• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #22: Pindah ke Bandung

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #22: Pindah ke Bandung

Bandung yang kala itu tengah dipersiapkan sebagai bakal ibu kota Hindia Belanda di nusantara, juga dikenal sebagai kuburan bagi beberapa surat kabar.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Sejak 29 Oktober 1931 mulai diumumkan rencana kepindahan Sipatahoenan dari Tasikmalaya ke Bandung. (Sumber: Sipatahoenan, 29 Oktober 1931)

25 Mei 2023


BandungBergerak.id – Setelah terbit di Tasikmalaya antara 1 Juli 1924 hingga 7 November 1931, sejak 9 November 1931 surat kabar Sipatahoenan mulai diterbitkan di Bandung. Pengumuman kepindahannya mulai disiarkan pada edisi 29 Oktober 1931.

Dalam pengumumannya tertulis demikian: “Kamadjoean!!! Sawatara poe deui Sipatahoenan Hoofdkantoorna PINDAH ti Tasikmalaja ka BANDOENG. Ieu teh djadi kamadjoean pikeun kapentingan abonnes djeung adverteeders” (Kemajuan!!! Beberapa hari lagi kantor pusat Sipatahoenan akan pindah dari Tasikmalaya ke Bandung. Ini menjadi kemajuan bagi kepentingan para pelanggan dan pemasang iklan).

Pengumuman terus-menerus dipasang hingga 7 November 1931. Dari pengumuman tersebut kita jadi mafhum yang menjadi pertimbangan dipindahkannya Sipatahoenan ke Bandung adalah demi melayani atau demi kepentingan para pelanggan dan para pemasang iklan.

Rencana kepindahan Sipatahoenan antara lain dijelaskan redaksi dalam tulisan “Tasik Matjem” pada edisi 2 November 1931. Pada dua paragraf pertama dinyatakan kepindahan kantor Sipatahoenan dari Tasikmalaya akan menimbulkan kegembiraan bagi yang membencinya dan bagi sahabat-sahabatnya akan menimbulkan rasa kehilangan, karena akan berjauhan.

Tetapi kata redaksi bagi keduanya jangan  khawatir, sebab jarak Bandung-Tasikmalaya tidaklah begitu jauh. Apalagi Tasikmalaya masih menjadi daerah persebaran Sipatahoenan, tidak akan berbeda jauh dengan kondisinya saat ini. Selanjutnya timbul pertanyaan apa gunanya Sipatahoenan bagi orang Tasikmalaya dan umum? (“Naon goenana Sipatahoenan keur oerang Tasikmalaya djeung oemoem?”).

Redaksi menjawabnya bahwa kontribusi Sipatahoenan terbilang besar. Misalnya, yang tadinya diupayakan untuk disembunyikan dan yang tadinya merugikan kepentingan umum, akhirnya bisa jelas tertelusuri rekam jejaknya. Hal tersebut tidak saja terjadi di Tasikmalaya tapi juga di mana-mana, sehingga selain dapat ditemukan kasusnya juga dapat diperbaiki dan menimbulkan rasa puas bagi masyarakat luas. Saat mengkritisi, Sipatahoenan disebut-sebut tak pandang bulu, karena pertimbangan satu-satunya adalah kepentingan umum (“Sipatahoenan henteu maliding sanak, istoening ngan kapentingan oemoem noe diperloekeun”).

Di antara yang pernah diungkap oleh Sipatahoenan dan kasusnya masih berlangsung di Tasikmalaya adalah kecurangan pada garapan kerja Kabupaten Tasikmalaya hingga rugi puluhan ribu rupiah, kasus ketidakberesan di kantor pengadilan Tasikmalaya, surat kaleng kepada plaatselijk bestuur dan gubernur Jawa Barat, dan kasus dukun bernama Ibu Haji Patmah yang menimbulkan banyak korban baik bagi orang Tasik maupun daerah lainnya. Atas berbagai pengungkapan itu, kepada Sipatahoenan tidak usah berterima kasih. Karena niatnya hanya demi kepentingan umum.

