• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #23: Gentra Istri

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #23: Gentra Istri

Gentra Istri awalnya menjadi salah satu rubrik Sipatahoenan yang menyuarakan isu perempuan. Belakangan Pasundan Istri menerbitkannya menjadi surat kabar mandiri.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Gentra Istri No. 1, Januari 1942, Taoen ka XI. (Foto: Atep Kurnia)

6 Juni 2023


BandungBergerak.id – Setelah Sipatahoenan menjadi harian, pada 1930, rubrik-rubrik yang disajikan dalam surat kabar tersebut kian banyak. Sebelumnya, paling tidak hingga  November-Desember 1929, Sipatahoenan hanya memiliki beberapa rubrik, antara lain “Indonesi” atau “Indonesie” yang berisi kabar-kabar dari sekitar Indonesia; “Loeareun Indonesi” atau “Loeareun Indonesie” (berita luar negeri); “Koropak” (korespondensi Sipatahoenan dengan pelanggannya); “Kiriman” dan “Panembrong” (surat atau artikel dari luar); “Implik-implik” (cerita bersambung); “Sport” (olah raga); “Kaoem Boeoroeh” (berita-berita serikat sekerja); “Ti Pipir Hawoe” (pojok); dan “Leleson” (puisi terikat, guguritan, paling tidak dimuat pada edisi 27 November 1929, 4 Desember 1929, dan 11 Desember 1929).

Pada 1930 dan seterusnya hingga 1942, rubrik-rubrik di atas ada yang masih bertahan, tetapi banyak pula yang baru. Rubrik “Indonesie” menjadi “Indonesia”, “Loeareun Indonesie” menjadi “Telegram”, “Leleson” yang sebelumnya tidak tentu kemudian diterbitkan secara rutin seminggu sekali menjadi “Leleson Dinten Minggoe”, “Ti Pipir Hawoe” berubah menjadi “Panganggoeran”, “Kaoem Boeroeh” menjadi “Pagoejoeban Sagawe” atau kerap disingkat menjadi “Pag. Sagawe”. Sedangkan “Sport” tetap “Sport”.

Sementara rubrik-rubrik yang baru ada “Pergerakan” (isinya seputar pergerakan organisasi-organisasi), “Atikan” (seputar pendidikan), “Pakasaban” (seputar ekonomi), “Gentra Istri” (seputar wacana perempuan), “Ngobrol”, “Ngobrol Ahad Wengi” dan “Tjarita Pondok” (berisi cerita pendek); “Bandoeng: Kota djeung Sawewengkonna” yang berisi kabar-kabar dari Bandung dan sekitarnya, nantinya dikenal secara singkat dengan rubrik “Kota”.

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #20: Mas Atmawinata
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #21: Implik-implik
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #22: Pindah ke Bandung

Perempuan Menerbitkan Cita-cita

Kali ini saya akan membahas rubrik Gentra Istri. Sepanjang yang dapat saya telusuri, rubrik ini mulai dimuat dalam edisi No. 32, 8 Februari 1930. Penulisnya menggunakan nama samaran Nini Mantjawarna, dengan tulisan berjudul “Bade teras tilem?” Inti tulisannya berkisar di sekitar ajakan untuk mengisi rubrik baru tersebut.

Pada paragraf pertama tertulis demikian: “Ningal dina s.s.k sanes mah, kalangan istri teh awet henteu djengdjle gampil ngaleungit, naha ari dina Sipatahoenan bidjilna kalangan istri teh mani ngan sakolepat pisan, ajeuna geus teu tembong deui, djiga noe baris tilem. Naha aja panjakit naon? Sakitoe dina Sipatahoenan kolomna pikeun sadaja istri-istri nempoeh galoer mapaj laratan, naratas djalan kana hakna istri, tapi djiga-djiga kana moebadir, dihadja disajagikeun oge amparan pramedani dina lapang Sipatahoenan bet henteu ditjaralikan”.

Artinya, melihat dalam surat kabar lain, kaum perempuan awet tidak berubah-ubah mudah menghilang. Mengapa dalam Sipatahoenan, terbitnya kaum istri hanya sebentar saja, sekarang sudah tidak terlihat lagi, nampaknya akan sirna. Apa ada penyakit? Padahal dalam Sipatahoenan sudah disediakan kolom untuk semua perempuan untuk menempuh dan merintis jalan untuk mendapatkan haknya, tapi agaknya mubazir, meski sengaja sudah dihamparkan permadani di lapang Sipatahoenan tetapi mengapa tidak diduduki.

