• Kolom
  • RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #20: Kiprah Tiga Serangkai setelah NIP Dibubarkan

RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #20: Kiprah Tiga Serangkai setelah NIP Dibubarkan

Tjipto Mangoenkoesoemo berkiprah sebagai dokter di Bandung, Suwardi Suryaningrat mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta, dan Douwes Dekker merintis sekolah di Bandung.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Suwardi Suryaningrat, Ketua Sarekat Islam Bandung (duduk paling kanan), berfoto bersama Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan para anggota Indische Partij pada tahun 1913. (Sumber foto: Dokumentasi Leiden University Libraries Digital Collections)

22 Mei 2023


BandungBergerak.id – Setelah Nationaal Indische Partij resmi dibubarkan pada bulan April 1923, Tjipto Mangoenkoesoemo, Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker mengambil jalan masing-masing dalam tempat yang berbeda. Tjipto, misalnya, sejak tahun 1920 sudah berada di Bandung. Keberadaannya di Kota Kembang lantaran pemerintah kolonial memisahkan Tjipto dari kawasan berbahasa Jawa, perkebunan gula dan tembakau, serta Kasuhunan yang dianggap sebagai musuhnya. Pemisahan ini tentu saja sebagai hukuman bagi Tjipto. Dalam arti, ia dibuang ke Bandung. Setibanya di Bandung, ia tinggal di kawasan Tegallega. Di situ ia menetap dalam sebuah rumah sederhana yang memiliki paviliun. Bahkan di rumah itu Tjipto membuka praktik dokter dengan dipasang plang yang bertuliskan “Tjipto: Dokter Partikelir” (Balfas, 1957:96-97).

Saat hidup di Bandung Tjipto tidak sendirian.  Ia tinggal bersama istri dan tiga anak angkatnya, Pesjati, Louis dan Donald. Selain di Tegallega ia juga mempunyai dua rumah dan tanah perkebunan. Masing-masing di kawasan Ujungberung dan Cibadak (Balfas, 1957:98). Jika memiliki banyak waktu luang, ia menyempatkan diri untuk berkebun di Ujungberung, atau memeriksa tanah perkebunan yang berada di Cibadak.

Meski berkiprah sebagai dokter di Bandung Tjipto tidak bisa terlepas dengan dunia pergerakan. Rumahnya, yang terletak hampir di titik pusat kota, sering dikunjungi orang-orang dari bermacam organisasi massa termasuk dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Rumah sederhana itu dijadikan markas besar bagi kalangan pergerakan di Bandung (Balfas, 1957:102) sampai ia diasingkan ke Pulau Banda.

Pada April 1923, terbit surat kabar Sapoedjagat. Media berbahasa Melayu ini dipimpin oleh K. B. Mandjono dengan didampingi oleh A. Adiwikarta, R. Soemardjadi dan Birdjo Nitihardjo sebagai redaktur, MS Sastro sebagai direktur dan Soekio Boediwiratmo sebagai administrator. Posisi Tjipto tentu tidak dapat dilupakan. Dalam media ini ia menjabat sebagai penasihat, sekaligus menempatkan rumahnya sebagai kantor redaksi. Koran yang terbit setiap hari Jumat ini menampilkan berbagai peristiwa sosial dan politik di Bandung, bahkan juga masalah-masalah yang terjadi di kawasan Hindia Belanda. Oleh ketujuh orang itu, Sapoedjagat mengklaim sebagai bagian dari Orgaan Revolutie Hindia, sebagaimana ditunjukkan pada nomor yang terbit pertama kali (Sapoedjagat, 20 April 1923).

Pada 4 Juli 1927, Tjipto turut memprakarsai terbentuknya Partai Nasional Indonesia (PNI) di rumah Sukarno yang terletak di Regentweg 22 (kini Jalan Dewi Sartika). Beberapa hari setelah dibentuknya PNI, Tjipto didatangi seorang tentara asal Minahasa berpangkat kopral. Rencana kedatangannya itu, konon, untuk menceritakan niat sang kopral bahwa ia bersama kawan-kawannya akan melakukan pemberontakan berupa peledakan gedung piroteknik yang berisi persediaan mesiu. Namun sebelum upaya buruk itu dilakukan, sang kopral tampak memerlukan uang sebesar f 10 untuk ongkos menemui keluarganya di Jatinegara (Balfas, 1957:103).

