• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #10: Propaganda Reis Bakrie

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #10: Propaganda Reis Bakrie

Perjalanan Bakrie Soeraatmadja dalam seri tulisan “Oleh-oleh” di Sipatahoenan (1930) mencatat situasi dunia pergerakan, organisasi politik, dan masyarakat kala itu.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Tulisan pertama tentang perjalanan Bakrie Soeraatmadja ke Tatar Sunda dalam rangka mempropagandakan Sipatahoenan. (Sumber: Sipatahoenan, 8 Januari 1930)

17 Februari 2023


BandungBergerak.id – Dalam tulisan sebelumnya, sudah saya sebutkan dalam rangka mempersiapkan Sipatahoenan sebagai harian, pemimpin redaksinya, Bakrie Soeraatmadja mengadakan perjalanan ke Garut, Bandung, Sukabumi, Bogor, Batavia, dan Purwakarta. Perjalanan itu dimulai sejak hari Senin, 23 Desember 1929.

Bakrie sendiri menuliskan secara rinci pengalamannya menyambangi daerah-daerah tersebut secara bersambung dalam Sipatahoenan. Tulisannya diberi tajuk “Oleh-oleh” dan dimuat sejak edisi No. 6, 8 Januari 1930, hingga No. 15, 18 Januari 1930. Ternyata banyak hal yang dapat dipetik dari perjalanan propaganda Bakrie itu. Karena bukan hanya urusan Sipatahoenan, termasuk mencari peluang mendapatkan para pelanggan baru, melainkan hal-hal lainnya seperti dunia pergerakan, organisasi politik, kesejahteraan bumiputra, dan hal-hal lainnya turut pula dibahas Bakrie.

Redaksi Sipatahoenan sendiri menamakan perjalanan Bakrie sebagai “propaganda reis”, sebagaimana yang saya baca dari tulisan “Djrg. Hoofdredcateur Sipatahoenan” (Sipatahoenan, 8 Januari 1930). Di situ dikatakan Bakrie sudah kembali dari perjalanan propaganda dan mulai hari itu masuk kantor lagi di Sipatahoenan (“Djoeragan Bakrie Soeraatmadja, Hoofdredacteur Sip. tina propagand-reisna geus soemping malah ti mimiti poe ieu andjeunna geus didamel deui”).

Bahkan bukan saja baru masuk, melainkan sudah mulai mendedahkan hasil perjalanannya. Karena “Oleh-oleh (I)” pun mulai dimuat pada edisi 8 Januari 1930. Dari awal tulisan tersebut, saya tahu waktu yang dibutuhkan oleh Bakrie Soeraatmadja untuk berkeliling menyosialisasikan Sipatahoenan itu selama 16 hari. Ini mengandung arti perjalanan Bakrie itu berlangsung sejak 23 Desember 1929 hingga 7 Januari 1930, sehari sebelum dia bekerja lagi sebagai pemimpin redaksi Sipatahoenan.

Adapun maksudnya menuliskan catatan perjalanan adalah “Minangka oleh-oleh perloe oge koe koering didadarkeun saeutik-eutikeun, sakoer noe geus kalampahan sarta kapanggih di panjabaan. Kitoe oge, anoe katimbang perloe kanjahoan koe sarerea bae” (Sebagai oleh-oleh agaknya perlu pula saya sedikit banyak menjelaskan setiap hal yang sudah dialami dan ditemui di perjalanan. Demikian pula hal-hal yang dianggap perlu diketahui oleh umum).

Bahkan Bakrie menyampaikan kebetulan yang ia alami kala mulai berangkat dari Tasikmalaya menuju Garut pada subuh 23 Desember 1929. Saat itu ia, dengan tidak disengaja, satu mobil dengan petinggi Partij Sarekat Islam (PSI) sekaligus redaktur Fadjar Asia, Oemar Said Tjokroaminoto. Dengan demikian, sepanjang jalan mereka membicarakan kemajuan dan kemunduran pergerakan di Indonesia, serta nasib surat-surat kabar partai, termasuk Fadjar Asia yang konon mengalami kemunduran.

