BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #7: Jongens Internaat
Raden Ayu Sangkaningrat memperluas jangkauan Soemoer Bandoeng dengan mendirikan asrama khusus bagi murid lelaki di Bandung.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
23 Mei 2023
BandungBergerak.id – Awal 1929, Raden Ayu Sangkaningrat terlibat dalam kepanitiaan peringatan setengah abad (“viering van het 50-jarig”) Hoofdenschool dan OSVIA di Bandung. Sebagaimana diwartakan oleh Bataviaasch Nieuwsblad (21 Januari 1929) dan De Locomotief (7 Februari 1929), acara tersebut akan di helat pada 24 Desember 1929. Susunan kepanitaannya terdiri atas R. A. Koesoema Soebrata (pensiunan bupati Ciamis, sebagai ketua kehormatan), R. A. A. Wiranatakoesoema (bupati Bandung, ketua), A. C. Deenik (kepala OSVIA, wakil ketua), R. King S. Natawijogja (sekretaris), G.H.H. Zandvoort (sekretaris kedua), R. Rg. Martaatmadja (bendahara), Mr. G. A. M. Hooiboom (bendahara kedua) dan para anggotanya R. Kd. Wirabarata, R, Kartahadimadja, M. Setiadiwiria, R. Kartapranata, dan R. Prawirasapoetra. Sementara Sangkaningrat diberi kepercayaan untuk menjadi penanggungjawab konsumsi selama acara.
Namun, yang saya pikir sangat penting dicatat adalah keterlibatannya lagi dalam pembentukan asrama baru bagi murid lelaki di Bandung. Mengenai ini mengemuka dalam Bataviaasch Nieuwsblad (12 Januari 1929). Di situ dikatakan perhimpunan Soemoer Bandoeng yang didirikan oleh Sangkaningrat, yang telah mendirikan asrama untuk murid perempuan di Sumatrastraat, akan membuka asrama untuk murid lelaki pada 1 Februari 1929 di Wilhelminastraat. Di asrama yang ada lebih dulu, anak-anak perempuan bangsa Eropa juga dapat tinggal dengan membayar ongkos indekos dengan harga moderat. Sementara untuk asrama yang akan dibangun, bangsa-bangsa nonbumiputra juga dapat tinggal dengan membayar ongkos indekos dengan harga moderat, bila anak-anak lelaki bangsa bumiputra tidak banyak yang indekos di situ.
Tetapi agaknya, peresmian asrama juga terjadi beberapa bulan kemudian. Sebab kabar peresmiannya baru mengemuka dalam Bataviaasch Nieuwsblad edisi 13 September 1929 dan De Koerier edisi 16 September 1929. Dalam Bataviaasch Nieuwsblad dikatakan pada hari Sabtu, 14 September 1929 pukul 19.00 dilakukan peresmian asrama anak perempuan dan lelaki (“het Meisjes- en Jongens Internaat”) yang dikelola oleh Soemoer Bandoeng di Sumatrastraat 39.
Sementara laporan agak panjang disajikan dalam De Koerier. Di dalamnya mengemuka warta bahwa pada Sabtu malam, dua asrama milik Soemoer Bandoeng dibuka secara resmi. Saat pembukaan, taman dan galeri depan kedua asrama tersebut dihiasi lentera-lentara. Tuan dan Nyonya Breton de Nijs (direktur kedua asrama) dan Tuan Pattijn (pengawas asrama) hadir. Sayangnya Ketua Soemoer Bandoeng Raden Ayu Sangkaningrat dan Wiranatakoesoemah berhalangan hadir karena sakit. Peserta yang hadir antara lain Asisten Residen Tijdeman, patih Bandung, wedana Bandung, wedana-wedana lainnya, para camat, dan lain-lain.
