BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #6: Pendorong Perkembangan Industri Tenun Majalaya
Raden Ayu Sangkaningrat menyelenggarakan kursus karya seni dan kerajinan bagi perempuan bumiputra di Pendopo Kabupaten Bandung. Pembuka jalan tenun Majalaya.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
16 Mei 2023
BandungBergerak.id – Dari wawancara selama di Belanda, saya mendapat fakta bahwa Raden Ayu Sangkaningrat menyelenggarakan kursus karya seni dan kerajinan di Pendopo Kabupaten Bandung (Het Vaderland, 10 Maret 1928; Rotterdamsch Nieuwsblad, 12 Maret 1928). Bila dikaitkan dengan upaya Sangkaningrat mendirikan sekolah asrama untuk perempuan bumiputra sejak 1925, bisa jadi, kursus seni dan kerajinan tersebut merupakan bagian dari upaya yang dilakukannya dalam rangka memberdayakan perempuan bumiputra.
Wujud nyata dari kursus seni dan kerajinan di Pendopo Kabupaten Bandung itu dialami empat gadis bumiputra asal Majalaya yang menjadi pelopor perkembangan industri tenun di sana, yaitu Emas Siti Maryam atau Nyi Mas Mariyam (Emas atau Iyam), Suhaenda (Edah), Rohayah (Oya), dan Leih (Cicih). Peristiwa dan penjelasan mengenai kursus yang diambil oleh keempatnya dapat kita ketahui dari berita-berita lama dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan perkembangan industri tenun di Majalaya.
Bukti paling lama ihwal penyelenggaraan kursus seni dan kerajinan di Pendopo Kabupaten Bandung antara lain pada “huisvlijt-tentoonstelling” atau pameran industri rumah tangga dalam Jaarbeurs tahun 1929. Dalam Bataviaasch Nieuwsblad edisi 5 Juli 1929 dikatakan di belakang ruang pameran, ada koleksi bantal, kain, tirai, babut, dan tenunan lain yang disajikan Raden Ayu Bandung, Sangkaningrat. Semua karya tersebut ditenun dan dibuat oleh para perempuan dan gadis Sunda, yang bekerja di bawah pengawasan raden ayu.
Di situ juga tersaji mesin tenun, tempat para perempuan menunjukkan cara menenun dengan tangannya. Ada pula koleksi barang anyaman yang dibuat di bawah arahan Raden Ayu Sangkaningrat. Termasuk topi yang terbuat dari bambu dan irateun, yang fleksibel dan halus, dan sudah diekspor dalam jumlah yang banyak. Pada bidang ini, industri rumahan itu sudah berubah menjadi industri, karena pada bulan Juni 1928, produksinya sudah mencapai 700 buah per minggu. Sejak Februari 1929, di Majalaya dihasilkan 3000 buah topi per minggu dan dibikin sebagai barang ekspor ke Eropa.
Bila membaca warta tersebut, dugaan bahwa kursus karya seni dan kerajinan di Pendopo Kabupaten Bandung yang diselenggarakan oleh Sangkaningrat sudah berlangsung sejak 1925 memang menjadi kian kuat. Selain itu, Majalaya, selain dikenal sebagai penghasil tenunan, ternyata juga terdapat industri kerajinan berupa anyaman topi.
Baca Juga: BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #5: Ikut Tugas Belajar ke Belanda
BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #4: Pameran Kesehatan, Buku Adat Sunda dan Baby Show
BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #3: Meisjes-internaat Soemoer Bandoeng
Tenun di Majalaya
Konon, Abdulgani yang tinggal di Majalaya, dalam tulisan “Een Inheemsche Weefindustrie” (De Koerier, 14 Agustus 1933), berencana untuk menggunakan mesin tenun samping poleng pada tahun 1929. Untuk keperluan tersebut, ia mengirimkan anak perempuannya ke Kabupaten Bandung, tempat Raden Ayu Bandung mengajarkan menenun. Karena para siswanya di tempat kursus tersebut hanya berlangsung beberapa jam dalam seminggu, dia kemudian mengirimkan anaknya ke Textielinrichting Bandoeng di bawah Departement van Landbouw en Nijverheid di Cibeunying. Anaknya kemudian dapat menguasai kemampuan untuk mengoperasikan mesin tenun dan Abdulgani membeli mesin tenun lima buah dengan harga per mesin sebesar f. 65.