Di Garut, Bakrie dan Tjokro berpisah. Bakrie menguruskan berbagai keperluan Sipatahoenan, disambung menemui redaktur surat kabar Benteng Rajat, terbitan PSI Cabang Garut. Dengan redaktur itu, antara lain, Bakrie membicarakan tentang bahasa Sunda yang pantas dijadikan sebagai bahasa surat kabar Sunda (“Djeung Redacteur koering ngabadamikeun basa Soenda noe pantes dina soerat kabar basa Soenda”). Bakrie menyambangi HIS atau Madrasah Al-Qur’an milik PSI Garut. Siangnya, ia mengunjungi sekolah Moehammaddijah, yang muridnya lebih banyak dari sekolah PSI. Niatnya, ia akan mengunjungi sekolah dan gedung klub PNI, tapi tidak jadi, karena waktunya terbatas.

Alih-alih demikian, Bakrie datang ke pendopo Garut. Dari Bupati Garut R.T.M.M. Soeria Karta Legawa, Bakrie menangkap gagasan bupati ihwal uang pensiun bagi pamong desa dan upaya mengurangi tata krama kuno, seperti keharusan untuk duduk bersimpuh di ubin kala menghadap bupati (“aja maksad rek njontoan koe djalan ngoerangan saeutik-saeutik tina bab kahormatan koeno. Sanadjan tadina anoe ngadeuheus ka Kaboepaten teh koedoe andiprek dina oebin”). Namun, Bakrie menyesalkan sikap Soeria Karta Legawa yang tidak menyosialisasikan gagasan tersebut, tidak seperti almarhum bupati Probolinggo. Akhirnya, Bakrie, bersama pengurus Paguyuban Pasundan Cabang Garut berangkat ke Bandung, untuk menghadiri kongres Paguyuban Pasundan.

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #9: Proses Menjadi Harian
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #8: Delik Pers
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #7: Karier Jurnalistik Bakrie Soeraatmadja
BIOGRAFI JONATHAN RIGG 1809-1871 #3: Saudagar di Surabaya

Percetakan dan Surat Kabar di Bandung

Pada paragraf pertama “Oleh-oleh (II)” (Sipatahoenan, 9 Januari 1930), saya memperoleh ringkasan kegiatan Bakrie Soeraatmadja selama di Bandung. Intinya, selama tiga hari, karena harus menghadiri Kongres Paguyuban Pasundan, ia tidak punya banyak waktu untuk mengadakan propaganda Sipatahoenan di Bandung. Meski demikian, ia sedikit banyak menyempatkan mengorek informasi penting yang yang perlu diketahuinya, terutama berkaitan dengan perniagaan.

Menurutnya, saat itu segala perniagaan ada dalam suasana mundur. Meski begitu, ia mencatat toko kopiah dan blangkon milik Halim di West Pasar-straat 15, Bandung, termasuk paling besar dalam bisnisnya. Mengenai pentingnya mendukung upaya Himpoenan Soedara. Tentang usaha buku, Bakrie menjumpai Boekhandel M.I. Prawira-winata yang menurutnya “toko boekoe Indonesier noe panggedene di sakoeliah Indonesie, sanadjan modalna henteu sakoemaha, tapi koe sabab anoe ngoeroesna temen djeung wekel, henteu boeroeng djadi pangmadjoena, ngan handjakal pisan persna henteu didjalankeun koe listrik, sangkan bisa leuwih gantjang njoekoepan kaperloeanana” (Toko buku Indonesier paling besar di seantero Indonesia, meski modalnya tidak begitu besar, tapi karena keuletannya, toko tersebut menjadi yang paling maju, tapi sayangnya persnya tidak dijalankan dengan menggunakan listrik, agar bisa lebih cepat menyukupi kebutuhannya).