Dalam Swara Publiek edisi 1 November 1929 tersaji lagi kabar ihwal rencana Raden Ayu Sangkaningrat mendirikan asrama yang baru untuk murid-murid lelaki. Pada awal berita disebutkan, “R. Ajoe Wiranatakoesoema njonjanja Regent Bandoeng mempoenjain niatan aken diriken Internaat seperti Soemoer-Bandoeng”. Sasarannya adalah murid-murid atau mahasiswa bumiputra yang belajar di OSVIA, TH, HBS, dan AMS. Berikut yang tertulis dalam berita: “Dengen adanja itoe niatan R. Ajoe Wiranatakoesoema aken bikin receptie boeat anak moerid-moerid lelaki bangsa Indonesier dari sekolahan OSVIA, TH, S, H.B.S. dan AMS, kaloe perloe dari laen laen sekolahan djoega aken bri taoe”.
“Sedeng perloenja receptie itoe aken membitjaraken tentang Internaat jang di tjita-tjitain. Kaloe betoel dan bisa djadi ini tjita tjita boeat mengadaken Internaat ini, kita pertjaja bisa dapet toendjangan dari anak anak moerid terseboet diatas, dan tida loepoet aken dapet pengrawatan jang bagoes begitoe djoega pendjagaan dari pengoeroesnja Internaat itoe,” demikian seterusnya yang ditulis dalam berita bertajuk “Aken diriken Internaat” itu.
Memang, Soemoer Bandoeng kian melebarkan sayapnya. Rd. Kartapranata, bekas wedana, yang berinisiatif mendirikan asrama untuk anak-anak sekolah di Lembangweg. Asrama tersebut diresmikan pada 2 Juli 1930 dan dihadiri oleh bupati Bandung, wedana kota, wedana setempat, dan lain-lain (De Koerier, 3 Juli 1930).
Baca Juga: BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #4: Pameran Kesehatan, Buku Adat Sunda dan Baby Show
BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #5: Ikut Tugas Belajar ke Belanda
BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #6: Pendorong Perkembangan Industri Tenun Majalaya
Internaat PPBB di Betawi
Raden Ayu Sangkaningrat juga terlibat dalam pendirian internaat melalui Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputera (PPBB) yang diketuai oleh suaminya. Fakta ini saya dapatkan dari Notulen (Stenografisch) van de Derde Jaarvergadering van De PPBB Gehouden te Batavia-Centrum op den 9-10-11 October 1932, terutama dalam “Rapat Jang Ke V” pada 11 Oktober 1932.
Dalam rapat yang dibuka pada pukul 9 pagi itu sekretaris PPBB Wiradiatmadja (1932: 192-193) membaca capaian perhimpunan tersebut, antara lain “P. P. B. B. moelai boelan Juli 1932 telah mendirikan satoe internaat boeat pemoeda-pemoeda jang beladjar di sekolah-sekolah jang ada di Betawi, teristimewa boeat anak-anak dari leden P. P. B. B. jang mendjadi pengoeroesnja ini internaat jaitoe toean Harmani, ex-Wedana Rogodjampi jang sekarang meneroeskan peladjarannja di Rechtshoogeschool. Kita soedah berani menjoba mendirikan ini internaat oleh karena kita berkejakinan, bahwa pengoeroesan pemoeda-pemoeda jang lagi bersekolah, itoe satoe hal jang kita haroes pentingkan berhoeboeng dengan tjita-tjita kita boeat mening gikan boedi pekertinja bangsa kita, sedang ini tindakan ada bersetoedjoe dengan boenjinja artikel dari statuten serta mentjoekoepi permintaan Algemeene Vergadering tahoen jang laloe”.
Konon, upaya pendirian internaat terbilang sukar, tetapi atas bantuan dan jerih payah Sangkaningrat yang notabene istri ketua PPBB, pendiriannya dapat berlangsung mulus.
Wiradiatmadja (1932: 193) mengatakan “Sebabnja kita dengan gampang dapat melangsoengkan tjita-tjita jang moelia itoe, tidak lain hanja djasanja R. Ajoe Sangkaningrat, jalah isterinja Voorzitter kita. Beliau ini memberikan bantoean pada kita dengan memindjamkan perabot-perabot roemah jang selangkapnja sedjoemblah harga ƒ 5000. Pembantoean beliau ini jang diberikan pada kita dengan pertjoemah dan jang hanja berdasar pada kemoerahan dan kesoetjian hati beliau itoe, kita hargakan setinggi-tingginja. Berhoeboeng dengan itoe saja disini merasa wadjib oentoek menghatoerkan diperbanjak terima kasih pada beliau atas djasanja itoe”.
