• Narasi
  • PERJALANAN DI PRIANGAN ABAD KE-19 #4: Trayek Buitenzorg-Bandoung adalah Jalur yang “Aman”

PERJALANAN DI PRIANGAN ABAD KE-19 #4: Trayek Buitenzorg-Bandoung adalah Jalur yang “Aman”

Brau de Saint Pol Lias menceritakan bahwa jalur yang dilalui berbukit dan naik turun. Kuda penarik dos-à-dos menggila, meluncur seperti terbang di lereng yang curam.

Karguna Purnama Harya

Penulis, pengembara dan pegiat sejarah. Tengah studi magister di Arkeologi UI.

Foto Koleksi Tropenmuseum berjudul Jalan Raya Pos di Kampung Tjibabat Jawa Barat. (Sumber: wkipedia.org)

22 Mei 2023


BandungBergerak.id – Penulis mohon maaf, baru kali ini dapat melanjutkan kisah penjelajah asal Prancis di tanah Priangan abad ke-19. Pada seri sebelumnya, Penulis berjanji untuk berkisah tentang peristiwa kecelakaan yang dialami oleh dos-à-dos yang ditumpangi oleh Brau de Saint Pol Lias beserta koussir dan toukang kouda.

Dapat kita bayangkan perjalanan saat itu sangat berisiko, sehingga Brau de Saint Pol Lias mengatakan kalimat sarkas. Katanya trayek Buitenzorg-Bandoung (Bogor-Bandung) itu benar-benar “aman” dan “tak pernah terjadi kecelakaan”. Setelah sebelumnya bermasalah dengan kerbau, lalu pada saat menjelang tiba di Bandoung, ia kembali mengalami dua kali kecelakaan.

Saat itu, matahari pagi telah muncul. Tubuh menggigil mendadak hangat. Di sepanjang jalan, dari dos-à-dos-nya ia melihat pemandangan yang tentunya tidak ia dapatkan di negerinya.

Sesekali di pinggir jalan ia menyaksikan banyak pria dan wanita pribumi dengan pakaian yang terbuat dari kain dengan warna mencolok. Rata-rata kain-kain tersebut warnanya merah. Mereka pun tampak mengenakan topi berwarna kuning keemasan yang pernisnya memantulkan cahaya matahari pagi itu.

Sering kali tampak pria-pria berjalan memanggul tongkat bambu mereka di bahu. Di kedua ujung bambu tersebut menggantung tali keranjang yang isinya entah apa. Lelaki itu berjalan dengan langkah setengah berlari sambil mengayunkan siku tangan mereka untuk menjaga keseimbangan. Sekilas tampak seperti timbangan. Para wanita pun tak ketinggalan. Di sepanjang kiri dan kanan jalan, sering kali ia melihat wanita berdiri sambil menggendong bocah telanjang mengangkang di pinggul mereka, dan rata-rata payudara mereka terbuka. 

Baca Juga: PERJALANAN DI PRIANGAN ABAD KE-19 #1: Dari Bogor ke Bandung
PERJALANAN DI PRIANGAN ABAD KE-19 #2: Riweuh Melewati Puncak Menuju Bandung
PERJALANAN DI PRIANGAN ABAD KE-19 #3: Pourboire atau Tabé Touan Kassi-Kassian

Kuda yang Menggila

Tiba-tiba Brau de Saint Pol Lias terhenyak. Dos-à-dos yang ia tunggangi terhentak. Ia melihat satu dari dua ekor kuda pengangkut dos-à-dos itu mendadak disergap gagasan gila. Kuda itu sekonyong-konyong berlari lebih cepat dari rekannya. Lalu seketika berputar hendak menggigit kuda rekannya itu, sambil membentur-benturkan tubuhnya yang meronta-ronta. Hingga akhirnya tali kekang yang tengah dalam genggaman koussir terlepas.

Si toukang kouda segera beraksi. Ia sontak berlari mengejar kuda, menggapai-gapai tali kekang, lalu mengeluarkan cambuknya, sambil berteriak-teriak, agar sang kuda dapat menguasai diri. Untunglah dos-à-dos tidak terjungkal, sebab posisinya hanya beberapa meter dari parit jalan.

Di lain waktu, giliran kuda yang lainnya tiba-tiba mengubah arah. Kuda itu melemparkan dirinya ke kanan, melompati parit, menyeret kuda rekannya, dan tentu saja hasil akhirnya dapat ditebak. Tapi untungnya Brau de Saint Pol Lias, koussir, toukang kouda, mereka semua sempat melompat turun dari dos-à-dos sebelum akhirnya terjungkal.  Hampir saja dos-à-dos menabrak seorang lelaki “timbangan” yang tengah berjalan setengah berlari di pinggir jalan. Mendadak pria itu berlari sekencang-kencangnya karena takut ditubruk kuda berontak itu.

Brau de Saint Pol Lias berkata bahwa jalur yang ia lalui sangat berbukit dan naik turun. Ketika harus menuruni lereng curam maka kecepatan dos-à-dos sangat mengerikan.

Dos-à-dos meluncur seperti terbang. Kuda lari tunggang-langgang, kecepatannya semakin meningkat seperti angin topan bergemuruh, dan tak akan ada yang bisa memperlambatnya. Masalah sekecil apapun misalnya, roda yang lepas, as yang patah, sekrup yang copot, kuda yang jatuh, semua itu akan mengakibatkan dos-à-dos dan penumpangnya terlempar, mungkin sekitar jarak dua puluh meter dari titik celaka.  Tapi untungnya, Brau de Saint Pol Lias tidak mengalaminya.

Saat tiba di Bandung ia sangat letih setelah semalaman. Tidak hanya begadang  tetapi juga sangat melelahkan. Tangannya harus selalu menggenggam batang vertikal penopang atap dos-à-dos agar tubuhnya dapat tetap bertahan. Sandaran yang terbuat dari papan kayu yang tampak “empuk”, hanya membuat pinggangnya memar. Percuma katanya jika kita menginginkan perjalanan yang enak saat di dalam dos-à-dos mengerikan itu. Sebab setiap saat kuda selalu menghentak akibat selalu dipacu oleh koussir dan juga toukang kouda. Saat kecepatan bertambah, tubuh akan tertarik ke belakang. Pinggang pun menderita. Saat tubuh mencoba menstabilkan diri maka tiba-tiba dos-à-dos menghentak saat jalanan tidak rata lalu kepala terbentur atap. Saat jalanan berkelok-kelok, maka tubuh akan terseret ke kanan dan kiri. Keadaan ini berlangsung setiap saat di sepanjang malam perjalanan itu. Hingga ia tiba di Bandoung pukul 9 pagi. Ia menyarankan bagi mereka yang takut kelelahan agar jangan berani-berani mencobanya.

Bersambung...

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//