• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #25: Pengadilan Pemimpin PNI dan Sebutan Si Etjes

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #25: Pengadilan Pemimpin PNI dan Sebutan Si Etjes

Gelar Si Etjes diberikan pada Sipatahoenan karena begitu rincinya Bakrie Soeraatmadja melaporkan perjalanan pengadilan Sukarno dkk. di Landraad Bandung tahun 1930.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Tulisan pertama dari 70 tulisan laporan persidangan para pemimpin PNI yang dimuat dalam Sipatahoenan sepanjang tahun 1930. (Sumber: Sipatahoenan, 20 Agustus 1930)

16 Juni 2023


BandungBergerak.id – Akhir tahun 1929, menjelang Sipatahoenan menjadi harian, terjadi penangkapan para pemimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh tangan-tangan penguasa kolonial. Atas kejadian tersebut, berikut proses pengadilan para pemimpin PNI selama tahun 1930, Sipatahoenan menyiarkannya sangat rinci.

Proses ini dalam 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan (1933: 2) antara lain dijelaskan bahwa setelah Sipatahoenan menjadi harian, baru empat - lima bulan, kian terlihat kemajuannya, apalagi menjelang akhir tahun itu sedang berlangsung proses pengadilan para pemimpin PNI, sehingga setiap orang ingin mengetahuinya; oleh karena itu, tidak heran bila setiap hari banyak yang meminta jadi langganan, sebab Sipatahoenan sengaja mengirimkan penulis laporan dari Tasikmalaya ke Pengadilan Bandung pada setiap ada sidang perkara PNI. Bahkan pemimpin redaksinya yang menjadi penulis laporannya.

Sebelumnya, dalam “Robahan Sipatahoenan” (Sipatahoenan, 1 November 1930) diterangkan pada hari itu Sipatahoenan sebagai harian sudah genap sepuluh bulan. Di situ juga dikatakan sejak catur wulan pertama jumlah pelanggannya setiap bulan terus bertambah, apalagi sekarang setelah ada laporan PNI yang disusun oleh Bakrie demikian jelas, menyebabkan datangnya para pelanggan baru Sipatahoenan seperti hujan.

Selain itu, untuk memajukan Sipatahoenan selama sepuluh bulan itu di Bandung diadakan bijkantoor atau kantor cabang yang bertempat di Spoorstraat. Karena di Bandung tidak ada redaktur, itu sebabnya direksi Sipatahoenan memutuskan mengangkat Bakrie Soeraatmadja sebagai redaktur di Bandung sekaligus untuk menjaga bijkantoor. Sementara untuk urusan umum Sipatahoenan atau pemimpin redaksinya di Tasikmalaya diserahkan kepada A. S. Tanoewiredja.

Dari tulisan “Bijkantoor Sipatahoenan di Bandoeng” (Sipatahoenan, 18 November 1930) yang ditulis oleh Ahmad Atmadja, saya tahu semula bijkantoor Sipatahoenan di Bandung akan diadakan pada 1 Januari 1931. Tetapi Bakrie sudah berada dua bulan lebih di Bandung untuk menyusun laporan pemeriksaan para pemimpin PNI, yang hingga saat itu belum usai. Oleh karena itu, Bakrie harus meninggalkan istri dan anak-anaknya di Tasikmalaya, dan itu berarti pengeluaran yang besar bagi Sipatahoenan.

Dalam keadaan demikian, Bakrie memohon kepada direksi untuk mengadakan bijkantoor di Bandung dan ia sanggup mengepalai kantor tersebut (“Nja Djoeragan Bakrie ngadamel poerstel ka Directie Sipatahoenan soepaja di Bandoeng ngajakeun bijkantoor sareng andjeunna sanggem ngaloeloegoean eta bijkantoor di Bandoeng”).  Direksi mengizinkannya dan pada 16 November 1930, Bakrie sekeluarga pindah dari Tasikmalaya ke Bandung.