Tjipto pun merasa empati. Ia kemudian memberi kopral itu uang untuk pergi menemui keluarganya. Bukannya mendapatkan kebaikan, kedermawanan Tjipto malah mengantarkan dirinya menghadap ke pengadilan. Tjipto dituduh memasok dana pemberontakan merah sebesar f 10. Hal ini terjadi setelah upaya untuk menghancurkan gedung piroteknik oleh sang kopral dkk. gagal dilakukan. Maka, dari peristiwa tersebut, berdasarkan keputusan Gubernemen tanggal 16 Desember 1927, Tjipto harus kembali memperoleh hukuman pengasingan. Kali ini ia mesti menetap jauh ke seberang Pulau Jawa di sebelah timur Pulau Sulawesi, yakni ke sebuah daerah bernama Bandaneira (Balfas, 1957:103).

Baca Juga: RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #17: De Expres Pindah ke Semarang
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #18: Markas Nationaal Indische Partij Pindah ke Bandung
RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #19: Nationaal Indische Partij Dibubarkan

Suwardi dan Douwes Dekker dalam dunia Pendidikan

Sejak tahun 1922, Suwardi Suryaningrat sudah berada di Yogyakarta. Selain masih aktif dalam dunia pergerakan, di sana juga Suwardi memfokuskan diri pada ranah pendidikan. Pada tahun 1922 terjadi banyak pemogokan di Yogyakarta. Melihat kondisi ini dibentuklah suatu komite yang dinamakan Pengatoer Penghidoepan Merdeka. Komite ini bertujuan untuk membebaskan rakyat Hindia Belanda dari perbudakan. Dengan diketuai oleh Suryopranoto, Suwardi juga mengambil peran sebagai sekretaris dengan didampingi oleh pengurus lain seperti Haji Fachroedin dan Haji Agus Salim (De Avondpost, 23 Maret 1922).

Tidak lama setelah berdirinya, Komite Pengatoeran Penghidoepan Merdeka membuka pelatihan industri rumahan yang diperuntukkan bagi istri-istri yang suaminya terlibat pemogokan. Pelatihan ini dikhususkan pada cara membuat batik. Selain itu ada juga pelatihan lain di bidang pendidikan yang pesertanya terdiri dari calon guru-guru rakyat (De Avondpost, 23 Maret 1922).

Dengan adanya kegiatan tersebut, pemerintah kolonial mulai menyelidiki bahwa Komite yang dipimpin oleh Suryopranoto itu mengadakan kegiatan yang patut dicurigai. Pemerintah kolonial lalu mengutus beberapa tokoh termasuk B. Schrieke untuk mengamati pergerakan Komite itu dari dekat. Sampai akhirnya penyelidikan itu tidak mendapat bukti bahwa Komite Peratoeran Penghidoepan Merdeka melakukan kegiatan yang bersinggungan dengan pemerintah (Soeratman, 1986: 71).

Pada dasarnya Suwardi mempunyai prinsip bahwa untuk mencapai kemerdekaan bangsa dan Tanah Air tidak saja dapat ditempuh melalui jalan politik. Dengan demikian, ia mencoba untuk mengambil jalur pendidikan sebagai usaha untuk memerdekaan bangsa Indonesia (Soeratman, 1986:71).

Mula-mula ia bertugas sebagai guru di sekolah Adi Dharma milik kakaknya, Suryopranoto. Selama satu tahun mengajar di situ, Suwardi mempunyai cukup pengalaman dalam dunia pendidikan dan pengajaran. Dirasa masih ingin mengasah gagasannya dalam sebuah perkumpulan Suwardi lalu bergabung dengan Paguyuban Selasa Kliwon di Yogyakarta. Perkumpulan ini kerap membahas ihwal yang berkaitan dengan upaya-upaya untuk menaikkan derajat bangsa Indonesia. Salah satu pertemuan yang digelar dalam perkumpulan itu membicarakan tentang demokrasi yang tidak asing dalam dunia pergerakan kala itu (Soeratman, 1986:71-72).

