• Kolom
  • SISI LAIN SCHOEMAKER #2: Dari Banyubiru ke Kota Kembang

SISI LAIN SCHOEMAKER #2: Dari Banyubiru ke Kota Kembang

Wolff Schoemaker memulai karier sebagai prajurit militer Belanda sebagai perwira zeni di Cimahi. Memantapkan hati menjadi seorang arsitek dan menetap di Bandung.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Richard Schoemaker sebelah kiri bersama Charles Wolff Schoemaker. Reproduksi dari buku Arsitektur Tropis Modern karya C.J. van Dullemen. (Foto: Dokumentasi Hafidz Azhar)

4 Juni 2023


BandungBergerak.id – Meski lahir di Banyubiru, Jawa Tengah, pada 25 Juli 1882, Wolff Schoemaker menjalani berbagai fase kehidupannya ketika berada di Belanda dan Bandung. Banyubiru sendiri merupakan pijakan awal Wolff Schoemaker sebagai prajurit militer. Di samping lingkungan yang berada dalam area militer, ayah Schoemaker, Jan Prosper Schoemaker juga sempat menduduki pangkatnya sebagai mayor atau kapten.

Sementara itu, kurang lebih sejak abad ke-19, Banyubiru telah menjadi kawasan bagi prajurit Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL). Di masa-masa selanjutnya, daerah itu kian dikukuhkan menjadi area khusus militer. De Locomotief 6 April 1918 melaporkan bahwa pada tahun 1918 kawasan Banyubiru dibangun ulang sebagai akses untuk pasukan militer. Jalan ini menghubungkan Ambarawa, Salatiga dan Semarang dan diberi nama Militaire weg Banyoebiroe

Pada umur 18 tahun, Wolff Schoemaker melanjutkan studinya pada Hoogere Burgerschool (HBS) Koninklijke Militaire Academie (KMA) di Breda, Belanda. Sebagai prajurit, ia memiliki pangkat letnan muda ajudan dalam resimen infanteri kedua. Pangkat ini, sebetulnya hanyalah jabatan sementara Schoemaker, karena ia belum sepenuhnya diterima di KMA, mengingat usianya yang masih muda. Akan tetapi dalam waktu berikutnya, Schoemaker secara resmi memulai pendidikannya di KMA. Di sana ia diterima menjadi kadet nomor 97 yang tergabung dalam kompi B kecabangan Zeni (Dullemen, 2018: 34-40).

Pada masa studinya di KMA, Wolff Schoemaker semakin mengasah bakatnya dalam bidang seni, terutama dalam seni menggambar. Hal ini dilakukan saat Schoemaker menempuh kuliah di zeni selama satu tahun. Sementara pelajaran yang didapat Schoemaker, yakni arsitektur, menggambar ortogonal dan topografi, serta pelajaran geometri. Beberapa saat kemudian, Schoemaker berhasil naik pangkat. Pada 24 Juli 1905 ia diangkat menjadi Letnan Dua Zeni di KNIL. Lalu pada 7 Oktober 1905 ia berangkat menuju Hindia Belanda untuk ditugaskan di Cimahi (Dullemen, 2018: 41-42).

Menurut catatan De Sumatra Post 19 September 1940, dari tahun 1905 sampai 1911, Wolff Schoemaker menjalani jabatannya sebagai insinyur perwira. Dari situ ia mulai memantapkan hatinya untuk menjadi seorang arsitek di Batavia. Di Batavia, ia menjabat sebagai direktur Pekerjaan Umum hingga tahun 1917. Dari pekerjaan ini pula Schoemaker dapat melakukan perjalanan studi ke berbagai negara Asia Timur seperti Jepang dan juga ke Amerika.

Baca Juga: SISI LAIN SCHOEMAKER #1: Sang Arsitek sebagai Objek Studi
BUKU BANDUNG (13): C. P. Wolff Schoemaker sebagai Arsitek dan Seniman, serta Keterlibatannya dalam Partai Sempalan
Wolff Schoemaker Perias Wajah Kota Bandung

Menetap di Bandung

Tidak sampai di situ. Pada tahun 1918, Schoemaker kembali ke Hindia Belanda dan memutuskan untuk tinggal di Bandung. Sejak di Bandung, ia pun banyak melakukan perjalanan studi ke negara-negara Eropa seperti Inggris dan ke Mesir. Perjalanan ini ia tempuh selama tiga tahun. Kemudian ia kembali ke Bandung dan menjadi pengajar luar biasa di Technische Hoogeschool Bandung (THB/sekarang ITB) (De Sumatra Post, 19 September 1940).

