• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #24: M. A. Salmun, Kontributor Paling Produktif

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #24: M. A. Salmun, Kontributor Paling Produktif

Mas Atje Salmun (1903-1972) merupakan penulis Sunda yang produktif. Anggota Paguyuban Pasundan, sekaligus kontributor paling produktif bagi Sipatahoenan.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Mas Atje Salmun (1903-1972) semasa muda. (Sumber: Sipatahoenan, 11 Januari 1940)

13 Juni 2023


BandungBergerak.id – Mas Atje Salmun (1903-1972) adalah penulis dan redaktur surat kabar Sunda. Karier kepenulisannya terentang sejak 1920an saat dia baru berusia 20an hingga menjelang akhir hayatnya. Oleh karena itu, banyak karya tulis yang ia hasilkan dan banyak media yang sempat ia lahirkan dan kelola.

Riwayat hidupnya antara lain dapat kita simak dari tulisan Ajip Rosidi (“In Memoriam M.A. Salmoen, 23 April 1903-10 Pebruari 1972” dalam Sinar Harapan edisi 6 Maret 1972) dan Ensiklopedi Sunda (2000: 567-568) yang juga disunting oleh Ajip.

Dari dua sumber pustaka itu, saya tahu Salmun dilahirkan di Rangkasbitung, Banten, 23 April 1903. Selulus HIS, ia melanjutkan ke sekolah PTT. Kemudia ia bekerja di kantor pos dan telegram berturut-turut di Rangkasbitung, Tanjungkarang, dan Cianjur. Di lingkungan kantor pos, Salmun bekerja hingga 1937. Selanjutnya pada 1938 hingga 1943, ia menjadi redaktur Balai Pustaka. Ia juga sempat bekerja di kalangan pamongpraja Serang dan Rangkasbitung tahun 1940an. Tahun 1949-1951 ia kembali ke Balai Pustaka, lalu pindah ke Departemen Sosial hingga pensiun pada 1959.

Karier kepenulisannya dimulai ketika M. A. Salmun mengarang novel berjudul Moro Djoelang Ngaleupaskeun Peusing (1923) semasa bekerja di Tanjungkarang, disusul dengan Soengkeman Geloeng (1931), Ciung Wanara (1939), Moendinglaja (1940), Ekalaja Palastra (1940), Asmaradahana (1942), Goda Rancana (1942), Padalangan di Pasundan (1949), Gogoda ka nu Ngarora (1951), Kandaga Kasusastran Sunda (1962), Budah Cikapundung (1965), Angeun Haseum (1965), Villa Batinyeri (1966), Neangan Bapa (1966), Masa Bergolak (1968), dan lain-lain.

Sebagai kontributor, Salmun banyak mengisi surat kabar Sipatahoenan, Parahiangan, Volksalmanak Soenda, dan lain-lain. Ia turut pula mendirikan dan menjadi redaktur majalah Tjandra (1954), Mangle (1957), dan Sari (1963). Dalam berbagai media Sunda itu, ia banyak menulis cerita bersambung dan karangan lain, dan banyak di antaranya yang kemudian dibukukan.

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #21: Implik-implik
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #22: Pindah ke Bandung
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #23: Gentra Istri

Banyak Nama Samaran

Saat menulis, M. A. Salmun banyak menggunakan nama samaran, di antaranya M. A. S., Hajati, Musalman, Abracadabra, Narajana, Abiyasa, Jusupadi, Rukmini, Atje, Doelatjis, Ragawa, dan lain-lain. Baik nama asli maupun sandiasma itu sangat kentara saat dia menulis untuk Sipatahoenan. Meskipun tetap saja nama aslinya merupakan nama utama yang ia gunakan dalam surat kabar terbitan Paguyuban Pasundan itu.

Tulisan pertamanya yang saya dapat temukan dalam Sipatahoenan adalah “Noord breekt Wet” (edisi 27 Juli 1926). Isinya seputar pelacuran, terutama di Bandung. Antara lain dia menyatakan, “Di Kota Bandoeng reana poeloehan ... terkadang ratoesan ... awewe noe kahormatanana djadi handap pisan, lantaran boga ‘kahiroepan’ noe katjiad aebna” (Di Kota Bandung ada puluhan ... malah bisa jadi ratusan ... perempuan yang kehormatannya menjadi rendah sekali, akibat punya ‘kehidupan’ yang sangat nista).