Oleh karena itu, Nini Mantjawarna mengajak agar para perempuan turun ke lubuk Sipatahoenan untuk menyebarkan pengetahuan dan pendapatnya, sebagai bekal bagi perempuan yang baru belajar. Sebab sangat disayangkan bila pengetahuan tersebut tidak disebarkan (“Geura marangga atoeh alantjroeb ka leuwi Sipatahoenan bari ngawoer-ngawoer pangartos sareng pamendak, oepami aja, poeloenganeun istri-istri noe masih keneh lelengkah haloe, lebar temen pangartos dipeujeum henteu disebarkeun mah”).

Dari tulisan tersebut, saya tahu rubrik “Gentra Istri” menyuarakan isu-isu keperempuanan, termasuk menuntut hak, dan diharapkan diisi pula oleh para perempuan. Namun, konon sangat disayangkan, meski sudah disediakan rubriknya, tetapi belum banyak perempuan yang berani menulis. Dan saya mendapat kesan dari edisi No. 32, 8 Februari 1930, itu bahwa keberadaan “Gentra Istri” sudah berlangsung beberapa lama, paling tidak sejak Januari 1930. Namun, sayangnya, saya tidak berhasil mendapatkan edisi yang memuatnya.

Namun, dalam perkembangannya saya tahu, berpengaruh atau tidak, tulisan Nini Mantjawarna mendorong para perempuan mengisi rubrik “Gentra Istri”. Karena terbukti dari edisi No. 95, 28 April 1930, Tita dengan tulisannya “Oelah Madjoe Katalangsoe” menulis bahwa dalam Sipatahoenan ia mendapatkan banyak perempuan yang menuliskan cita-citanya, sehingga membuatnya gembira, sebab itu berarti kian banyak perempuan yang mengulik kemajuan untuk keperluan umum. Namun, demikian, Tita menyatakan kaum istri yang sudah mendapatkan gelar “Kaoem Moeda” karena sudah mendapatkan pendidikan, tetapi hanya terjebak pada yang disebut perempuan kaum muda itu adalah perempuan yang hanya bisa berbahasa Belanda. Oleh karena itu, ia mengajak agar kaum perempuan tidak terjebak demikian. Terjebak pada hal-hal yang berbau kebelandaan.

Pena Weuteuh dalam tulisannya “Agama djadi kedok” (edisi No. 170, 30 Juli 1930) menyatakan pula ia sangat gembira karena hampir setiap hari, dalam rubrik “Gentra Istri” ada karangan yang bermaksud hendak mengangkat harkat, derajat, dan martabat perempuan. Sekarang bibit-bibit penulisnya sudah mulai tumbuh, sebagai pertanda kemajuan bangsa Indonesia, dengan titik perhatian pada pendidikan.

Penulis yang menggunakan inisal D dengan tulisannya “Istri Madjoe” dalam “Gentra Istri” (No. 21 Februari 1931) mengakui dengan adanya rubrik Gentra Istri dalam Sipatahoenan serta diisi oleh beberapa karangan buah pena para perempuan yang menjelaskan pergerakan zaman sebagian perempuan bumiputra sehingga mau turun dari tempat tidurnya untuk sama-sama mengejar kemajuan, saya turut gembira. Katanya, ia sungguh 100% setuju kepada kehendak suci mereka, yaitu untuk mengangkat derajat kaum perempuan dan bangsa serta tanah airnya.

Berkala Pasundan Istri

Kehadiran rubrik “Gentra Istri” ternyata beriringan dengan berdirinya Paguyuban Pasundan Bagian Istri yang kemudian lebih dikenal sebagai Pasundan Istri (Pasi). Dalam rubrik tersebut berita tentang akan didirikannya Bagian Istri antara lain mengemuka dalam tulisan “Boengah Amerwata Soeta(“Gentra Istri” dalam edisi 15 Februari 1930) karya S. Sarsih. Ia merasa gembira karena mendapatkan berita dari sumber terpercaya bahwa di Bandung akan dibuka Paguyuban Pasundan Bagian Istri di Bandung dan diketuai oleh Raden Ema Poeradiredja.         

Nji Mantjawarna pun merasa sangat gembira. Dalam tulisannya (“Ngiring Bingah”, rubrik “Gentra Istri”, dalam edisi 24 Februari 1930), ia  mengatakan sangat gembira dan berterimakasih dengan akan dibukanya Bagian Istri di lingkungan Paguyuban Pasundan di Bandung dan akan dipimpin oleh Ema Poeradiredja. Dalam tulisan aslinya, Nji Mantjawarna menulis begini: “Wireh bade medal Pasoendan Bagian Istri di Bd kalajan parantos disebatkeun noe bade djanten tameng dadana eta pagoejoeban nja eta djrg. Ema Poeradiredja. Pribados ngahatoerkeun reboe noehoen laksa kabingahan moega-moega djrg-djrg istri Pasoendan noe parantos karagoengan manah bade ngadegkeun beungkeutanana diidjabah permaksadanana geusan ngabantoe djrg-djrg pameget hakna dina kalangan kabangsaanana”.

