya dengan keputusan rapat Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya pada 29 April 1931, maka sejak 9 Mei 1931 surat kabar yang dirintis oleh Ahmad Atmadja bersama mitranya itu diserahkan kepada Pengurus Besar Paguyuban Pasundan. Sipatahoenan terakhir diterbitkan di Tasikmalaya pada 7 November 1931 sebagaimana yang ditulis oleh Ahmad Atmadja dalam “Ngadjoeroeng Lakoe”: “Dinten ieu Sipatahoenan panoetoepan ditjitak sareng dikaloearkeun di Tasikmalaja”.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//