Di Bandung, ia mencontohkan pelacur-pelacur ada di Elita, Orion, Empress, Feestterrein, dan lain-lain. Padahal ketika Salmun masih bekerja di Tanjungkarang pada tahun 1923-1924, konon sudah ada larangan perempuan keluar di atas pukul 20.00 (“Moen teu salah, kira-kira taoen 1923/1924 basa sim koering dipeuntas keneh, matja dina Neratja jen awewe karitoe teh ditarangkepan, malah asana matja, jen nepi ka aja larangan, awewe loemantoeng ti peuting liwat poekoel dalapan”). Dan pada tahun 1926, katanya, fenomena perempuan pelacur itu belum berkurang (“Geus taoen 1926 lain beuki ngoerangan ‘neneng-neneng’ teh!”).

Memang perhatian Salmun terhadap isu perempuan terbilang besar. Karena dalam tulisan berikutnya saya temukan lagi tulisan “P[agoejoeban] I[stri] R[angkas]” (13 November 1930). Katanya, ia turut mendirikan organisasi perempuan tersebut, tidak berorientasi politik dan berharap organisasi tersebut bisa terus maju. Dari tulisan sebelumnya dan yang kedua ini, saya jadi bisa menyimpulkan bahwa antara 1926 hingga 1930, Salmun sudah tidak bekerja di kantor pos Tanjungkarang, melainkan sudah dipindahkan ke Rangkasbitung, Banten.

Pada edisi 27 Mei 1931, tersaji tulisan “Naon hartosna ‘Pagoejoeban’?” yang merupakan pidato Salmun pada pertemuan Pagoejoeban Toeloeng Tinoeloengan Istri di Pandeglang, Banten. Tulisan ini juga menegaskan komitmen M. A. Salmun untuk dalam kerangka mendorong emansipasi perempuan di kalangan bumiputra, sekaligus menegaskan bahwa hingga Mei 1931 Salmun bekerja di daerah Banten serta aktif berorganisasi. Dalam “Reclame Respect” (21 Juni 1933) masih bisa dibilang Salmun masih bekerja dan aktif bergoranisasi di Rangkasbitung.

Dari berita “Tjalon Leden Prov. Raad” (27 September 1933), organisasi yang diikuti Salmun menjadi jelas. Ia anggota Paguyuban Pasundan yang terbilang sangat aktif, sehingga pada 28 September 1933 oleh Pengurus Besar Paguyuban Pasundan, diajukan sebagai seorang calon anggota Dewan Provinsi Jawa Barat. Selain Salmun yang saat itu masih bekerja sebagai “klerk PTT” (juru tulis kantor pos), ada Oto Iskandar di Nata, Atik Soeardi, Moehamad Enoch, Djajadiningrat, Moehamad Moehjiddin, Ahmad Atmadja, Idih Prawira di Poetra, Achmad Natanagara, Wirasendjaja, Adjat Soedradjat, Soetisna Sendjaja, Ios Wiriaatmadja, Djoendjoenan, dll., yang sama-sama diajukan oleh Pengurus Besar Paguyuban Pasundan.

Oleh karena itu, dapat saya mengerti mengapa Salmun sangat aktif menulis di Sipatahoenan. Bahkan dengan beragam nama samaran yang digunakannya, bisa dibilang ia merupakan kontributor paling produktif bagi Sipatahoenan.

Sejak 1934, M.A. Salmun dipindahkan ke Cianjur. Di kota ini dia juga aktif di Paguyuban Pasundan, bahkan menjadi salah seorang pengurusnya. Ia antara lain hadir pada acara silaturahmi Pasoendan Bagian Kabinangkitan dari Cianjur di Clubhuis Pasoendan pada 17 November 1934 (20 November 1934); tulisan “Milih Lid Volksraad” sebagai bahan ceramah fraksi Paguyuban Pasundan Cabang Cianjur (2 Januari 1935); ikut kongres Paguyuban Pasundan (29 April 1935); menjadi panitia pelantikan bupati Cianjur pada 20 Juli 1935 (17 Juli 1935); perpisahan dengan Bupati Cianjur R. T. Sunarya yang diangkat menjadi bupati Ciamis (“R.T. Soenarja djeung Pasoendan Tjiandjoer”, edisi 19 Maret 1936); hadir dalam pertemuan propaganda Spaarkas Pasundan Istri Cianjur (24 Juni 1936); menjadi sekretaris pengurus Bank Pasoendan Cianjur antara 1931-1935 (25 Juni 1936); turut mendirikan Gending Karesmen Moengdinglaja di Cianjur pada 18 September 1933, tetapi mengalami kemunduran, dan akan mendirikan semacam grup gending karesmen lagi (26 Agustus 1936); dan tercatat sebagai salah seorang anggota Dewan Kabupaten Cianjur dari fraksi Paguyuban Pasundan (30 Desember 1937).