Dari Ensiklopedi Sunda (2000: 503-504), saya beroleh keterangan bahwa Pasundan Istri didirikan di gedung Himpoenan Sodara, Bandung, pada 30 April 1930, dengan nama Pasundan Bagian Istri. Saat kongres Paguyuban Pasundan tanggal 27 Juni 1931, ditetapkan Pasundan Bagian Istri dinyatakan berdiri sendiri dengan nama Pasundan Istri (Pasi). Ketuanya Ema Poeradireja, sekretaris Ema Somanagara, dan bendahara Ny. Satjadidjaja. Selanjutnya pada 1932, dengan 11 cabangnya di Jawa Barat, Pasi mengadakan kongres yang pertama. Pada kongres itu diputuskan kedudukan perempuan sebagai ibu dan istri, pemimpin rumah tangga di samping suami, dan warga negara yang sama haknya dengan laki-laki. Pada saat inilah, Pasi menerbitkan Gentra Istri, sebagai berkala untuk menyampaikan persoalan pendidikan, perkawinan, remaja, dan sosial.

Dengan demikian, besar kemungkinan Pasi menggunakan nama rubrik “Gentra Istri” sebagai nama surat kabar mandiri yang diterbitkan oleh Pasi. Sepanjang yang dapat saya telusuri, Gentra Istri sebagai surat kabar diterbitkan setiap bulan (“dikaloearkeun saban sasih”) dalam bahasa Sunda sebagai berkala resmi Pasundan Istri (“Officiel Orgaan Pasoendan Istri’”) di Bandung, antara 1932-1942. Pengelolanya adalah jajaran pengurus senior Pasundan Istri di Bandung (“Rengrengan Sesepoeh Pasoendan Istri Bandoeng”) dan dicetak oleh Drukkerij Pengharepan HB, sebanyak 3000 eksemplar per bulannya.

Dalam perkembangannya, seperti yang nampak dalam laporan “Pasoendan Istri Taoen 1935” (Sipatahoenan, 16 April 1936), khususnya dalam subjudul “Gentra Istri” dikatakan penerbitan surat kabar itu pada 1935 tidak bisa terbit sinambung, penyebabnya uang pemasukan Paguyuban Pasundan dan Pasi berkurang pada 1935, sehingga biaya cetak Gentra Istri sangat sedikit.

Padahal pada setiap kongres kerap dijelaskan agar cabang-cabang Paguyuban Pasundan dan Pasi menyokong penerbitan Gentra Istri. Demikian pula bahan-bahan tulisan dan laporan yang diharapkan datang dari cabang-cabang Pasi tidak terbukti, hanya ada satu-dua saja yang mengirimkannya (“Oenggal taoen dina congres ditjarioskeun jen Gentra Istri teh kedah dideudeul koe sadaja tjabang2 koe karangan noe maroenel, nanging saajeuna teu atjan aja boektina. Nja kitoe deui verslag2 noe kedah dikintoenkeun henteu sadaja tjabang njoemponan, moeng ngan aja 1-2 bae noe sok majeng ngintoenkeunana teh”).

Meski demikian, saya masih dapat melihat penerbitan surat kabar Gentra Istri hingga 1942. Isinya pun tidak jauh berbeda dengan “Gentra Istri” sebagai rubrik Sipatahoenan, yaitu berkaitan dengan Pasi berikut isu-isu perempuan di kalangan bumiputra. Hal ini nampak misalnya pada rubrikasi pada 1940, seperti Gentra Istri No 8, Agustus 1940, Taun ka VIII. Di situ dimuat, antara lain, “Wartos R. S.”, "Kaom Iboe di Europa sareng Amerika”, “Terasna: Perdjagaan bahaja ti awang-awang (luchtbescherming)”, “Serat ti Nonoman Inggris ka Iboena", "3e. Besloten Vergadering Pasi Congres 1940", "4e.Besloten Vergadering Pasi Congres 1940", “Oelah Bosen Diadjar", "Kwartaalverslag 1940 Pasi tjabang Lebak", dan "Hal Roemah Tangga".

Gentra Istri No, 4, April 1941, Taoen ka IX, diisi rubrik dan tulisan "Wartos R. S.", "Wartos ti Redactie", "Putusan-putusan Jaarvergadering Pasoendan Istri taun 1941", "Werkprogramma cabang-cabang Pasi", "Werkprogramma R. S.", "Biantara Djoeragan E. Poeradireja nalika moeka Jaarvergadering Pasi taoen '41", "Pasoendan Istri", "Pamandangan tina Jaarvergadering Pasi taoen '41", "Kaom Iboe sareng Badan-badan Pawakilan (Raad-raad)", "Jaarverslag kas sareng Bank Pasi Tjilimoes taoen 1940", "R. A. Kartini”, “Verslag Bank Pasi Tjimahi taoen 1940", "Kaajaan Perkempelan Kaom Iboe di Bulgariye", dan "Bab Dapoer".

