• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #12: Mohamad Koerdie

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #12: Mohamad Koerdie

Nama asli Mohamad Koerdie sebenarnya Sjarif Amin. Ia pernah menjadi redaktur hingga pemimpin redaksi Sipatahoenan.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Sejak 11 Februari 1931, Mohamad Koerdie untuk sementara berhenti menjadi redaktur Sipatahoenan. (Sumber: Sipatahoenan, 11 Februari 1931)

9 Maret 2023


BandungBergerak.id - Sejarah Sipatahoenan antara 1930-1942, tidak akan terlepas dari Mohamad Koerdie (1907-1991). Secara ringkas dapat disebutkan, sejak 1930 ia menjadi vaste medewerker (pembantu tetap), redaktur, wakil pemimpin redaksi, pemimpin redaksi sejak 9 November 1935 hingga Jepang melebur surat kabar terbitan Bandung pada tahun 1942.

Soalnya, bagaimana asal-mula Mohamad Koerdie terlibat dalam pengelolaan Sipatahoenan? Bagaimana latar belakang keluarganya? Bagaimana keterangan rinci kariernya di Sipatahoenan? Untuk menjawab hal tersebut, saya akan mendasarkan diri pada pustaka yang sudah ada, disertai dengan fakta-fakta yang saya temukan dalam Sipatahoenan sendiri.

Pustaka yang membahas rekam jejak karier jurnalistik Koerdie antara lain Saumur Jagong: Pangalaman Kuring Sjarif Amin (1983), Mohamad Koerdie: Karya dan Pengabdiannya (1989) karya Suradi Hp, lema “Muh. Kurdi” (dalam Ensiklopedi Sunda, 2000: 365), “Koerdie, Sasieureun Sabeunyeureun” karya Rahim Asyik (dalam Bangkarak Jurnalistik: Lalakon Hiji Jurnalis, 2017).

Menurut pustaka-pustaka tersebut, Mohamad Koerdie adalah putra ketujuh pasangan Penghulu Cihaurbeuti R. Muhamad Sarkawi dan Nyi Raden Ratnayu. Ia dilahirkan di Ciamis pada 10 September 1907. Saudara-saudaranya adalah Raden Djoewahir, Nyi Raden Siti Ningrum, Raden Anwar, Nyi Raden Siti Soami, Nyi Raden Siti Soedjatmi, Nyi Raden Siti Hadidjah, Raden Hidajat, Raden Muhamad Alkari, Raden Muhamad Amir, dan Raden Haji Muhamad Adang.

Nama aslinya sebenarnya Sjarif Amin, sementara nama Mohamad Koerdie baru digunakan setelah berumur 13 tahun. Asal-usulnya terkait tidak masuknya Sjarif Amin saat mendaftar ke HIS, mula-mula karena belum cukup umur, kemudian karena kelas penuh, dan terlalu tua. Akhirnya ia masuk Tweede Klasse School (TKS) pada usia sembilan tahun. Pada tahun keempat di TKS, ia mendapat kabar mengenai murid yang tidak jadi masuk ke sekolah sore Nederlandsch Indisch Verbond (NIV). Murid tersebut bernama Mohamad Koerdie.

Dengan nama baru itulah, setamat TKS, Sjarif Amin masuk MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Batavia, tempatnya di dekat Gedung Kesenian Pasar Baru Jakarta. Setelah kelas dua, dia dipindahkan ke MULO Bandung. Di sekolah tersebut, direkturnya menyarankan agar Mohamad Koerdie melanjutkan ke sekolah teknik menengah, tapi biayanya terlampau besar. Apalagi pada pertengahan Mei 1929, ayahnya meninggal dunia.

Dengan demikian, sebagai anak laki-laki tertua, ia memikul tanggung jawab besar, sehingga berusaha mencari pekerjaan. Saat itu usianya baru 22 tahun dan diterima kerja di Sipatahoenan. Ia mendapatkan kartu pers Sipatahoenan pada 29 Agustus 1930, dengan dibubuhi tanda tangan Bakrie Soeraatmadja dan Residen Priangan Timur F.C.H. Halkema. Pada 30 September 1930, ia merangkap menjadi wartawan kantor berita NERA (Nieuws-en Reclame Agentschap) di Droessaersweg 10, Weltevreden, Batavia.