Pada 3 Juli 1922, Suwardi mendirikan sekolah Taman Siswa dengan nama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa. Sekolah ini tentu saja merupakan hasil perenungan dan pengasahan Suwardi selama ia mengajar dan mengikuti dunia pergerakan. Taman Siswa berkembang sampai ke berbagai daerah. Pada Oktober 1923 diadakanlah konferensi pertama yang menghasilkan satu kepengurusan (Hoofdzetel) dengan berpusat di Yogyakarta (Soeratman, 1986:90-91). Hal ini mengindikasikan bahwa di tahun-tahun itu Suwardi sedang mengembangkan fondasi pendidikan yang dirintisnya. Upaya ini tiada lain agar masyarakat Bumiputra dapat merasakan pendidikan yang layak sebagai langkah untuk mencapai kemerdekaan.

Sementara itu, nasib yang sama berlaku pada Douwes Dekker. Beberapa bulan sebelum dibubarkannya NIP, Douwes Dekker masih memberikan pidato dan mengikuti berbagai pertemuan resmi. Seperti pada kongres NIP di Semarang yang berlangsung bulan Desember 1922. Pada pertemuan itu Douwes Dekker mengomentari pandangan Suwardi terkait pendidikan. Menurutnya fokus Suwardi terhadap pendidikan harus juga diperkuat dengan kemampuan ekonomi nasional seiring dengan pidato yang disampaikan Suwardi pada saat kongres tersebut berjalan yang mengangkat masalah pendidikan (De Indische Courant, 28 Desember 1922).

Pembicaraan mengenai pendidikan antara Suwardi dan Douwes Dekker dalam kongres itu tampaknya bukan sekadar satu hal yang dibahas dalam pertemuan NIP, namun seolah menjadi objek penting yang telah dipertemukan bagi mereka berdua untuk menempuh jalur pergerakan selanjutnya. Hampir sama dengan Suwardi, pasca NIP dibubarkan, Douwes Dekker lalu berkiprah dalam dunia pendidikan. Bedanya, Suwardi mempunyai konsep yang cukup matang soal pendidikan yang layak bagi masyarakat Bumiputera. Sementara Douwes Dekker terbilang baru dalam urusan pendidikan.

Pada tahun 1922 sebuah sekolah bernama Preanger Instituut yang terletak di Jalan Kebon Kelapa 17 membutuhkan tenaga pengajar. Kabar ini sampai kepada Douwes Dekker, lalu ia mengirimkan lamaran ke sekolah tersebut. Di bawah pimpinan H. E. Meyer Elenbas, Preanger Instituut menerima Douwes Dekker. Ia diberi mandat untuk memimpin bagian Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang kini setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) (IN, 1985:50).

Iklim dalam dunia pendidikan tampaknya cocok dengan Douwes Dekker. Pada tanggal 12 Agustus 1922 ia mendirikan Ksatrian Instituut (Nationaal handels Collegium: Studieplan 1938-1939) sebagai hasil pengabdiannya dalam Preanger Instituut. Nama Ksatrian sendiri merujuk pada istilah ksatria dalam bahasa Jawa yang bermakna luhur. Dari makna ini Douwes Dekker mempunyai tujuan untuk mengabdi dan memberi sesuatu yang baik terhadap rakyat melalui sekolah yang didirikannya itu (IN, 1985:51).

Pada bulan 15 November 1926 Ksatrian Instituut mendapat badan hukum. Hal ini berkat perkembangan sekolah tersebut dari tahun ke tahun. Sampai 1938 sekolah Ksatian Instituut memiliki 39 orang guru, ditambah 3 orang bagian administrasi dan 7 orang dewan pengawas. Termasuk terdapat nama P. F. Dahler bekas ketua Nationaal Indische Partij sekaligus mantan anggota Volksraad (Nationaal handels Collegium: Studieplan 1938-1939).

Kiprah Douwes Dekker selepas NIP dibubarkan menemukan jalan yang tidak dibayangkan sebelumnya. Sama seperti Suwardi yang belakangan namanya berganti menjadi Ki Hajar Dewantara, dunia pendidikan menjadi lahan yang tidak terpisahkan dari ranah pergerakan massa karena hal ini selalu beriringan dengan problem-problem kebangsaan saat itu.  Baik Tjipto, Suwardi dan Douwes Dekker adalah tiga tokoh yang tidak hanya memengaruhi iklim positif pergerakan massa di Hindia Belanda lewat kemunculan Indische Partij, tetapi juga telah menghasilkan semacam artefak yang bisa dirasakan masyarakat Hindia Belanda berkat upaya keras mereka dalam menjunjung derajat kalangan rakyat kecil maupun pembelannya terhadap rakyat yang tertindas.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//