• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #11: Loper Koran

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #11: Loper Koran

Sipatahoenan sudah tiga tahun menjadi harian dan berkantor di Bandung. Jumlah pelanggan dan loper koran pun meningkat.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Tujuh orang loper Sipatahoenan pada tahun 1933. (Sumber: 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan (1933))

23 Februari 2023


BandungBergerak.id - Dalam buku 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan (1933), tersaji foto menarik yang berkaitan dengan loper Sipatahoenan atau “kranten-loopers” dalam bahasa Belanda. Dalam buku itu disajikan tujuh orang yang bekerja sebagai pengantar Sipatahoenan di Bandung, paling tidak, hingga 1933. Fotonya diberi keterangan: “7 orang kranten-loopers kita dalam kota Bandoeng sebeloemnja mendjalankan kewadjibannja masing-masing ada tempo oentoek berdiri didepan camera”.

Latar pemuatan foto itu, sudah barang tentu karena Sipatahoenan sudah tiga tahun menjadi harian, sudah berada di bawah pengawasan langsung Pengurus Besar Paguyuban Pasundan, sudah dipindahkan ke Bandung, sehingga langganannya sudah demikian banyak.

Untuk langganan di dalam Kota Bandung dan sekitarnya, sejak tahun 1930, yaitu sejak mulai menjadi harian dan posisinya masih berada di Tasikmalaya, pengelola Sipatahoenan memberlakukan kebijakan mengantarkan langsung kepada pelanggannya. Alasan yang kerap dikemukakan dalam berita adalah demi mempercepat pengiriman ketimbang melalui pos atau ekspedisi kendaraan bermotor. Oleh karena itu, tidak heran bila hingga tahun 1933, Sipatahoenan sudah punya tujuh orang loper untuk pengiriman di Kota Bandung dan sekitarnya.

Peran loper Sipatahoenan ternyata tidak hanya mengantarkan koran. Mereka ternyata turut terlibat dalam geliat hidup Sipatahoenan. Terbukti di antara mereka ada yang ikut dipanggil dan diminta keterangan oleh polisi, saat Sipatahoenan mendapatkan delik pers. Loper Sipatahoenan pun turut mewarnai korannya dengan misalnya ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri. Di lain pihak, nasib yang dialami para loper juga mendapatkan tempat dalam pemberitaan Sipatahoenan, seperti kecelakaan yang menimpa, atau bahkan kabar kematiannya.

Oleh karena itu, agar gambarannya lebih jelas, saya akan mendedahkan rekam jejak terkait loper Sipatahoenan sebagai hasil penelusuran dari berbagai edisi Sipatahoenan. Paling tidak dari tahun 1930 hingga 1938. Dari himpunan berbagai fakta itu, terlihat perkembangan layanan loper yang disediakan pihak administrasi Sipatahoenan bagi para langganannya.

Soemda, loper Sipatahoenan, memasang ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri tahun 1935. (Sumber: Sipatahoenan, 5 Januari 1935)
Soemda, loper Sipatahoenan, memasang ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri tahun 1935. (Sumber: Sipatahoenan, 5 Januari 1935)

Risiko Loper

Hasil penelusuran menunjukkan bahwa kebijakan Sipatahoenan menggunakan jasa loper, untuk lingkup Kota Bandung, dimulai sejak 1 Oktober 1930. Berita tentang ini mengemuka dalam pengumuman berjudul “Sipatahoenan” (Sipatahoenan, 24 September 1930).

Di situ tertulis, “Ngawitan ping 1 October 1930 sadaja abonne di lebet Kota Bandoeng moal dikintoenkeun per post deui, margi sok kadjantenan dongkapna ka boemi para djoeragan sok elat teuing, djadi ka pajoen mah bade diiderkeun koe looper ti Advertentie & Reclameubureau FORTUNA bae” (Mulai tanggal 1 Oktober 1930, semua langganan di dalam Kota Bandung tidak akan dikirimi via pos lagi, karena kerap tibanya ke rumah para langganan sangat lambat, oleh karena itu ke depannya akan disebarkan oleh loper dari Advertentie & Reclameubureau FORTUNA).

Selanjutnya, pihak administrasi menjelaskan dengan jalan demikian memang akan menambah ongkos, tapi demi memenuhi kepentingan para pembaca di Bandung, langkah tersebut terpaksa dilakukan. Bila para langganan tidak menerima atau masih tetap terlambat menerimanya, bisa menghubungi Fortuna di Andir 278, dengan nomor telepon 2630 (“Koe djalan kieu, kantenan ongkosna sanes saeutik, moeng koe margi satiasa-tiasa hajang njoemponan kana belangen lezers di Bandoeng, bade dipaksakeun bae. Djadi oepami aja noe teu nampi atanapi elat keneh teh, di Kota Bandoeng mah tiasa maroendoet katerangan ka Fortuna di Andir 278. Telefoon 2630”).