Selama Bakrie Soeraatmadja menjalani vonis akibat delik pers, Mohamad Koerdie bertanggungjawab sebagai pemimpin redaksi Sipatahoenan. (Sumber: Sipatahoenan, 8 Maret 1935)
Selama Bakrie Soeraatmadja menjalani vonis akibat delik pers, Mohamad Koerdie bertanggungjawab sebagai pemimpin redaksi Sipatahoenan. (Sumber: Sipatahoenan, 8 Maret 1935)

Sebagai Redaktur

Rekam jejak Mohamad Koerdie dalam keredaksian Sipatahoenan baru terekam sejak No. 249, 3 November 1930, dengan susunan redaksi A.S. Tanoewiredja (pemimpin redaksi), Soetisna Sendjaja (redaktur), Bakrie Soeraatmadja (redaktur di Bandung), dan Mohamad Koerdie sebagai “Vaste Medewerker”. Sementara pada No. 248, 1 November 1930, nama Koerdie belum tercantum dalam susunan dewan redaksi.

Sejak 3 Januari 1931, Koerdie bersama Soetisna tercatat sebagai redaktur Sipatahoenan, sementara pemimpin redaksinya masih A.S. Tanoewiredja. Hingga 7 Februari 1931, nama Koerdie masih tercatat sebagai redaktur, tapi sejak 9 Februari 1931, namanya sudah tercantum. Ini menyusul pengunduran dirinya sebagaimana yang tertuang dalam tulisan “Pileuleujan” (selamat berpisah) dalam Sipatahoenan edisi 11 Februari 1931.

Penyebabnya tidak ia jelaskan. Katanya cukup hanya memberitahukan belaka bahwa dia sejak hari itu bukan lagi redaktur Sipatahoenan (“Naon noe djanten margi, margina, koe djisim koering henteu kedah pandjang ditjarios sanaos didadarkeun oge moal aja paedahna, da noe dimaksad teh sakadar hatoer oeninga ka sadajana, ngawitan ti dinten ieu djisim koering henteu ngiring ngamoedi Sipatahoenan deui”).

Sebagai tanggapan atas pengunduran tersebut, pemimpin redaksi Sipatahoenan menyatakan “Lirenna djrg. Moh. Koerdie tina redacteuren njoemponan kana perdjangjian asal, nja eta ka andjeunna dihatoeranan kalonggaran pikeun milari positieverbetering di kalangan journalistiek dagblag sanes” (berhentinya tuan Moh. Koerdie dari redaksi karena memenuhi perjanjian asal, yaitu kepadanya diberikan kelonggaran untuk mencari posisi yang lebih baik pada surat kabar harian lainnya).

Sebab menurut pemimpin redaksi, bila dilihat bakatnya, Koerdie nampak akan maju dalam bidang jurnalistik (“Ningal kana aanlegna, andjeunna aja harepan kana pimadjengeun padamelanana di Sipatahoenan”).

Sejak edisi 6 Juni 1931, Koerdie kembali menjadi redaktur Sipatahoenan. Kali itu menjadi redaktur di Bandung. Ia memperkenalkan lagi dirinya dalam tulisan bertajuk “Nepangkeun” (memperkenalkan). Pada paragraf kedua, ia menyatakan “Ngawitan ping 1 Juni 1931, koe H.B. Pasoendan djisim koering parantos dibenoem kana Redacteur kanggo saheulaanan ditempatkeun di Bandoeng” (Mulai tanggal 1 Juni 1931, oleh pengurus besar Paguyuban Pasundan, saya sudah diangkat menjadi redaktur sementara dan ditempatkan di Bandung). Perkenalannya diberi titimangsa “Bandoeng, 5 Juni 1931”.