Dari uraian di atas, kita tahu penulis laporan sidang yang melibatkan Soekarno dan kawan-kawan itu adalah Bakrie Soeraatmadja. Ini diperjelas dalam SipatahoenanIr. Soekarno Nummer” edisi 31 Desember 1931. Di bawah potret Bakrie diberi keterangan: “Verslaggever Sipatahoenan dina papariksaan PNI noe henteu aja towongna dina 50 kali zitting djero doea boelan njieun verslagna eta papariksaan. Nja mimiti ti harita pisan Sipatahoenan ti para langgananana meunang titel Si Etjes teh, lantaran verslagna tea tjoekoep tetela djeung matak kaharti”.

Artinya, penulis laporan Sipatahoenan dalam 50 kali persidangan pemimpin PNI yang berlangsung selama dua bulan merekam rincian tiap sesi persidangannya. Sejak saat itulah Sipatahoenan mendapatkan gelar dari para langganannya sebagai Si Etjes (si jelas), sebab laporannya demikian gamblang dan membuat paham.

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #22: Pindah ke Bandung
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #23: Gentra Istri
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #24: M. A. Salmun, Kontributor Paling Produktif

Lima Puluh Kali Persidangan

Saya sendiri mengumpulkan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan proses pengadilan Soekarno dan kawan-kawan di Sipatahoenan selama tahun 1930. Dari penelusuran saya, paling tidak, ada 70 edisi Sipatahoenan yang berisi laporan persidangan terdakwa dan saksi-saksi, pembelaan Soekarno, pembelaan para pengacaranya, dan jatuhnya vonis. Laporan-laporan itu mulai dimuat sejak edisi 20 Agustus 1930 hingga 29 Desember 1930.

Laporan verbatim atau stenografi persidangan Soekarno dan kawan-kawan diberi tajuk “Perkara Opat Leiders PNI”, dengan panjang tulisan antara satu hingga dua halaman dari empat halaman Sipatahoenan. Pada edisi 20 Agustus 1930 antara lain tertulis “Poe Senen tanggal 18 Agustus 1930 Landraad Bandoeng geus mariksa perkarana opat leiders PNI nja eta para djoeragan Ir. Soekarno, Raden Gatot Mangkoepradja, Maskoen djeung Soepriadinata” (Hari Senin tanggal 18 Agustus 1930, Pengadilan Bandung telah memeriksa perkara empat pemimpin PNI yaitu Ir. Soekarno, Raden Gatot Mangkoepradja, Maskoen dan Soepriadinata).

Persidangan hari ketiga dan keempat berlangsung pada 21 dan 22 Agustus 1930 yang dilaporkan dalam edisi 22 dan 23 Agustus 1930. Pada hari ketiga konon banyak dihadiri penonton, meskipun sebelumnya yang diizinkan hanyalah keluarga terdakwa dan jurnalis. Tapi setelah agak lama dan ada empat-lima orang yang masuk serta penjagaan polisi melonggar, penonton bisa masuk banyak (“Dina poe ieu reana noe laladjo angger keneh bae, tapi sakoemaha noe enggeus bae rea anoe henteu meunang asoep, malah mimitina mah noe meunang asoep teh ngan familiena sakitan-sakitan djeung journalisten bae. Tapi saenggeusna rada lila aja opat lima noe sedjen arasoep. Perdjagaan politie tetep sakoemaha noe enggeus bae”).

Persidangan hari kesembilan, 2 September 1930, dihadiri oleh dua orang anggota Volksraad yaitu J. E. Stokvis dan M. H. Thamrin. Mereka berdua ingin mengetahui jalannya persidangan. Selain mereka, Ir. Anwari (Sekretaris Majelis Pertimbangan PPPKI dan ketua PNI Cabang Surabaya) juga datang (edisi 4 September 1930). Pada persidangan kesepuluh, 10 September 1930, dihadirkan saksi Albreght (Commissaris van Politie 1e Klas di Bandung) (edisi 5 September 1930). Pada pemeriksaan ke-15 dan ke-16, 10-11 September 1930, Stokvis hadir lagi dalam persidangan (edisi 12-13 September 1930). Selanjutnya dalam persidangan ke-19, 16 September 1930, yang dihadirkan sebagai saksi adalah Wedana Lembang, Wedana Cimahi, Camat Padalarang, dan Camat Pameungpeuk (edisi 18 September 1930). Pada sidang ke-20 tanggal 17 September 1930, Wedana Banjaran, Camat Rancaekek, yang dijadikan saksi (edisi 19-20 September 1930).