Membaca pemberitahuan tersebut, kita tahu mulanya Sipatahoenan menggunakan jasa pihak ketiga sebagai penyedia tenaga lopern. Mereka tinggal membayar penyedianya, yaitu Advertentie & Reclameubureau FORTUNA yang beralamat di Andir. Tapi seterusnya nampaknya Sipatahoenan cenderung memperkerjakan lopernya secara mandiri. Foto dalam buku 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan (1933) bisa dijadikan sebagai buktinya, ditambah keterangan-keterangan lain yang akan akan saya sampaikan.

Dalam “Katjilakaan keneh” (masih kecelakaan) dalam Sipatahoenan edisi 13 April 1933, diberitakan tentang loper Sipatahoenan yang mengalami kecelakaan di muka kantor Sipatahoenan. Peristiwanya terjadi pada 12 April 1933, sore hari, saat loper akan mengantarkan koran ke kantor pos (“Kamari poekoel doea, di hareupeun kantoor Sipatahoenan geus aja kadjadian katjilakaan nja eta looper Sipatahoenan noe rek nganteurkeun soerat kabar ka postkantoor”).

Saat itu loper mengendarai sepeda dan tertabrak mobil yang melaju kencang dari arah barat ke timur. Akibatnya, sang loper terluka di kepala dan kaki, alisnya terputus, sepedanya rusak, dan korannya berantakan (“Anoe katoebroek tatoe dina sirahna djeung dina soekoena, malah halisna mah nepi ka pegat, kareta mesin roeksak, soerat kabar awoet-awoetan”).

Dan risiko loper Sipatahoenan ternyata bukan hanya mengalami kecelakaan lalu-lintas, tetapi juga turut dipanggil oleh polisi sebagai saksi. Ini dialami Mardjoek dan Idi, keduanya barangkali termasuk yang dipotret dalam buku 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan (1933), saat terjadinya delik 5 Januari 1934. Dalam Sipatahoenan edisi 8 Maret 1934 dikatakan, “Ngahidji kana perkara ieu keneh bae, powe ieu pisan, tadi isoek dipanggil djeung dipariksa di Hoofdbureau van Politie tea, Mardjoek krantenlooper Sipatahoenan di djero Kota Bandoeng” (Masih berkaitan dengan perkara ini, hari ini, tadi pagi Mardjoek, loper Sipatahoenan di dalam Kota Bandung, telah dipanggil dan diperiksa di Hoofdbureau van Politie).

Sementara keesokan harinya, giliran loper Idi yang diminta keterangannya, sebagaimana yang tertera dalam “Perkara Persdelict Sipatahoenan” (Sipatahoenan, 9 Maret 1934). Di situ disebutkan, “Ngantet djeung perkara eta keneh, powe ieu pisan dipanggil ka Hoofdbureau van Politie, afdeeling politiek, di Tjitjendo, Bandoeng, Krantenlooper Idi, baris dipenta djeung didenge kateranganana” (berpautan dengan perkara itu, hari ini, loper Idi dipanggil ke Hoofdbureau van Politie, afdeeling politiek, di Cicendo, Bandung, untuk dimintai dan didengarkan keterangannya).

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #8: Delik Pers
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #9: Proses Menjadi Harian
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #10: Propaganda Reis Bakrie

Setelah berkali-kali ganti, sejak September 1938, pengiriman Sipatahoenan ke Cimahi dan Padalarang kembali melalui loper. (Sumber: Sipatahoenan, 17 September 1938)
Setelah berkali-kali ganti, sejak September 1938, pengiriman Sipatahoenan ke Cimahi dan Padalarang kembali melalui loper. (Sumber: Sipatahoenan, 17 September 1938)

Perubahan Cara Pengiriman

Selain Mardjoek dan Idi, ada loper Soemda yang bekerja untuk Sipatahoenan. Kemunculannya tidak berkaitan dengan delik pers, melainkan dalam konteks turut mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri tahun 1935. “Wirehing boboran Siam njanggakeun silatoerachmi sareng njoehoenkeun dihapoenten sadaja kalepatan ka sadajana djoeragan-djoeragan abonne’s Sipatahoenan sareng sanesna (Karena tibanya lebaran Puasa, saya menghaturkan silaturahmi dan mohon dimaafkan atas segala kesalahan kepada para langganan Sipatahoenan dan yang lainnya),” demikian kata Soemda, “Looper Sipatahoenan Bandoeng”, dalam Sipatahoenan edisi 5 Januari 1935.