Mengenai Drukkerij & Boekhandel Pengharepan di Banceuy, kata Bakrie, terbilang maju, meski tempatnya terlalu sempit dan rencananya akan diperluas. Parta, meski tidak berpendidikan tinggi, tapi dengan keuletannya, dia berhasil mempunyai dan mengelola sebuah percetakan besar. Boekhandel Koesradie di Naripanweg, meski tidak besar, tapi banyak dikunjungi oleh orang Belanda dan sempat punya cabang di Tegallegaweg tapi kemudian gulung tikar.

Sementara Drukkerij en Boekhandel Dachlan Bekti, menurut Bakrie, terbilang sudah lama dan pernah terkenal ke mana-mana, karena pemiliknya mau terlibat dalam dunia pergerakan (“Drukkerij en Boekhandel Dachlan Bekti, ieu mah meunang diseboet geus kahot oge tadina geus katjeloek kaawoen-awoen pisan, sabab eigenaarna daek miloe tjampoer kana pergerakan”). Tapi Dachlan Bekti keluar dari dunia pergerakan, sehingga koerang begitu dikenal. Seandainya tidak bermodal besar, niscaya bisnisnya pun tidak akan keruan (“Tapi sanggeusna Djrg. Dachlan Bekti kaloear tina kalang pergerakan, henteu sakoemaha miroseana kana kaperloean pergerakan, koerang pisan ajeuna mah kadjodjona koe djelema. Tjatjakan lamoen modalna koerang kandel mah, geus daerk teuing koemaha”).

Selain perusahaan milik bumiputra, Bakrie menyambangi usaha bangsa Eropa di Bandung, antara lain Electrotechnisch Bureau C.A. Granpre Moliere di Naripanweg dan Bloemenhandel Good Luck di Moskeeweg. Ia pun menyempatkan bertemu dengan redaktur surat kabar Panggeuing, yang konon akan dijadikan mingguan, dikemudikan oleh Wignjadisastra. Dengan syarat, Panggeuing jadi pindah ke surat kabar Kiauw Po. Tapi, katanya, Kiauw Po, tidak akan jadi diterbitkan. Padahal, Bakrie sendiri sempat melihat format dan kolom yang akan digunakan untuk surat kabar Kiauw Po di Drukkerij T.L. Ang di Bragaweg. Selama di Bandung, Bakrie mendapat banyak permintaan yang hendak berlangganan Sipatahoenan.

Tulisan terakhir tentang perjalanan propanda Bakrie ke Tatar Sunda. (Sumber: Sipatahoenan, 18 Januari 1930)
Tulisan terakhir tentang perjalanan propanda Bakrie ke Tatar Sunda. (Sumber: Sipatahoenan, 18 Januari 1930)

Dari Kijai Asnawi hingga Organisasi Politik

Setelah tiga hari di Bandung, Sabtu siang, 28 Desember 1929, Bakrie Soeraatmadja tiba di Cianjur. Selama di sana, ia merasa dikuntit oleh semacam mata-mata, karena terbukti setelah dia berjalan-jalan melalui Clubgebouw PNI, besoknya kantor PNI Cianjur digeledah. Oleh karena itu, dua kali dia datang ke kantor Kewedanaan Cianjur, tetapi wedananya tidak ada.

Hari Seninnya, 30 Desember 1929, Bakrie menonton sidang dewan rakyat Kabupaten Cianjur. Dan ia memandang bahwa perkembangan pergerakan politik di Cianjur terbilang pesat. Buktinya, banyak anggota Paguyuban Pasundan yang menjadi anggota dewan Kabupaten Cianjur dan PNI yang masih baru sudah bisa membuka kursus dan mempunyai club gebouw, di dekat stasiun. Sementara PSI juga masih ada, meski pergerakannya belum lagi terdengar. Di Cianjur pula Kijai Asnawi asal Banten ditahan, sebagai buntut kerusuhan kalangan komunis (“Di Tjiandjoe djadi tempatna Kijai Asnawi ti Banten, noe ajeuna henteu meunang tjitjing di Banten, lantaran ajana kariboetan Communist tea”).