Sejak 9 November 1935, nama Mohamad Koerdie mulai tercantum sebagai pemimpin redaksi Sipatahoenan. (Sumber: Sipatahoenan, 9 November 1935)
Sejak 9 November 1935, nama Mohamad Koerdie mulai tercantum sebagai pemimpin redaksi Sipatahoenan. (Sumber: Sipatahoenan, 9 November 1935)

Dari Wakil ke Pemimpin Redaksi

Tiga tahun lebih kemudian, Mohamad Koerdie diangkat menjadi wakil pemimpin redaksi (Plaatsvervangend [Plv.] hoofdredacteur). Ini mulai berlaku sejak No. 250, 2 November 1934. Sebelumnya pada No. 249, 1 November 1934, yang tertulis sebagai pengelola surat kabar tersebut adalah Directeur Oto Iskandar di Nata dan Hoofdredacteur Bakrie Soeraatmadja.

Saat Bakrie terbelit kasus delik pers 5 Januari 1934, posisi pemimpin redaksi dijabat sementara oleh Mohamad Koerdie. Ini sesuai dengan pengumuman Oto Iskandar di Nata dalam Sipatahoenan edisi 8 Maret 1935. Di situ, Oto mengumumkan situasi yang dialami Bakrie, yaitu sedang menjalankan vonis pengadilan (“Sakoemaha anoe geus didjentrekeun dina ieu soerat kabar, hoofdredacteur Sipatahoenan, djoeragan BAKRIE-SOERAATMADJA teh ajeuna keur ngadjalankeun vonnis Raad van Justitie anoe ditibankeun ka andjeunna”).

Selama itu posisi pemimpin redaksi dijabat oleh wakil pemimpin redaksi Mohamad Koerdie (“Sapandajang andjeunna ngadajalankeun eta poetoesan beleid Hoofredactie Sipatahoenan, nja kitoe deui tanggelan kana eusina, ditjepeng koe Plv. Hoofdredacteur MOHAMAD KOERDIE”). Dengan demikian, sebelum ada pengumuman lagi, Koerdie yang bertanggungjawab terhadap isi Sipatahoenan (“Nepi ka diajakeun deui wawaran, tetep djoeragan MOHAMAD KOERDIE verantwoordelijk kana eusina Sipatahoenan”).

Setelah Bakrie keluar bui, ia sempat menjadi pemimpin redaksi sejak 3 Juni hingga 29 Agustus 1935 dan wakilnya masih tetap dijabat oleh Koerdie. Tetapi pada 30 Agustus 1935, Bakrie mengundurkan diri dari jabatannya sesuai dengan pengumuman yang dibuatnya dengan tajuk “Kapaksa Segah”.

Dengan pengunduran diri Bakrie, Sipatahoenan edisi No. 199, 2 September 1935 hingga No. 257, 8 November 1935, tidak mencantumkan daftar nama direksi, administrasi, dan redaksinya. Sipatahoenan baru memasang lagi posisi pemimpin redaksi sejak No. 258, 9 November 1935. Saat itu yang tertulis sebagai Hoofdredacteur Sipatahoenan adalah Mohamad Koerdie. Dengan demikian, Koerdie mulai menjabat sebagai pemimpin redaksi Sipatahoenan sejak 9 November 1935.

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #9: Proses Menjadi Harian
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #10: Propaganda Reis Bakrie
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #11: Loper Koran

Zaman Pendudukan Jepang

Mohamad Koerdie menjadi pemimpin redaksi Sipatahoenan hingga Jepang mulai menduduki tanah air. Sebagaimana yang tertulis dalam Saumur Jagong: Pangalaman Kuring Sjarif Amin (1983: 31), katanya, “Kemis 12 Maret 1942 Kuring mimiti kontak jeung Jepang, dipanggil keur mingpin redaksi Sipatahoenan. Iahar disebut Hoofdredacteur, harita mah” (Kamis, 12 Maret 1942, saya mulai ada kontak dengan Jepang dan dipanggil untuk memimpin redaksi Sipatahoenan, sebagai pemimpin redaksinya).