Dalam kesempatan rapat tersebut, Soemardi (1932: 195-196), anggota PPBB, menyatakan, “Toean Voorzitter dan rapat jang terhormat! Mendengar Secretaris membatja verslag tahoenan, bersama-sama disitoe menjeboet akan garwa toean Voorzitter, izinkanlah kiranja saja menjeboet namanja Raden Ajoe Sangkaningrat, jang soedah menolong akan mendirikan internaat boeat studeerenden, jang boekan sadja mengoerbankan tenaganja, tetapi lagi memberi pindjam inventaris sampai berharga ƒ 5000. Dari itoe saja minta kepada rapat akan keloearkan kebesaran hatinja dengan menjaboet tiga kali: Hidoeplah Raden Ajoe Sangkaningrat!”
Pada gilirannya, Wiranatakoesoemah, ketua PPBB sekaligus suami Sangkaningrat berterima kasih atas kehormatan kepada istrinya dan menjamin keberlangsungan internaat yang didirikan di Betawi, mengingat modal yang dimiliki oleh perhimpunan Soemoer Bandoeng terbilang sangat besar. Ia menyebutkannya sebesar f. 23.000.
Begini yang dijelaskan oleh Wiranatakoesoemah (1932: 196), “Saja tentoe atas nama Raden Ajoe Sangkaningrat memberi terima kasih oleh karena toean Soemadi tadi telah mengoendang kepada rapat akan memberi kehormatan kepadanja. Berhoeboeng dengan ini internaat, atas nama Raden Ajoe saja tjeritakan disini, bahwa pada hari jang datang toean-toean djangan koeatir, bahwa itoe internaat akan meroegikan PPBB. Seandainja PPBB atau algemeene vergadering tidak moepakat akan adanja internaat itoe, maka internaat itoe akan dilandjoetkan djoega, sedang segala pindjaman dari PPBB jang soedah masoek internaat itoe akan dikembalikan kepada vereeniging. Fonds Soemoer Bandoeng ada mempoenjai ƒ 23.000 didalam kas.”
Di sisi lain, hingga 1941, Soemoer Bandoeng tetap bertahan. Dalam De Locomotief (10 Juli 1936) saya menemukan iklan tentang Het Internaat Soemoer Bandoeng di Sumatrastraat 50 dan Meisjesinternaat di Burgemeester Kührweg 48. Dalam Sipatahoenan (1 Juni 1940, 5 Juli 1941) terdapat iklan Jongens Internaat Kaboepaten yang ditulis sebagai “v/d Inst. Ver. Soemoer Bandoeng” beralamat di Balonggede dan direkturnya Martakoesoema”.
Selain itu, hingga 1941, banyak juga orang dan pihak yang mengusahakan asrama untuk murid-murid sekolah. Ini misalnya terlihat dari kehadiran Pendidikan Islam Bandoeng di Pangeran Soemedangweg 39 dan direkturnya adalah Ir. I. M. Tjahja (Adil, 29 Mei 1933; Sipatahoenan, 17 Mei 1939), Algemeen Indisch Internaat di Bandung (Sipatahoenan, 18 Oktober 1934), Internaat Pasoendan yang dikepalai oleh Rd. Karta Brata (Sipatahoenan, 11 Oktober 1935), School Internaat Goenoeng Sari di Merdikaweg 13 yang diusahakan NIATWU (Sipatahoenan, 6 Juli 1938), Jongensinternaat di Westhofweg 29 (Sipatahoenan, 25 Januari 1939), Internaat Boedi Rahajoe yang beralamat di Groote Postweg Oost 616 (Sipatahoenan, 26 Juni 1940).