Demikianlah asal-usul perkembangan industri tenun di Majalaya berdasarkan keterangan para perintisnya. Sementara dari pustaka lainnya, De Ontwikkeling van de Kleine Handweefnijverheid in het Madjalaja-Rayon (1938) dikatakan pada tahun 1928, atas inisiatif bupati Bandung, kursus kerumahtanggaan dibuka di kabupaten, pengajarannya dua kali seminggu oleh pegawai Textielinrichting dalam bidang menenun. Kursus tersebut diikuti oleh beberapa siswa perempuan dari Majalaya, yang berminat untuk menenun. Siswa-siswa tersebut kemudian melanjutkan kursusnya ke Textielinrichting.
De Locomotief (20 Januari 1939), Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie dan Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi 23 Januari 1939, yang memuat ulang keterangan dari surat kabar Kebangoenan, menyatakan tentang perkembangan Textielbedrijf in Madjalaja atau urusan tekstil di Majalaya. Di situ dijelaskan bahwa berkat intervensi Raden Ayu Sangkaningrat di Bandung, beberapa gadis dari Majalaya diberikan kesempatan untuk mempelajari mesin tenun modern, yang diselenggarakan di kabupaten. Mereka juga jadi mengetahui metode kerja modern di Textielinrichting, saat melengkapi peralatan mesin tenun modern. Selain para gadis, beberapa pemuda juga belajar menggunakan mesin tenun modern.
Memang pertenunan bukan hal baru bagi orang Majalaya. Menurut hasil penelusuran Resmi Setia M. S. (Gali Tutup Lubang itu Biasa: Strategi Buruh Menanggulangi Persoalan dari Waktu ke Waktu, 2005: 25), sejak tahun 1910an, penduduk Majalaya telah mengenal kentreung dan gedogan yaitu alat tenun tradisional. Bahan bakunya kapas dan bahan pewarna alami seperti nila, lumpur, dan malaka yang terdapat di sekitar kebun dan halaman rumah mereka. Hasil produksinya digunakan untuk mencukupi kebutuhan di sekitarnya.
Lebih jauh, Resmi (2005: 25-26) mengatakan keadaan tersebut berubah seiring dengan didirikannya institut tekstil yang diinisiasi oleh Departemen Pertanian, Perdagangan, dan Perindustrian Skala Kecil sejak tahun 1920. Pada tahun 1921, didirikan Textielinrichting yang melakukan berbagai kajian seperti peralatan tenun, pencelupan, finishing, desain pla, dan manajemen bisnisnya. Pada tahun 1926, Textielinrichting berhasil mengembangkan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), yang merupakan modifikasi gedogan dan gabungan teknik tenun Belanda kuno dengan alat tenun Inggris yang dikembangkan di India. ATBM diperkenalkan pertama kali dalam pameran kerajinan di Majalaya pada tahun 1927.
Berdirinya Pabrik-pabrik
Demikianlah, menurut Atang Ruswita (“Pelopor Tenun Majalaya”, HU. Pikiran Rakyat, edisi 4 Agutus 1975), “Pada bulan September 1928, adalah empat gadis yang pulang ke kampung halamannya di Majalaya setelah mengikuti kursus menenun di Kota Bandung. Kursus diselenggarakan Ny. Wiranatakusumah, isteri Bupati Bandung kala itu, di sebuah bangunan yang sekarang dikenal sebagai asrama Puteri Parki/Pasundan yang memang bergandengan dengan pendopo kabupaten.”