Saksi-saksi lain yang dihadirkan adalah R. Inoe Perbatasari pada sidang ke-21 (18 September 1930), Setia alias Padma, Soedjadi alias Soegito,  pada sidang ke-22 (22 September 1930), Mr. Roskott yaitu “Ambtenaar ter Beschikking di Procureur Geneeral, Weltevreden, pada sidang ke-23 (23 September 1930), Pakih Soemawinata (juru tulis Sterrenwacht, Lembang) dan Djodjo pada sidang ke-24 (24 September 1930), Soewita alias Mahmud dari Kampung Cijerah, Desa Andir, pada sidang ke-25 (25 September 1930), dan lain-lain.

Sidang ke-50 berlangsung pada hari Kamis, 6 November 1930, dan dimuat dalam edisi 8 dan 9 November 1930. Pada hari itu, Soekarno meminta keringanan kepada hakim agar sebelum pembelanya menyusun pledoi, ia akan membacakan pembelaan yang disusunnya sendiri (“Ir. Soekarno menta ka President soepaja dibere kalonggaran, samemehna Advocaten njieun pledooi [perlawanan], manehna rek matja perlawanan beunangna sorangan”). Selain itu, pembelanya, Mr. Sastromoeljono, mengajukan permintaan agar para terdakwa ditahan di luar, dengan surat permohonan bertitimangsa Bandung, 5 November 1930.

Senin, 1 Desember 1930, Soekarno menyampaikan nota pembelaannya yang kemudian kita kenal sebagai “Indonesia Menggugat”. Hari itu, persidangan dihadiri antara lain empat pemimpin PNI yang menjadi pesakitan, Gobee (Adviseur voor Inlandsche Zaken), De Jongh, Swemmer (Chef militaire politieke inlichtingendienst), anggota Volksraad J. E. Stokvis dan M. H. Thamrin, dan para pembela yaitu Mr. Sastromoeljono, Mr. Sartono, dan R. Idih Prawira di Poetra.

Dalam edisi 2 Desember 1930 dikatakan, “Poe Senen kamari landraad Bandoeng mimiti deui mariksa opat leiders PNI. Koe actiefna Redacteur Sipatahoenan di Bandoeng kaajaanana landraad bisa ngabedjaan ka redactie per perstelegram ...” (Hari Senin kemarin, pengadilan Bandung mulai lagi memeriksa empat pemimpin PNI. Karena aktifnya redaktur Sipatahoenan di Bandung keadaan pengadilan bisa diinformasikan kepada redaksi melalui telegram pers ..). Tentu saja, yang dimaksud dengan redaktur di Bandung adalah Bakrie Soeraatmadja.

Ringkasan pembelaan Soekarno dimuat dalam edisi 2 hingga 4 Desember 1930. Selanjutnya pada 3 Desember 1930, Mr. Sartono, Idih Prawira di Putra, dan Mr. Sastromoeljono menyampaikan pembelaannya yang kemudian ringkasannya dimuat secara bersambung dari edisi 5 hingga 10 Desember 1930.

Akhirnya pada edisi 27 dan 29 Desember 1930, Sipatahoenan memuat proses vonis yang dijatuhkan pengadilan Bandung terhadap empat pemimpin PNI pada Senin, 22 Desember 1930. Karena terbawa suasana, redaktur Sipatahoenan di Bandung Bakrie Soeraatmadja menulis secara puitis, “Poe Senen tanggal 22 Desember 1930, dajeuh Bandoeng noe dilingkoeng koe goenoeng, kawas noe ngandoeng kabingoeng, beda pisan ti sasari, noe sasarina mah ti barang meletek sarangenge oge, matak seger matak hegar, tapi dina poe eta mah dajeuh Bandoeng semoe aloem, karimboenan koe halimoen, angkeub koe reueuk maleukmeuk, matak samar titingalan, kawas pisan noe mawa totonden goreng”.