Kenangan Dewi dan Barli
Salah seorang yang mengenang keberadaan Jongens Internaat Kaboepaten yang didirikan oleh Raden Ayu Sangkaningrat adalah Dewi A. Rais Abin (Hidayat: Father, Friend and A Gentleman, 2016) dalam konteks kehidupan ayahnya Letjen TNI (Purn.) Hidajat Martaatmadja (1915-2005)dan keluarganya.
Kata Dewi (2016: 10), “Satu ketika kami pindah rumah. Raden Ayu Sangkaningrat, salah seorang mantan istri Bupati Bandung Wiranatakusumah, minta kepada ayah untuk mengelola sebuah ‘internaat’ (pondokan). Internaat ini memiliki beberapa kamar untuk disewakan jangka pendek maupun jangka panjang. Rupanya pondokan itu tidak terlalu laku. Seingat saya, yang paling lama menyewanya ialah seorang siswi Sekolah Menengah asal Cirebon, lalu sejoli suami istri yang baru menikah, dan seorang ‘kekasih’ opsir tentara Jepang, Letnan Satu Hirai”.
Lebih jauh Dewi (2016: 11-12) mengatakan, “Seperti dikatakan di atas, pondokan milik Raden Ayu Sangkaningrat yang dikelola ayah dan ibu kurang laku. Kemudian, mungkin untuk menambah penghasilan dan kesibukan, ayah saat itu juga menjadi tukang parkir sepeda di halaman kantor RR (Regentschaap Raad) Bandung. Dan ibu, dengan dibantu oleh Bi Acah, berjualan soto di samping kantor RR. Dan saya, seusai sekolah suka disuruh menjajakan risoles ke kantor Kabupaten Bandung, yang halamannya dihubungkan oleh pintu besi dengan halaman ‘internaat’ (pondokan) di mana kami tinggal. Waktu itu saya bersekolah di SR Gadis (SD Putri) di Balonggede, yang letaknya tidak jauh dari kantor RR.”
Alhasil, bila membaca penuturan Dewi A. Rais Abin, saya yakin yang dimaksudkan internaat olehnya adalah Jongens Internaat Kaboepaten yang beralamat di Balonggede, sebagaimana diiklankan dalam koran Sipatahoenan di atas. Meskipun pada praktiknya, tampak para penyewa tempat indekos tersebut bukan hanya murid-murid lelaki, melainkan juga ada yang perempuan, bahkan pasangan laki-laki perempuan yang sudah menikah atau sepasang kekasih.
Kebaikan hati Raden Ayu Sangkaningrat juga diakui oleh Barli Sasmitawinata (1921-2007) sebagaimana yang ditulis oleh Jim Supangkat dalam buku Titik Sambung: Barli Dalam Wacana Seni Lukis Indonesia (1996: 38-39). Konteksnya, ketika berusia belasan tahun, Barli sudah diperlakukan sebagai pelukis profesional oleh masyarakat kolonial Belanda dan sudah mendapatkan pesanan lukisan potret pejabat, atau keluarga pejabat Belanda.
Konon saat itulah, “Raden Ayu Sangkaningrat, isteri Bupati Bandung, Wiranatakusumah juga tertarik pada bakat Barli. Wanita bangsawan itu tidak hanya membeli lukisan-lukisan Barli. Ia bahkan mengangkat Barli menjadi anaknya dan ikut membiayai pelajaran melukis Barli. ‘Waktu itu, belajar melukis memang mahal. Untuk membayar biaya belajar dan membeli cat, kanvas, dan alat-alat, saya memang perlu bantuan secara finansial,’ ungkap Barli. R.A. Sangkaningrat mempunyai peran dalam memperkenalkan Barli dengan banyak pelukis pribumi lain”.
Dengan demikian, Sangkaningrat punya peran besar bagi Barli untuk bergaul dengan pelukis-pelukis pribumi, bukan pelukis-pelukis Belanda, seperti Affandi, Hendra Gunawan, Wahdi Sumanta dan Soedarso bahkan membentuk kelompok yang ia sebut sebagai Kelompok 5. Padahal saat itu (hingga tahun 1940), Barli masih belajar melukis kepada Luigi Nobili.