Bagi pemerintah dan rakyat kebanyakan keberadaan Sipatahoenan banyak menimbulkan kemaslahatan. Oleh karena itu, redaksi tidak habis pikir bila masih ada yang menyebutkan Sipatahoenan sebagai provokator (“Koe sabab eta, katjida henteu kahartina, lamoen masih keneh aja noe njeboetkeun jen Sipatahoenan teh, toekang ngitjoek-ngitjoek djeung ngangsonan”).

Intinya, Sipatahoenan adalah jembatan antara rakyat dengan pemerintah, sebab meski pemerintah sudah menyediakan pejabat yang menerima pengaduan masyarakat, tapi kebanyakannya tidak begitu paham terhadap hak dan kewajibannya, sehingga banyak yang merasa lebih leluasa berbicara dengan surat kabar ketimbang dengan para pejabat yang seharusnya menerima pengaduan (“rea noe ngarasa leuwih loegina njarita djeung soerat kabar ti batan djeung ambtenaar noe kapapantjenan nampa pangadoean ti rahajat”).

Sipatahoenan terakhir terbit di Tasikmalaya pada Sabtu, 7 November 1931. (Sumber: Sipatahoenan, 7 November 1931)
Sipatahoenan terakhir terbit di Tasikmalaya pada Sabtu, 7 November 1931. (Sumber: Sipatahoenan, 7 November 1931)

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #19: Si Roda Mala
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #20: Mas Atmawinata
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #21: Implik-implik

Perpisahan dengan Publik Tasikmalaya

Sebelum dipindahkan di Bandung, redaksi Sipatahoenan membuat tulisan perpisahan bertajuk “Pileuleujan” (edisi 7 November 1931) sebagai tanda terbit terakhir di Tasikmalaya. Pada awal tulisan dikatakan, “Dinten ieu Sipatahoenan panoetoepan dikaloearkeunana di Tasikmalaja sareng dinten Senen baris ngawitan di Bandoeng, kantorna di Groote Postweg Oost No. 123 Bandoeng (tjaket Katja-katja Wetan)” (Hari ini hari terakhir Sipatahoenan diterbitkan di Tasikmalaya dan hari Senin akan mulai diterbitkan di Bandung, kantornya di Groote Postweg Oost No. 123 Bandung [dekat Kaca-kaca Wetan]).

Redaksi, administrasi dan semua personil Sipatahoenan selanjutnya mengucapkan selamat tinggal kepada langganan di Tasikmalaya, juga kepada para pemasang iklan dan seluruh publik Tasikmalaya. Meski sudah ke Bandung, publik Tasikmalaya takkan terlupakan oleh pengelola Sipatahoenan sebab atas kebaikan mereka surat kabar tersebut bisa maju. Bahkan pengelola Sipatahoenan merasa berhutang budi kepada publik Tasik dan mohon dimaafkan atas segala khilaf dan salah.

Pengelola Sipatahoenan menjamin para pelanggan dan pemasang di Tasikmalaya yang ada keperluan kepada surat kabar tersebut, agar tidak usah khawatir, sebab sebagai penggantinya di Tasik ada agen Sipatahoenan (“Koe pindahna Sipatahoenan ti Tasikmalaja ka Bandoeng, kangge kapentingan para langganan sareng adverteerders noe aja kaperloean ka Sipatahoenan, henteu matak ngadjantenkeun kasesahan, djaran di Tasikmalaja oge minangka gegentos kantor redactie sareng administratie teh diajaan Agentschap Sipatahoenan”).

Pada edisi pertama terbitan Bandung (No. 253, Senen, 9 November 1931) redaksi menurunkan tulisan “Sipatahoenan di Bandoeng”. Di dalamnya mengemuka alasan-alasan di balik pemindahan Sipatahoenan. Di antaranya fakta bahwa Bandung adalah pusat Tatar Sunda, dan konon akan menjadi ibu kota Indonesia. Oleh karena itu, kepentingan Sipatahoenan ke Bandung bukan sekadar memenuhi kebutuhan publik Bandung belaka, melainkan juga kepentingan pelanggannya di manapun berada.