Artinya, hari Senin 22 Desember 1930, Kota Bandung yang dilingkungi gunung nampak diliputi rasa bingung, beda sekali dari biasanya, yang biasanya sejak matahari terbit membawa rasa segar dan hegar. Tapi pada hari itu, Kota Bandung agak alum tertutupi kabut, gelap karena warna hitam kusam, membuat penglihatan samar, mirip sekali pembawa pertanda buruk.

Selanjutnya, Bakrie mengabsen orang dan pihak yang menghadiri vonis itu. Di antaranya ada Ir. Anwari dari Surabaya, Mr. Sastroamidjojo dari Solo, Dr. Soekiman petinggi PSI dari Yogyakarta, Prof. Dr. Westra dari THS Bandung. Sementara perwakilan paguyuban dan sekolah-sekolah tinggi antara lain dari PSI, Paguyuban Pasundan, Boedi Oetomo, Sarekat Madoera, Sarekat Soematra, mahasiswa RHS dan THS. Setelah vonis dijatuhkan, konon, Kota Bandung terasa hibuk karena banyaknya orang yang saling tanya mengenai keputusan yang dijatuhkan kepada empat petinggi PNI itu.

Apalagi saat beritanya menyebar ke perdesaan dan kampung-kampung, apalagi di dalam kota, karena redaksi Sipatahoenan sengaja menyebarkan beribu-ribu surat pengumuman yang berisi vonis tersebut (“Saenggeusna eta bedja nerekab ka pilemboeran, ka pasisian, sok soemawonna di djero dajeuh mah, boeboehanana ngahadja Sipatahoenan njebarkeun mangreboe-reboe soerat bewara njaritakeun poetoesanana pangadilan tea”).

Sebutan Si Etjes

Hikmah di balik masifnya pemberitaan pengadilan empat pemimpin PNI antara 18 Agustus hingga 22 Desember 1930 itu, Sipatahoenan mendapat julukan Si Etjes. Seperti yang disebutkan dalam “Ir. Soekarno Nummer” tanggal 31 Desember 1931, Bakrie Soeraatmadja menjadi penulis laporan bagi Sipatahoenan selama persidangan pamimpin PNI sebanyak 50 kali, sehingga sejak saat itulah Sipatahoenan mulai memperoleh sebutan Si Etjes dari para langganannya, karena laporannya demikian terang dan membuat paham.

Perihal sebutan Si Etjes disebut-sebut Bakrie dalam tulisannya “Sipatahoenan dina Djaman Djadjahan” dalam Sip 1923-1953 (1953: 8). Kata Bakrie, justru kejadian penangkapan dan pengadilan para pemimpin PNI menjadi salah satu pendorong Sipatahoenan dijadikan sebagai harian. Demikian yang dikatakannya, “Eta waktu anu mustari tea, ku Sipatahoenan dipake djalan pikeun dikaluarkeun unggal powe, dumeh dina mangsa harita, umumna rajat Indonesia, nja kitu deui urang Sunda, pada hajang ngabandungan eusi papariksaan Pangadilan Landraad Bandung ka para Pamingpin PNI (Partai Nasional Indonesia), nja eta Sdr. Ir. Soekarno, Sdr. Rd. Gatot Mangkoepradja, Sdr. Maskoen djeung Sdr. Soepriadinata”.

Menurut Bakrie, total persidangannya yang berlangsung sekitar tiga bulan itu sebanyak 50 kali, ditulis seluruhnya dalam bahasa Sunda, meskipun dalam persidangan umumnya menggunakan bahasa Melayu dan sesekali bahasa Belanda. Sejak saat itulah, kata Bakrie, Sipatahoenan mendapatkan gelar Si Etjes (“Ti harita Sipatahoenan meunang panglandih ngaran Si Etjes ti para langganan”).