Dua hari dua malam, Bakrie berada di Cianjur dalam kerangka propaganda Sipatahoenan dan banyak yang hendak berlangganan dan menyokong kemajuan surat kabar tersebut. Demikian yang Bakrie tulis dalam “Oleh-oleh (III)” (Sipatahoenan, 10 Januari 1930).

Senin siang, 30 Desember 1929, Bakrie tiba di Sukabumi. Di sini dia mendapati kabar-kabar tentang penggeledahan terhadap setiap orang yang disangka menjadi aktivis PNI. Padahal, PNI belum lama ada di Sukabumi, dan belum memiliki club gebouw-nya. PSI tidak ada, kecuali mungkin di pinggiran kotanya. Sementara Paguyuban Pasundan, meski sama belum lama ada di Sukabumi, tapi sudah memiliki sekolah. Bakrie selanjutnya mencari informasi tentang perusahaan bangsa bumiputra di Sukabumi, terutama perkebunan teh. Di sini pun banyak yang hendak berlangganan Sipatahoenan (“Oleh-oleh [IV]”, Sipatahoenan, 11 Januari 1930).

Hari Selasa, 31 Desember 1929, giliran Bogor yang didatangi oleh Bakrie. Kebetulan saat itu adalah malam tahun baru 1930 dan Bakrie menjumpai banyaknya bangsa bumiputra yang mengamen agar ditanggap oleh orang Belanda dalam keramaian menyambut tahun baru itu. Bahkan ada pula bumiputra yang menuruti tingkah laku Belanda, menanggap tontonan dan sengaja turut menyelenggarakan pesta menyambut tahun baru (“Malah anehna pisan mah, aja oge bangsa Indonesier anoe tjetaan, anoe poepoedjieun gila kabelandaan, dina peutingan harita make nanggap tongtonan di imahna. Lain karijaan tapi ngahadja miloe mestakeun taoen baroe bae”).

Di lapangan pergerakan politik bangsa bumiputra di Bogor, Bakrie mendapatkan kekecewaan. Sebab beberapa waktu lalu, Paguyuban Pasundan Bogor dan Boedi Oetomo di situ terlibat dalam konflik akibat pemilihan anggota dewan kabupaten. Hal aneh lainnya, ia mendapati di sekolah Sunda di sana ternyata pengajaran “menyembah” sangat dibesar-besarkan. Untungnya, di kota ini pun banyak yang meminta menjadi langganan Sipatahoenan (“Oleh-oleh [V]” dalam Sipatahoenan, 13 Januari 1930).

Hari Kamis, 2 Januari 1930, Bakrie tiba di Batavia. Di kota itu ia sempat mengunjungi mantan redaktur Sipatahoenan, Atmawinata, yang menjadi redaktur di Volkslectuur. Esoknya, Bakrie datang ke kantor berita ANETA di Pasar Baru, Weltevreden; ke kantor harian Bintang Timoer yang dikemudikan Parada Harahap; ke kantor Keng Po dan ditemui redakturnya, Saeroen; dan tadinya berencana untuk menyambangi kantor Fadjar Asia serta surat-surat kabar lainnya di Batavia, tetapi karena waktunya terbatas, Bakrie memutuskan untuk meninggalkan ibu kota Hindia Belanda (“Oleh-oleh [VI]”, Sipatahoenan, 14 Januari 1930).