Redaksi menuliskan hal itu dengan kata-kata begini: “Tangtoe aja noe nanja, naon perloenan Sipatahoenan dikaloearkeun di Bandoeng? Kana ieu pertanjaan henteu koedoe didjawab noe pandjang, tjoekoep koe diseboetkeun bae, jen Bandoeng teh djadi poeseurna tanah Pasoendan, malah sok aja oge noe njeboetkeun jen Bandoeng teh bakal djadi poeseurna pamarentahan Indonesia, koe ahli pelesir pada njeboetkeun jen Bandoeng teh Parys-na Indoensia. Koe sabab eta, tangtoe pisan henteu koerang koerang kapentinganana Sipatahoenan aja di Bandoeng teh, lain keur langganan di Bandoeng bae, lain keur langganan Sipatahoenan bae, tapi henteu leungit kapentinganana pisan sakoemna langganan Sipatahoenan di sakoeliahna”.

Redaksi tidak merasa khawatir dengan kenyataan di Bandung sudah banyak surat kabar, karena Sipatahoenan adalah harian berbahasa satu-satunya di Bandung (“sabab ngan ieu ieuna bae dagblad basa Soenda mah”). Surat-surat kabar di Bandung di antaranya AID de Preanger-bode, Java-bode, De Koerier, Kiauw Po, agen-agen koran Keng Po, Sin Po, Kaoem Moeda, agen Bintang Timoer, dan Priangan Tengah. Sementara surat kabar berbahasa Sunda baru ada Weekblad Simpaj yang terbit mingguan.

Redaksi juga mafhum bahwa Bandung adalah kuburan bagi beberapa surat kabar, seperti Padjadjaran, Siliwangi, Soerapati, Kaoem Kita, dan Dagblad Sin Bin. Menghadapi fakta ini, redaksi Sipatahoenan berbesar hati akan mendapatkan banyak sokongan dari publik Bandung. Karena masa iya harian berbahasa Sunda satu-satunya tidak diperhatikan, tidak dipedulikan. Anggapan ini pun diperkuat fakta para pelanggan Sipatahoenan di Bandung tercatat yang paling banyak.

Redaksi berterus terang, biaya penerbitan Sipatahoenan di Bandung lebih besar daripada ketika diterbitkan di Tasikmalaya. Tapi tidak membuat kecil hati, karena yakin akan mendapatkan sokongan dari mitra-mitranya. Namun, redaksi merasa belum puas dengan penerbitannya sekarang, karena masih jauh dari sempurna agar dapat mengimbangi surat kabar-surat kabar asing yang besar.

Bagi wakil-wakil pemerintah di Bandung, terutama bagi yang bertugas mengawasi isi surat kabar, adanya Sipatahoenan akan menambah beban kerja mereka. Tapi sebaliknya dengan adanya Sipatahoenan berarti bertambahnya kontrol terhadap kehidupan sehari-hari di Bandung, demi menumpas segala ketidakadilan dan kecurangan yang memang tidak disukai oleh pemerintah (“Tapi sabalikna koe ajana Sipatahoenan di Bandoeng teh djadi nambahan controle kana hiroep koemboeh, geusan noempes sagala katjoerangan anoe memang henteu dipisoeka koe pamarentah”).

Senin, 9 November 1931, Sipatahoenan mulai diterbitkan di Bandung. (Sumber: Sipatahoenan, 9 November 1931)
Senin, 9 November 1931, Sipatahoenan mulai diterbitkan di Bandung. (Sumber: Sipatahoenan, 9 November 1931)

Mengenang Kepindahan

Dua tahun setelah di Bandung, redaksi mengenang kepindahan dari Tasikmalaya dalam buku 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan (1933). Pada tulisan “Sipatahoenan 10 Taoen” (1933: 2) tertulis, “Beuki ka beh dieunakeun beuki karasa bae kaperloenana, Sipatahoenan teh koedoe dikaloearkeun di tempat anoe rame, babakoenan ngadeukeutan tempat noe pangreana langganan, henteu aja deui djaba ti di Bandoeng” (Semakin ke sini semakin terasa pentingnya Sipatahoenan diterbitkan di tempat yang ramai, terutama mendekati tempat yang paling banyak langganannya, tiada lain kecuali di Bandung).

