PERJALANAN DI PRIANGAN ABAD KE-19 #3: Pourboire atau Tabé Touan Kassi-Kassian
Penduduk pribumi yang memiliki kuda dan kerbau diwajibkan mengerahkan hewan peliharaan untuk melayani perjalanan para juragan.
Karguna Purnama Harya
Penulis, pengembara dan pegiat sejarah. Tengah studi magister di Arkeologi UI.
14 Juni 2022
BandungBergerak.id - Ini adalah seri ke-3, yang berkisah tentang perjalanan trayek Buitenzorg-Bandoung (Bogor - Bandung) abad ke-19 yang berada di dalam buah pena Marie François Xavier Joseph Jean Honoré Brau de Saint Pol Lias yaitu De France à Sumatra par Java, Singapour et Pinang, terbitan tahun 1884.
Pada seri sebelumnya yaitu seri ke-2, akhir tulisan sampai pada Brau de Saint Pol Lias beserta kru dos-à-dos di Kantor Pos Djandjour (Cianjur) pada pukul 02.00 dini hari. Sekarang penulis akan melanjutkan apa yang dikisahkan berikutnya.
Sebelum dilanjutkan maka agar mudah dipahami, izinkan penulis untuk membandingkan dengan keadaan saat ini, hingga muncul sebuah pertanyaan yang harus dijawab oleh catatan Brau de Saint Pol Lias.
Saat ini, baik angkutan jarak dekat semacam angkot, maupun angkutan jarak jauh semacam bus atau travel, pasti terjadi penggantian kru supir-kernet. Nah, berdasarkan hal itu, maka apakah saat itu ada penggantian kru di setiap tempat pemberhentian atau kantor pos tersebut? Jika ada, bagaimanakah situasi penggantian kru tersebut? Kemudian ada berapa kantor pos di trayek Buitenzorg-Bandoung itu? Berapa jarak antarkantor pos?
Baiklah kita mulai.
Di Djandjour, mereka berhenti untuk memeriksa semua kantung berisi paket-paket surat di kantor pos Djandjour. Kemudian kiriman surat dari Buitenzorg untuk Kantor Pos Djandjour mereka serahkan dan ditukar dengan paket-paket surat dengan tujuan trayek pengiriman Kantor Pos Bandoung.
Selain paket surat yang baru, koussir pun baru, yang kemudian membawa dos-à-dos melalui delapan pos lagi yang juga berfungsi sebagai les relais des chevaux (tempat penggantian kuda), yang tersebar di sepanjang trayek menuju Bandoung.
Berbeda dengan koussir yang hanya berganti di Djandjour, toukang-kouda selalu berganti pada setiap kantor pos. Intinya, jika kuda berganti maka toukang-kouda pun berganti, karena toukang-kouda sepaket dengan kudanya. Ada hal yang menarik di setiap 'aplus' toukang-kouda itu yang dikisahkan oleh Brau de Saint Pol Lias.
Di tempat penggantian kuda pertama, ketika dia turun, agar dos-à-dos leluasa berganti kuda, ia kemudian didekati oleh si toukang-kouda dengan takzim penuh hormat. Tentu saja Brau de Saint Pol Lias merasa terpuji, dia pikir penghormatan itu adalah berkat penampilannya sebagai orang asing yang necis, mulia, berkualitas, dan layak dihormati. Kemudian si toukang-kouda berkata, "Tabé Touan, kassi-kassian!"
Si 'Tabé Touan kassi-kassian' itu terus berkata seperti itu tanpa Brau de Saint Pol Lias mengerti apa maksudnya. Awalnya hidung Brau de Saint Pol Lias kembung kempis merasa sangat dihormati dan menjadi orang penting, tapi lama-lama berubah menjadi wajah diliputi aroma cemas kebingungan.
Namun, tak lama setelah itu, seseorang di tempat penggantian kuda menjelaskan bahwa si toukang-kouda datang untuk meminta 'kassi-kassian', yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis sepadan dengan istilah pourboire yang artinya Si 'Tabé Touan kassi-kassian' itu meminta tip. Ternyata, pourboire atau tip ini dikenal oleh setiap koussir, toukang-kouda, dan juga penggembala kerbau pedati.
Menurut Brau de Saint Pol Lias, terdapat 16 kantor pos yang terbentang dari Buitenzorg-Bandoung. Jarak Buitenzorg-Bandoung sendiri adalah sejauh 80 pal atau kurang lebih 120 Km, maka dari sana dapat penulis perkirakan bahwa jarak rata-rata setiap kantor pos adalah 120 Km/16 kantor pos atau 7,5 Km/kantor pos.