Menurut Dullemen, pada tahun 1922, Charles Prosper Wolff Schoemaker bersama saudara kembarnya, Richard Schoemaker, diangkat menjadi profesor di THB. Adapun fokus Wolff Schoemaker sebagai profesor, yaitu dalam bidang sejarah arsitektur dan ornamen dengan spesifikasi gedung, anggaran serta perencanaan kota. Bidang garapan yang diperoleh Wolff Schoemaker itu, bisa dibilang sebagai lanjutan dari garapan saudaranya setelah meninggalkan THB menuju Belanda untuk meneruskan Profesor Klinkhamer pada Technische Hoogeschool Delf. Sejak saat itu, Wolff Schoemaker memangku jabatan profesornya dengan begitu serius. Salah satunya, ia banyak menampilkan diri menjadi pembicara untuk mengemukakan pandangannya terkait arsitektur, bahkan mendorong perdebatan ihwal arsitektur di Hindia Belanda (2018: 57).

Selain perhatiannya pada arsitektur, Charles Prosper Wolff Schomaker juga aktif di bidang politik. Ia sempat mencalonkan diri sebagai anggota Gemeenteraad (Dewan Kota) pada tahun 1924 sampai dirinya terpilih sebagai anggota. Sebagaimana dilaporkan Algemeen Dagblad Indisch de Preangerbode 29 Juli 1924, Wolff Schoemaker tercatat menjadi calon Gemeenteraad Bandung bersama dengan Ir. H.F.E.F. de Bruin (Indo Europeesch-Verbond/IEV), G.J. Gerritsen (CEP), J.E. van Gogh (Politieke Ekonomies Bond/PEB), C.J. Nauta (kalangan moderat), Ir. F.R.L. Nauta (PEB), F.H.W. Rooyackers (Pedagang), E. Smith (PEB), A. Smith (IEV), H.C.F. Vermandel (IEV) dan Mr. L.K. Wennekendonk (IEV). Sementara dari kalangan Bumiputera tercatat beberapa nama antara lain: M. Darna Koesoemah, M. Hoed dan R. Idih Prawiradi Poetra bersama R. Rg. Prawira Koesoemah yang mewakili PEB.

Memeluk Islam

Sebagai profesor di THB, Wolff Schoemaker juga dekat dengan Sukarno. Berbagai literatur menyebut bahwa Wolff Schoemaker merupakan dosen sekaligus mentor Sukarno ketika menempuh pendidikan di Technische Hoogeschool Bandung.

Lambert Giebels, misalnya menjelaskan bahwa selain menganggapnya sebagai murid, Wolff Schoemker juga merasa sangat cocok dengan Sukarno, padahal usianya dua puluh tahun lebih tua. Kecocokan ini, menurut Giebels, dilihat dari minat atau ketertarikan yang sama, khususnya terhadap arsitektur, ilmu pahat dan juga wanita cantik (2001: 56).

Kendati demikian, Wolff Schoemaker cenderung bertentangan dengan ide-ide Sukarno dan menolak setiap kegiatan politik Sukarno. Bahkan menurut Dullemen, saat Sukarno diasingkan pada tahun 1934 ke Ende, ia menuding jika Schoemaker telah mengkhianati rakyatnya yang sedang berikhtiar dalam mewujudkan kemerdekaan (2018: 62).

Sementara itu, keberadaan Wolff Schoemaker di Bandung bukan saja mengubah hidupnya dalam bidang profesi, tetapi juga dalam hal keyakinan. Menurut Dullemen, Wolff Schoemaker telah meninggalkan agama sebelumnya dan menjadi Muslim sejak tahun 1915. Alasan beralihnya Schoemaker dari agama Kristen tidak diketahui oleh Dullemen (2018: 63). Tetapi dalam beberapa koran Belanda melaporkan bahwa Wolff Schoemaker baru masuk Islam pada tahun 1930-an.

Sebagaimana ditulis oleh De Indische Courant 13 Januari 1934, bahwa Wolff Schoemaker yang beberapa tahun sebelumnya berada di Kairo telah masuk Islam di Bandung secara resmi di hadapan Ketua Persatuan Islam Barat, Dr. Khalid Sheldrake, dengan tambahan nama Islam Kemal di depannya. Artinya, masuk Islamnya Wolff Schoemaker bukanlah jauh sebelum Schoemaker bekerja pada Technische Hoogeschool Bandung, tetapi bisa dibilang, ada indikasi kedekatan ia dengan kalangan ulama Islam terkemuka di tahun 1920-1930-an seperti hubungannya dengan Mohammad Natsir. Sehingga data yang disajikan oleh Dullemen tersebut dapat dibantah sepenuhnya, karena bila dilihat tahun 1915an, Wolff Schoemaker sendiri belum menetap di Bandung yang kemungkinan banyak bersentuhan dengan kalangan aktivis Islam.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//