Kutipan itu mengonfirmasi pernyataan yang sama yang diungkapkan redaksi Sipatahoenan dalam tulisan “Sipatahoenan di Bandoeng” dua tahun sebelumnya. Salah satu pertimbangan pindah ke Bandung adalah jumlah pelanggannya paling besar.

Dengan pertimbangan itulah, pengelola Sipatahoenan lalu mencari tempat yang dianggap bagus di Bandung, sehingga ketemulah Groote Postweg Oost (Kaca-kaca Wetan). Karena termasuk berada di jantung Kota Bandung. Setelah menemukan tempat yang pas, barulah Sipatahoenan dipindahkan dengan catatan selama proses kepindahannya surat kabar tersebut tetap diusahakan bisa terbit, agar tidak merugikan pelanggan dan pemasang iklan (“Saenggeusna manggih pitempateunana noe katimbang hade, nja eta di Groote Postweg [Katja-katja Wetan] kaitoeng dina poeseurna dajeuh Bandoeng, toeloej bae dipindahkeun sarta dina waktoe mindahkeunana, diatoer sabisa-bisa soepaka soerat kabar mah angger kaloear bae malar henteu ngaroegikeun ka para langgananana djeung adverteerders”).

Dua dasawarsa lebih kemudian, bekas para pengelola Sipatahoenan masih mengenang kepindahan itu dalam Sip 1923-1953 (1953). Di antaranya Ahmad Atmadja melalui tulisan “Tri Dasa Warsi” (1953: 3). Ia menyatakan “Teu lami saparantos djadi harian, ladjeng pindah ka Bandung, sarta dikaluarkeun sanes ku Tjabang Pasundan Tasik deui namung ku Pangurus Besar Pagujuban Pasundan” (Tidak lama setelah menjadi harian, kemudian [Sipatahoenan dibawa] pindah ke Bandung, serta diterbitkan bukan oleh Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya lagi tetapi oleh Pengurus Besar Paguyuban Pasundan).

Sementara Bakrie Soeraatmadja (“Sipatahoenan dina Djaman Djadjahan”, 1953: 8) mencatat beberapa hal setelah Sipatahoenan dipindahkan ke Bandung, yaitu “Ku putusan Pamarentah Hindia-Walanda di Indonesia Sipatahoenan kungsi diantjam rek ‘diringkus’ ku Persbreidelordonnantie, henteu meunang dikaluarkeun saminggu lilana” (Dengan keputusan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, Sipatahoenan pernah diancam akan diringkus dengan ordonansi pembredelan pers, tidak boleh terbit selama seminggu). Ini terjadi setelah Sipatahoenan ada di Bandung (“Ieu teh kadjadianana saenggeusna Sipatahoenan dipindahkeun ti Tasikmalaja ka Bandung”).

Satu lagu, Moh. Koerdie (“Pangalaman Sipatahoenan”, 1953: 53) yang menyatakan “Pindah ka Bandung nja diakalan supaja ditjitak dina poean muntjulna. Sangkan bisa ngamuat kadjadian poe eta keneh. Atuh sakurang-kurangna ulah bari teuing, tegesna ulah gandjor teuing bedana waktu nutup kadjadian nu bisa dimuatkeun djeung waktu kaluarna teh” (Pindah ke Bandung [penerbitan Sipatahoenan] diupayakan dicetak pada hari terbitnya, agar dapat memuat kejadian hari tersebut. Atau paling tidak, tidak terlalu basi, tegasnya selisih waktunya jangan terlalu lama antara tutupnya suatu kejadian yang bisa dimuatkan dengan waktu terbitnya).

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//