Nama M. A. Salmun pun digunakan untuk menulis karya kreatif seperti sajak berjudul “Tebih ti Pasoendan” pada rubrik “Leleson Dinten Minggoe” (9 Februari 1935), cerita bersambung “Hate Awewe” yang dimuat dari edisi 27 November 1937 hingga 22 Desember 1937 sebanyak 21 nomor, dan drama bertajuk “Asmaramargana” yang dipertunjukkan dalam Kongres Paguyuban Pasundan XXIV dan Pasi VIII di Cianjur (22 April 1939).

Karena diangkat menjadi redaktur (Adjunct Hoofdredacteur) di Balai Pustaka, pada malam 15 Januari 1938, Paguyuban Pasundan Cabang Cianjur mengadakan perpisahan bagi M. A. Salmun. Sebagaimana yang dilaporkan dalam tulisan “Patoeraj Tineungna Djoeragan Salmoen” (edisi 18 Januari 1938), di antara yang dikatakan ketua Cabang Cianjur Sastraprawira, Salmun adalah anggota Paguyuban Pasundan sejati (“Koe kitoe tea mah koemaha teu rek kitoe da poegoeh andjeunna teh diakoe koe Pas jen andjeunna Pasoendan toelen”).

Setelah pindah ke Batavia, M. A. Salmun tetap aktif di Paguyuban Pasundan. Seperti yang dikabarkan dalam edisi 13 Mei 1938, ia terpilih menjadi salah seorang pengurus Cabang Jakarta, yaitu sebagai sekretaris pertama, dengan ketua Adang Kadaroesman, wakil ketua Djajamihardja, sekretaris kedua Sata, bendahara pertama Enang Koesnadi, bendahara kedua W. Atmadja, dan beberapa komisaris. Selain itu, ia tergabung dalam Redactie Commissie Orgaan Pasoendan yang antara lain menyampaikan ceramah perihal bahasa Sunda sehari-hari dan dalam kesusastraan pada 23 Desember 1938 di gedung HIS Pasoendan Bandung (21 Desember 1938).

Selama menjadi redaktur di Balai Pustaka, antara lain M.A. Salmun banyak menulis esai mengenai dunia pewayangan, mitos-mitos Sunda, opera Sunda, dan lain-lain untuk Sipatahoenan. Misalnya, “Patilasan sareng Sasakala di Pasoendan” (21, 23, dan 24 Januari 1939), “Gending Karesmen atawa Taman Karesmen??” (4 Februari 1939), “Rasiahna Ngarang” (28 Februari 1939 dan 4 Maret 1939), “Sadjarah Pagoejoeban Pasoendan” (11 Januari 1940), “Djisim Koering di RR” (8 Juli 1940), “Padalangan di Pasoendan” (16 Juli 1940), “Saha Pantjawala teh?” (30 Juli 1940), “Oerang Badoej” (6 dan 9 Juni 1941), “Deboes” (18 November 1941), dan “Wawangsalan” (15 dan 16 Desember 1941).

Narajana, Ragawa, dan Doelatjis             

Dengan menggunakan sandiasma Narajana, M.A. Salmun banyak menulis karya sastra berupa sajak dan esai. Sajak-sajaknya yang menggunakan nama Narajana terutama dimuat dalam rubrik “Leleson Dinten Minggoe”, seperti “Djati Kasilih koe Djoenti” (11 Oktober 1930), “Piliheun antara: Boedi & Rasa-Djasad & Sipat” (4 Januari 1936), “Emh ...” (25 Januari 1936), “Kasopanan” (edisi 22 Februari 1936), “Emh Ethiopie ...!!!” (23 Mei 1936), “Liefde ... Ras-criterium ... en politiek” (29 Mei 1936), dan “Pantjarinengga: Petikan tina Astogini” (10 Juli 1936). Karya-karya dalam bentuk esai atau opini juga ada. Misalnya tulisan “Bantam-Bantamers Beweging” (21 Agustus 1931), “Diganda” (18 Desember 1935), “Eenscheidachte (Sapatekadan)” (24 Desember 1935), “Istri noe Mimiti djadi Ponggawa BB” (12 Februari 1936), “M. A. S.” (2 Maret 1936), dan “Jury” (20 Juli 1936).