Selanjutnya, dalam Sipatahoenan edisi 8 April 1935, saya melihat pengumuman pihak administrasi Sipatahoenan terkait pengiriman ke Cicalengka, plus uang langganan, yang tidak akan lagi melalui loper, melainkan menggunakan jasa pos. Pengumuman ini mulai berlaku sejak 8 April 1935 (“Ngawitan ti dinten ieu Sipatahoenan kangge di Tjitjalengka henteu dibagikeun koe looper, namoeng didjalankeun deui koe perantawisan Post, nja kitoe deui artos langganan soepados dikintoenkeun rechtstreeks ka Administratie di Bandoeng”).

Pengumuman itu pun menjadi bukti bahwa Sipatahoenan disebarkan oleh loper ke Bandung dan sekitarnya, sekaligus jadi petanda sebelum 8 April 1935, para langganan di Cicalengka biasanya mendapatkan Sipatahoenan melalui loper. Hal ini juga berlaku bagi langganan di Ciparay dan Majalaya sejak 3 Juni 1935. Dalam Sipatahoenan edisi hari itu, administrasi mengumumkan “Ti ngawitan dinten ieu, koran Sipatahoenan kangge abonne’s di wewengkon anoe kaseboet di loehoer, henteu dibagikeun deui koe looper ti Sipatahoenan, namoeng didjalankeun via post djabi ti eta kanggo waragadna oge soepados dikintoenkeun rechtstreeks ka Administratie ieu serat kabar di Bandoeng bae”.

Di sisi lain, kiriman ke Padalarang, justru terbalik. Sejak 24 April 1936, langganan di Padalarang akan mendapatkan koran melalui loper Sipatahoenan dari Cimahi, termasuk uang langganannya dipungut oleh agen Cimahi (“Kanggo para djoeragan abonnes di Padalarang, noe biasana nampi koran koe perantawisan Post, ti kawit dinten ieu mah soepados rada haneut keneh katampina, bakal nampi koe perantawisan LOOPER SIPATAHOENAN ti Tjimahi, kitoe deui pamajaran abonnemennt bade dipoengoet koe Agentschap anoe kaseboet di loehoer”). Demikian diumumkan pihak administrasi dalam Sipatahoenan edisi 24 April 1936.

Untuk 1937, saya menemukan kematian loper Sipatahoenan yang dikabarkan dalam edisi 31 Mei 1937. Judul beritanya “Looper Sipatahoenan maot” (Loper Sipatahoenan meninggal dunia). Namanya Djoehari atau Oedjoe, loper koran untuk daerah Bandung Selatan. Ia meninggal di daerah Nyengseret, Bandung, Sabtu, 29 Mei 1937, sekitar pukul 04.00, setelah sakit sebentar. Oedjoe dikebumikan pada hari Minggu, 30 Mei 1937, pukul 12.00.

Penggantinya Mardjoek, loper yang sempat dimintai keterangan oleh polisi. Dalam Sipatahoenan dikatakan, “Perloe oge diterangkeun, sakoer abonnes Sipatahoenan anoe biasa narima ti looper Oedjoe, atawa anoe aja berhoeboengan djeung manehna, ti mimiti powe ieu mah didjalankeun koe looper Mardjoek” (Perlu pula dijelaskan, setiap pelanggan Sipatahoenan yang biasa menerima koran dari loper Oedjoe, atau ada perhubungan dengannya, sejak hari ini dijalankan oleh loper Mardjoek).

Satu pengumuman lagi terkait loper Sipatahoenan saya temukan dalam edisi 17 September 1938. Di situ ada dimuat pengumuman “Robahan” (perubahan). Maksudnya pihak administrasi hendak memberi tahu bahwa sejak September 1938, bagi langganan di Cimahi dan Padalarang, Sipatahoenan takkan dikirim lewat otobus melainkan oleh loper, langsung dari kantor Sipatahoenan (“Ti mimiti boelan ieu September 1938, Sipatahoenan pikeun wewengkon Tjimahi djeung Padalarang, henteu dikirimkeun make perantaraan autobus deui tjara sasari. Tapi dibawa koe Looper Sipatahoenan ti kantoor Sip”). Lopernya akan berangkat dari Bandung sebelum pukul 14.00 (“Inditna ti Bandoeng samemeh pk. 2 beurang”).

Alhasil, pengiriman Sipatahoenan ke wilayah Cimahi dan Padalarang sempat beberapa kali berganti. Semula dikirimkan melalui jasa pos, kemudian berubah melalui loper, berganti dengan otobus, dan terakhir kembali dikirim oleh loper, tetapi dikirimnya langsung dari kantor Sipatahoenan, bukan dari agen di Cimahi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//