Lalu, Sipatahoenan sendiri sejak kapan menggunakan kata Si Etjes? Hasil penelusuran saya membuktikan kata Si Etjes sudah digunakan pada edisi 15 Desember 1930 atau seminggu sebelum empat pemimpin PNI dijatuhi vonis. Kata Si Etjes saya temukan dalam tulisan “Njoetji Saksi” terutama pada kutipan berikut ini: “Dina keur dipariksana ieu perkara pon kitoe keneh, sakoer anoe titen matja verslagna dina kabar Si Etjes alias Sipatahoenan, mangpoeloeh-poeloeh rewoe djelema miloe doeka, mangdoekakeun koe milikna djelema anoe maksoed boemela ka lemah tjaina tjara Ir. Soekarno cs”.

Artinya, ketika perkara ini sedang diperiksa demikian pula setiap orang yang teliti membaca laporan dalam surat kabar Si Etjes alias Sipatahoenan, berpuluh-puluh ribu orang turut berduka, turut berduka atas nasib orang yang hendak membela tanah airnya seperti Ir. Soekarno dan kawan-kawan.

Selanjutnya, kata Si Etjes antara lain ditemukan dalam rubrik “Ti Pipir Hawoe” terutama dalam tulisan “Garoet Tigerat koe doeit” (edisi 6 November 1931) pada kutipan “tapi tjoekoep koe matja djeung ngadenge bedja noe aja di Si Etjes” (tapi cukup dengan membaca dan mendengar kabar yang ada dalam Si Etjes) dan “Kadali Hawa Napsoe” (edisi 30 November 1931) pada kutipan “Pang Abah ngabahas tina gogoda, tina Abah seuri koneng matja Si Etjes noe mangkoekna” (Sebab Abah membahas hal godaan itu, lantaran Abah menjadi tersenyum-senyum saat membaca Si Etjes kemarin lusa).

Bahkan ada tulisan khusus yang menggunakan kata Si Etjes yaitu “Angen-angen Kamoedi Si Etjes” (edisi 29 Januari 1932) dan menjadi bahasan utama dalam tulisan “Sipatahoenan Contra Goejoer” (edisi 3 Maret 1932). Dalam tulisan “Angen-angen Kamoedi Si Etjes” yang ditulis Ojot dijelaskan tentang persuratkabaran terutama niatan direksi Sipatahoenan untuk tidak menaikkan harga berlangganan, bahkan bila berlebih akan dijadikan sebagai bonus tambahan lembaran terbitannya.

Begini yang ditulis Ojot, “Leuwih terang deui, lamoen oerang daek ngingetkeun kana harewosna kamoedi Si Etjes anoe diharewoskeun ka Ojot dina sawatara poe katoekang jen Si Etjes tjenah henteu ngabogaan niat kana arek naekeun harga abonnena, sabalikna malah Si Etjes ngabogaan niat pasesaanana tina waragad Si Etjes arek dipake nambahan lambaranana”.

Agaknya, sebutan Si Etjes terus digunakan, paling tidak hingga 1938. Misalnya seperti yang terbaca dari berita “Oh, Terlaloe Dong!!!” (edisi 25 Januari 1937) pada kutipan “Haneut keneh pisan, geuning koe Si Etjes geus didalangkeun koemaha optreidingna [taladjakna] sabagian militaire veldpolitie atawa leuwih pajoes lamoen diseboet marsose teh di kota Rangkasbitoeng ...” (Baru saja terjadi, kan oleh Si Etjes sudah dikisahkan bagaimana tindak-tanduk sebagian polisi lapangan militer atau lebih pas bila disebut marsose yang ada di Kota Rangkasbitung).

Satu contoh lagi dari rubrik “Panganggoeran” bertajuk “Taman Batik Toko Halim” (edisi 8 Juni 1938) pada kutipan “Saoemoer Sipatahoenan koemelendang di alam doenja, advertentie Toko Halim geus midang di Si Etjes nepi ka ajeuna oemoerna geus 15 taoen” (Selama Sipatahoenan hidup di dunia, iklan Toko Halim sudah dimuat dalam Si Etjes hingga sekarang selama 15 tahun).

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//