Kemudian, ia menginformasikan lagi, dari total 16 kantor pos, Brau de Saint Pol Lias harus mengeluarkan 36 kali tip. Dengan rincian, 32 kali tip (pulang-pergi) untuk toukang kouda atau pun penggembala kerbau, dan 4 kali tip untuk koussir (pulang-pergi).
Sekarang kita tinggalkan sejenak Brau de Saint Pol Lias, kita tengok catatan Andries de Wilde mengenai hal ini. Apakah si koussir, penggembala kerbau, dan si toukang-kouda 'Tabé Touan kassi-kassian' itu digaji sehingga ada citra agak rakus jika mereka meminta tip?
Menurut catatan Andries de Wilde di dalam De Preanger Regentschappen op Java Gelegen (Secara harfiah artinya Keresidenan Priangan yang terletak di Jawa, penl.), jika ada penduduk pribumi yang memiliki kuda dan kerbau, maka mereka diwajibkan untuk mengerahkan hewan peliharaan mereka sepaket dengan si empunya untuk melayani para juragan menjelajah 'De groote Heerenweg' (Jalan Raya Para Juragan, nama lain dari Jalan Raya Pos, penl.).
Kemudian, mereka hanya mendapatkan upah sedikit, sementara mereka harus meninggalkan rumah, keluarga, dan pekerjaannya selama berhari-hari dengan biaya sendiri. Jika mereka tidak melakukannya maka akan didenda yang istilahnya adalah 'tajir'. Jika tidak membayar 'tajir' maka kuda atau kerbaunya akan diambil paksa.
Menurut de Wilde, gara-gara hal itu banyak penduduk pribumi yang kapok untuk punya hewan peliharaan, yang akhirnya mereka anggap bukan sebagai harta kekayaan melainkan sebagai beban. Kemudian, jika para pribumi itu tidak memiliki apa-apa, maka penduduk pribumi tersebut akan dikerahkan untuk pekerjaan produktif lainnya. Misalnya merawat kebun-kebun kopi atau apa pun yang dapat menghasilkan. Secara paksa tentunya.
Baca Juga: PERJALANAN DI PRIANGAN ABAD KE-19 #1: Dari Bogor ke Bandung
PERJALANAN DI PRIANGAN ABAD KE-19 #2: Riweuh Melewati Puncak Menuju Bandung
Saat Suara Meriam Menggema di Puncak Gunung Gede Abad Ke-19
Memanjakan Mata dan Telinga
Walaupun catatan Andries de Wilde itu adalah catatan tahun 1830, sementara catatan perjalanan Brau de Saint Pol Lias adalah catatan tahun 1880-an, tapi penulis berasumsi, situasinya masih sama. Namun di sini tetap harus hati-hati dan harus dipastikan dengan dicari sumber lain yang sezaman dengan Brau de Saint Pol Lias terkait hal ini.
Sekarang kita kembali ke catatan Brau de Saint Pol Lias, menurutnya, selain koussir, penggembala kerbau, dan toukang-kouda, ada juga orang-orang yang tidak berkontribusi selama perjalanan itu yang sekonyong-konyong meminta 'kassi-kassian' yang menurutnya sangat menjengkelkan dan membuat biaya perjalanannya membengkak.
Tapi, untungnya perasaan jengkelnya itu sedikit terobati dengan pemandangan indah yang ia lewati selama perjalanan malam itu. Saat lanskap tengah terbuka, maka pemandangan 'marakbak' kampung-kampung yang tengah terlelap pun muncul. Dari setiap rumah, guratan-guratan cahaya api kecil menembus keluar melalui celah-celah atap atau pun dinding yang terbuat dari anyaman bambu itu.
Telinga? Telinga pun sama, dilayani dengan suara-suara unik di sepanjang perjalanan, misalnya suara gemuruh jeram-jeram sungai saat dos-à-dos melintas di atas jembatan kayu ataupun bambu. Suara jembatan itu bergemeletuk seiring dos-à-dos melintas. Di langit sesekali terdengar suara guntur. Saat tiba di lanskap tertutup, maka suara angin menerpa pepohonan yang rimbun bertumpuk-tumpuk di kanan dan kiri jalan. Yang jelas terlihat jenisnya adalah pohon pisang, pohon kelapa, dan pohon pala. Mereka semua membentuk kubah sehingga jalanan tampak seperti lorong.
Di perjalanan sebelum tiba di Bandoung, Brau de Saint Pol Lias hanya turun dua kali akibat dua buah peristiwa gara-gara kuda. Kedua peristiwa itu akan dikisahkan pada seri berikutnya. Dan saat itu, fajar telah menyingsing.
Bersambung…