Pada 1942, Gentra Istri terbit hanya dua lembar atau empat halaman. Hal ini dinyatakan oleh redaksi dalam pengumuman "Hatoer oeninga" (Gentra Istri, No.1, Januari 1942, Taoen ka XI). Hal ini berkaitan dengan naiknya harga bahan cetak, terutama kertas, bahkan sangat langka ("jen pangaos keretas sareng roepi-roepi kaperloean njitak woewoeh nerekel. Dupi kabehdieunakeun, djabi woewoeh awis teh, sareng teu aja galeuheun deuih") sekaligus mengecilnya ukuran surat kabar tersebut, padahal asalnya lebar ("manawi koe sakitoe kahartos, naon margina Gentra Istri gentos roepi, djadi benten, asal roebak keretasna djadi heureut").

 Perempuan Jarang Menulis

Bagaimana dengan “Gentra Istri” sebagai rubrik dalam Sipatahoenan? Saya memperoleh jawabannya, setelah membolak-balik koleksi surat kabar tersebut. Di antaranya dari tulisan Ragawa dalam rubrik “Atikan” (Sipatahoenan, 1 Februari 1936), saya tahu saat itu para perempuan sudah jarang mengisi rubrik “Gentra Istri” dalam Sipatahoenan. Kata Narajana, “Moeng bongan bae atoeh, ka behdieunakeun teh rubriek ‘Gentra Istri’ mani karahaan, tara aja wanita ahloelkalami anoe keresa njerat dina Sipatahoenan”.

Neno Kartini dalam rubrik “Leleson Dinten Minggoe” (edisi 12 Februari 1938) bahkan menulis sajak berjudul “Gentra Istri” yang isinya sudah lama tidak melihat rubrik “Gentra Istri” dan penasaran apa yang menyebabkannya menjadi demikian (“Ras emoet Gentra Istri, moelan malen teu patepang, teu kenging diantos2, na naon gara-garana, estoe matak nalangsa, emoet ka alam kapoengkoer, djeung doeloer sering patepang”).

Meski demikian, konon, ia akan selalu setia menantikan pemuatannya dalam Sipatahoenan (“Naha harianeun teuing, nolas teh kamalinaan, dipisono njolowedor, matak haringhang hariwang, hate ngaraos melang, nanging moal weleh noenggoe, ngantos di Sipatahoenan”).

Saya kira puncaknya adalah surat panjang berjudul “Gentra Istri” yang ditulis DH dari Sumedang dan dimuat dalam Sipatahoenan edisi 5 Mei 1939. Ia mempermasalahkan mengapa sudah lama ia tidak melihat “Gentra Istri”, dengan dugaan para pengelolanya barangkali sibuk dan kaum perempuannya sedang mempersiapkan penyambutan kongres di Cianjur (“Doeka ka mana leosna, Gentra Istri anoe sawatawis waktos kapoengkoer sering dipidangkeun dina ieu serat kabar, bet anjar2 ieu katingal koemelendang di medan aosan. Nanging sakitoena deui henteu bade ngagampilkeun panginten sadajana noedjoe rarepot, da oepami seug henteu karewong waktosna mah, pamohalan doegi ka lebeng”).

Di ujung suratnya, ia selalu berharap agar para wartawati yang luas pengetahuannya mau mengisi rubrik “Gentra Istri”, untuk menguraikan kandungan isi hati dan pemikirannya sebagai bahan bacaan kaum perempuan umumnya (“Panoetoep: Moal kendat moemoentang ka wanita wartawan anoe djembar kaoeningana, moegi2 sami laloentoer kalboe ngalebeten Gentra Istri, medar pangeusi galihna, kanggo aosan istri2 saoemoemna”).

Menjawab pertanyaan tersebut, redaksi Sipatahoenan dalam “Noot” di bawah surat DH itu menyatakan, “Sanaos henteu oenggal dinten dina Sip sering dibeberkeun boeah manah, tapak kalamna para wanita. Bentenna ti kapoengkoer teh henteu dina kolom (roebrik) noe notok, nelah Gentra Istri tea” (meski tidak setiap hari, di Sipatahoenan sering dibeberkan buah pikiran, tapak kalamnya para perempuan. Bedanya dari dulu adalah tidak dimuat dalam kolom atau rubrik yang tetap, yang disebut ‘Gentra Istri’) dan “Roepina teu katawis soteh doemeh teu nganggo djenengan istri bae” (Agaknya tidak terlihat sebab tidak menggunakan nama perempuan saja).

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//