Atang menuturkan bahwa Iyam, Edah, Oya, dan Leih belajar pada Raden Ayu Sangkaningrat selama satu bulan. Di sana mereka tidak hanya belajar menenun, melainkan juga belajar memasak dan menjahit. Sebelumnya, keempat gadis tersebut sudah bisa mengoperasikan alat tenun tradisional kentreung. “Sedangkan kursus menenun yang diajarkan Ny. Wiratakusumah menggunakan alat yang lebih modern di masa itu, yakni ATBM. Sayangnya, saat itu hanya terdapat satu alat tenun, yang harus digunakan secara bergantian oleh peserta kursus yang sangat banyak”, demikian dikatakan Atang. Selanjutnya, keempatnya dianjurkan untuk melanjutkan kursus menenun ke Textielinrichting.
Sejalan dengan pernyataan Atang, Resmi Setia M. S. (2005: 26-27) menyebutkan pada tahun 1928, empat gadis remaja, tiga di antaranya berasal dari keluarga juragan tanah atau pedagang tekstil, dikirim ke Bandung untuk belajar menenun. Mereka belajar menenun dengan menggunakan ATBM dalam kursus yang diselenggarakan oleh Raden Ayu Sangkaningrat. Tetapi karena ATBM yang ada dalam kursus raden ayu itu hanya satu, mereka kemudian belajar di Textielinrichting.
Dari empat gadis yang belajar menenun itu, Leih atau Cicih yang tidak membuka pabrik tenun, bahkan dikabarkan meninggal pada usia muda. Sepulang kursus keempat gadis diberi masing-masing satu tustel atau ATBM oleh orang tua masing-masing. Alat tenun milik Emas dan Edah kemudian ditempatkan di rumah milik Argadinata, karena berlantai tembok. Karena Leih meninggal, tiga sekawan, Iyam, Edah, dan Enda melanjutkan kemampuan menenun mereka sebagai mata pencaharian, sehingga bisa menyelesaikan sehelai sarung dalam sehari kerja. Kemampuan mereka mampu memikat masyarakat, sehingga banyak ditonton saat menenun.
Sementara pemuda Majalaya yang tertarik menekuni tenun ATBM adalah Ondjo, anak Argadinata. Dia kemudian mengikuti kursus menenun di Textielinrichting selama tiga bulan, meskipun tidak disetujui orang tuanya, karena menurut anggapan mereka menenun adalah pekerjaan untuk perempuan. Setelah kursus, ia membeli ATBM dan bergabung dengan Emas, Edah, dan Oya. Bahkan pada 1929, Ondjo menikahi Emas.
Setelah para peserta kursus tersebut menikah, perkembangan industri tenun di Majalaya kian meningkat. Emas yang menikah dengan Ondjo Argadinata melahirkan Pabrik Pusaka. Enda yang menikah dengan Rudjai melahirkan Pabrik Roswida. Oya yang menikah dengan dengan Entang Jamaga melahirkan Pabrik Lugina. Selain itu, berdiri pula Pabrik Saoedara Oesaha (SO) milik H. Abdulgani, ayah Oya (Resmi Setia M. S., 2005: 27-28).
Bila dikaitkan dengan riwayat Raden Ayu Sangkaningrat sebelumnya, keempat gadis dari Majalaya memang belajar langsung di bawah pengawasannya, mengingat ia sudah tiba di Batavia pada 30 Maret 1928 dari perjalanannya ke Eropa sejak 7 September 1927. Keempat gadis itu belajar bersama dengan Sangkaningrat selama sebulan pada Juli atau Agustus 1928 atau empat-lima bulan setelah ia kembali dari Belanda. Sementara tempat kursusnya yang disebutkan Atang Ruswita sebagai “asrama Puteri Parki/Pasundan” bisa jadi sekarang menjadi SMA Pasundan 1 Bandung, Jalan Balonggede No. 28, Kota Bandung.