Sayang, saya tidak mendapatkan “Oleh-oleh (VII)”, tapi “Oleh-oleh (VIII)” saya temukan dalam Sipatahoenan edisi 16 Januari 1930. Dalam tulisan itu, Bakrie menceritakan tentang pengalamannya selama di Purwakarta. Ketika tiba, ia sudah mendengar ada anggota Paguyuban Pasundan yang digeledah terkait PNI, padahal di sana tidak ada cabang PNI. Di sisi lain, Paguyuban Pasundan cabang Purwakarta sedang sibuk mempersiapkan organisasi sekolah Pasundan.

Bakrie juga tidak sengaja menginap di rumah kawannya yang sudah berubah haluan politik, karena terjadi hujan angin. Ia kemudian menemui Patih Purwakarta Hassan Soemadipradja yang terkenal sebagai pujangga Sunda dan dulu pernah menjadi pengurus Paguyuban Pasundan cabang Bogor untuk menawari agar berlangganan dan meminta saran bagaimana seharusnya menggunakan bahasa Sunda untuk Sipatahoenan, agar sesuai dengan perasaan pembacanya (“doemah andjeunna katjeloek pisan boedjangga tina basa Soenda, malakmandar bae meunang bongbolongan, koedoe koemaha makena basa Soenda dina Sipatahoenan, sangkan bisa njoemponan kana rasana noe matja”). Sarannya jauh dari harapan, karena Hassan merekomendasikan agar Sipatahoenan “oelah sok heftig teuing”.

Tempat selanjutnya yang dituju Bakrie Soeraatmadja adalah Cirebon (“Oleh-oleh [IX]”, Sipatahoenan, 17 Januari 1930). Ia menginap di Hotel Oranje, milik bumiputra dan konon paling besar di Cirebon yang dimiliki bangsa bumiputra. Pemiliknya adalah orang Priangan Timur. Keesokan harinya ia datang ke kantor dewan kabupaten, untuk melihat bangunan atau ruang khusus untuk bersidang, karena dewan Kabupaten Tasikmalaya masih bersidang di pendopo. Di sisi lain, pergerakan rakyat di Cirebon bisa disebut tidak ada artinya sama sekali. Dulu Sarekat Islam sempat terkenal di Cirebon, tapi kemudian tidak ada kabarnya lagi. Demikian pula Boedi Oetomo dan Paguyuban Pasundan. Sementara PNI hanya sebentar sekali ada di Cirebon. Soceiteit pun di Cirebon tinggal namanya saja. Dengan keadaan begitu, Bakrie hanya sebentar saja di Cirebon.

Dari Cirebon, Bakrie Soeraatmadja ke Kuningan. Di kota tersebut, ia tidak mendapati organisasi politik selain Paguyuban Pasundan, meski dulu sempat ada Sarekat Islam. Garapan utama Pasundan di Kuningan saat itu adalah pengajaran, yang memang tenaganya masih kurang. Untuk mengetahui kesejahteraan di sana, Bakrie menjumpai Wedana Kuningan Barnas. Dari pembesar distrik itu, Bakrie mendapatkan keterangan meski musim kemarau berlangsung lama, tapi keadaan penduduk masih dibilang sejahtera. Obrolan lainnya menyangkut masalah desa dan pengajaran.

Pukul 16.00, Bakrie Soeraatmadja meninggalkan Kuningan dan tiba sekitar pukul 22.00 di Tasikmalaya. Dalam “Oleh-oleh (X: Panoetoep)” (Sipatahoenan, 18 Januari 1930), sekaligus mengkahiri catatan propaganda reis Bakrie dikatakan “Djoemblah djambleh aja di panjabaan teh, moal koerang ti satengah boelan, henteu woedoe bae tjapena mah, toeroeg-toeoroeg njampak rea pisan pigaweeun. Wajahna!” (Total waktu di perjalanan itu tidak kurang dari setengah bulan, sudah barang tentu capai, apalagi [di kantor] sudah banyak sekali pekerjaan menanti. Terima saja!).

Editor: Redaksi

COMMENTS

//