Dengan pemanggilan itu, ia mendapatkan surat keterangan dari pihak Jepang, dengan bunyi: “Mohamad Koerdie dari Sipatahoenan” dan isinya “Orang ini adalah wartawan yang diresmikan oleh Barisan Propaganda Tentara Jepang. Karena itu kalau dia mau bepergian mendapat kebebasan, baik siang maupun malam” (Saumur Jagong, 1983: 32).

Ia dipanggil lagi Pembesar Pemerintah Balatentara Nippon Bahagian Djawa Barat Kolonel Kumajiro Matsui pada 3 April 1942 ke Wilhelmina-boulevard No. 9. Demikian pula pengumuman Matsui tanggal 17 April 1942, setiap hari Senin dan Jum’at, pemimpin redaksi Sipatahoenan (Mohamad Koerdie), Sinar Pasoendan (Imbi Djajakoesoema), Kaoem Moeda (R.M. Bahoem), Priangan (I. Wangsawidjaja), Nicork Express (R. Bratanata), dan Sepakat (A. Hamid), diharuskan bersidang di kantor Pembesar Pemerintah ISAMU Balatentara Nippon, di Wilhelmina-boulevard No. 9 (Saumur Jagong, 1983: 42).

Di sisi lain, Balatentara Jepang menerbitkan Undang-Undang No. 16 tanggal 25 Mei 192 tentang pengawasan badan-badan pengumuman dan penerangan dan penilikan pengumuman dan penerangan. Dengan undang-undang tersebut, di Bandung terjadi peleburan surat kabar menjadi hanya satu, yaitu Tjahaja. Surat kabar ini mulai diterbitkan pada 8 Juni 1942.

Dalam situasi tersebut, Mohamad Koerdie mula-mula tidak bergabung sebagai awak redaksi Tjahaja. Ia lebih memilih kembali ke Ciamis, menjadi petani serta pengusaha minyak tanah. Klarifikasi mengenai mengapa ia tidak turut mengelola Tjahaja didedahkannya dalam tulisan yang dimuat dalam Tjahaja edisi 13 Rokugatsu 2602 (13 Juni 1942). Sebabnya berkembang kabar burung ia terlibat masalah dengan Oto Iskandar di Nata (“Anu sok disebut ‘sas-sus’, mun ayeuna mah, pedah kuring teu milu muncul dina eta koran. Magar pangna kuring teu milu teh, aya naon-naon jeung Pa Oto”, Saumur Jagong, 1983: 38).

Tapi sejak 16 April 1943, S. Watanabe memerintahkan kepada Saeroen, H. Shimizu meminta bantuan Oto Iskandar di Nata, kemudian Takahuchi dan Rivai Marlaut serta Somantri mencari-cari Koerdie antara Bandung-Ciamis. Oleh Watanabe, Koerdie diminta menulis artikel secara rutin mengenai apa pun, seperti saat aktif di Sipatahoenan, yang isinya kritik atas berbagai keadaan (“Cenah tuan Watanabe menta supaya kuring nyieun artikel, naon bae jejerna mah. Pokna cara kabiasaan kuring keur aktip mingpin Sipatahoenan, ngiritik saniskara kaayaan”, Saumur Jagong, 1983: 57). Maksudnya sebagai masukan bagi pihak Jepang, bukan untuk dimuatkan dalam surat kabar.

Setelah berjalan beberapa bulan, dengan surat-surat titimangsa 7 dan 16 Juni 1943, Mohamad Koerdie diminta menemui Oto Iskandar di Nata di kantor Tjahaja di Bandung. Akhirnya setelah bertemu dengan Oto, Koerdie turut membantu Tjahaja hingga Jepang menyerah kepada Sekutu. Oleh Jepang, Tjahaja dihentikan pada 3 September 1945, tetapi kemudian dilanjutkan oleh pegawai Indonesia, antara lain oleh Koerdie, dengan menggunakan nama yang sama hingga 10 September 1945. Setelah itu, Tjahaja berganti nama menjadi Soeara Merdeka, yang diterbitkan sejak 15 September 1945.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//