Komitmen Narajana untuk berkontribusi nampak tak berubah tatkala ada badai fitnah yang menerpa namanya, karena dikelirukan dengan nama Arajana yang menyerang Sipatahoenan. Agar jelas duduk soalnya, Narajana mengirimkan surat dan dimuat dalam edisi 16 Maret 1931 dengan tajuk “Arajana djeung Narajana aja Doea”. Katanya, “Abah, ti djaman Soet Sen keneh, langkoeng oeninga saha sareng koemaha ari Narajana teh houdingna terhadep ka Sip. Ti djaman di peuntas keneh djaman Sip djadi weekblad, Narajana geus aja (onder een anderen schuilnaam” (Abah, sejak masih Soetsen, lebih tahu siapa dan bagaimana sikap Narajana terhadap Sipatahoenan. Sejak zaman masih bekerja di pulau seberang saat Sipatahoenan masih mingguan, Narajana sudah ada [di bawah nama aslinya]).

Di ujung suratnya, Narajana sekali lagi menegaskan komitmennya bagi Sipatahoenan. Katanya, siapapun redakturnya, ia akan senantiasa seperti dulu (“Nadjan saha bae noe ngamoedi Sipatahoenan ari Narajana mah terhadep ka Sipatahoenan tetep sabareto”).

Selanjutnya, dengan menggunakan nama Ragawa, tulisan-tulisan Salmun di Sipatahoenan berkisar di sekitar berita atau laporan seperti “Ragawa Ngabedjaan” (31 Agustus 1933); sajak-sajak dalam rubrik “Leleson Dinten Minggoe” seperti “Kajakinan” (2 September 1933), “Kaboedajan Soenda!” (23 Desember 1933); esai seperti “Dalem” (20 November 1933), “Dangding” (21 Desember 1933), “Basa Soenda Malarat??” (26 Oktober 1934), “Lelemboetan” (5 Januari 1935), “Komara sareng Wisit” (29 Januari dan 5 Februari 1935); cerita pendek dalam rubrik “Ngobrol Wengi Ahad” seperti “Ditjatjag koe ... letah!” (26 Mei 1934), “Boedjangga Pinandita” (11 Agustus 1934), “Tetela jen Hade ...??” (25 Agustus 1934), “Ngoebaran Malaise!” (22 September 1934), “Soempah” (27 Oktober 1934), “Kahormatan Bangsa” (3 November 1934); dan cerita bersambung seperti “Cleopatra” (13-21 Maret 1935).

Sementara dengan nama Doelatjis, Salmun lebih banyak menulis laporan. Misalnya tulisan bertajuk “Kakaren Congres” (26 April 1935), “Doelatjis & Conges” (28 Maret 1936), “Kakaren Congres” (23 April 1938), “Neuraan Congres” (13 Maret 1939), “Kakaren Kongres” (17 April 1939), dan “Kakaren Lebaran” (30 November 1939). Dalam tulisan-tulisan itu, suasana yang dibangun Salmun sangat hidup dan segar dengan bahasa-bahasa Sunda sehari-hari yang kaya banyolan, sehingga terasa sangat plastis dan nyastra.

Mengenai Doelatjis, Ragawa, dan Sitjaloed sebenarnya orang yang sama, bisa dilihat dari berita singkat “Noehoen” oleh redaksi Sipatahoenan (25 Juni 1936). Di situ antara lain dikatakan “Alhamdoelillah, teu bared-bared atjan, pasangkelid Doelatjis alias Sitjaloed alias Ragawa ... moesoeh pating tjakakak, peureup kapegat” (Alhamdulillah, tidak terlukas sedikit pun, dengan jurus-jurus Doelatijis alias Sitjaloed alias Ragawa ... musuh tertawa-tawa, pukulan pun tertahan).

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//