• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Hati-hati, Mengingkari Janji Menikahi dapat Terjerat Hukum

MAHASISWA BERSUARA: Hati-hati, Mengingkari Janji Menikahi dapat Terjerat Hukum

Mengingkari janji menikahi bisa berbuah gugatan karena termasuk perbuatan melanggar hukum. Sudah ada yang dihukum pengadilan dengan membayar ganti rugi Rp 150 juta.

Gladys Callista Natasha Tanusaputro

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Janji akan mengawini dapat berbuah gugatan jika diingkari dan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). (Ilustrasi: Gladys Callista Natasha Tanusaputro)

16 Juni 2023


BandungBergerak.id – Sebelum terjadinya perkawinan, salah satu pihak bisa saja menjanjikan bahwa dirinya akan menikahi pasangannya entah untuk mendapatkan sesuatu, atau memang benar tulus. Biasanya janji kawin ini dilakukan untuk mengikat satu sama lain, janji kawin ini juga dapat dilakukan secara lisan dan tetap berkekuatan hukum sama dengan yang tertulis.

Janji kawin yang dimaksud di sini bukan perjanjian pranikah, perjanjian pisah harta, ataupun perjanjian perkawinan yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Janji akan mengawini tersebut tidak dapat dijamin 100% akan terjadi karena sangat dimungkinkan pihak tersebut mengingkari janjinya. Padahal, persiapan perkawinan sudah disusun, atau sudah melakukan hubungan layaknya suami istri. Dalam kacamata ilmu hukum, mengingkari janji perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum dan dapat diselesaikan dengan cara pengadilan atau bisa juga disebut litigasi.

Kegagalan dalam memenuhi janji kawin tersebut dapat disebabkan oleh banyak hal, mulai dari perbedaan pendapat, kurangnya restu orang tua, merasa bahwa hubungannya sudah tidak serasi lagi, perbedaan kasta, hingga perselingkuhan. Hal ini didukung oleh survei yang dilakukan oleh Wolipop (Detik.com) yang menyatakan bahwa perselingkuhan menduduki posisi pertama dalam batalnya perkawinan dan disusul oleh hubungan dengan mantan yang belum usai.

Memang perselingkuhan adalah hal yang fatal dalam suatu hubungan karena akan merusak kepercayaan satu sama lain dan sama sekali tidak bisa dibenarkan. Meskipun begitu, mengingkari janji perkawinan dengan alasan apapun tetap merupakan persoalan hukum, apalagi jika menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Salah satu kasus mengingkari janji kawin adalah kasus AS dan SSL di Banyumas yang berujung dijatuhi sanksi dan harus membayar ganti rugi.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Sekalinya Coldplay DatangMAHASISWA BERSUARA: Penutupan 23 Kampus dan Jati Diri Lembaga Pendidikan TinggiMAHASISWA BERSUARA: Transformasi Digital dalam Pengendalian Manajemen Lalu Lintas

Kasus AS dan SSL

Kasus AS dan SSL tersebut tertuang dalam putusan kasasi MA No. 1644 K/Pdt/2020, dengan berisikan kronologi terjadinya kasus. Pada mulanya, tanggal 14 Februari 2018, AS melamar SSL disaksikan orang tua serta kerabat dari masing-masing pihak, dan terjadi kesepakatan bahwa pernikahan akan diselenggarakan pada September 2018. Setelah lamaran, AS mengajak SSL untuk melakukan hubungan layaknya suami istri dengan alasan sudah terlaksananya lamaran yang artinya sudah ada perjanjian di antaranya.

Dua bulan berjalan, AS didapati menjalin hubungannya kembali bersama mantan pacarnya sehingga AS menyatakan di hadapan kedua orang tua SSL bahwa dirinya tidak jadi menikahkan SSL. Keluarga SSL tidak terima atas pernyataan tersebut dan menggugat AS ke Pengadilan Negeri (PN) Banyumas dan AS diputuskan telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sehingga harus membayar ganti rugi kepada SSL berupa kerugian imateriel sebesar Rp 100 juta  secara tunai dan sekaligus.

Kemudian, AS tidak terima dengan putusan Pengadilan Negeri Banyumas dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Semarang dengan harapan jumlah ganti kerugian akan diringankan. Namun, hasil dari putusan PT Semarang tidak sesuai dengan ekspektasi dan keinginan AS. PT Semarang menambah jumlah ganti kerugian yang harus AS bayarkan kepada SSL menjadi Rp 150 juta  secara tunai dan sekaligus. Putusan PT Semarang yang memperberat AS membuat AS semakin tidak terima dan membawa dirinya untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun, MA menolak kasasi dari AS dan menghukum AS untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 500 ribu.

Ingkar Janji Kawin Perbuatan Melanggar Hukum

Melihat kasus tersebut, tindakan mengingkari janji perkawinan termasuk perbuatan melanggar hukum (PMH) karena terpenuhinya unsur-unsur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu perbuatan pelaku melawan hukum, pelaku melakukan kesalahan, korban mengalami kerugian, dan hubungan kausal antara kerugian yang dialami korban dan perbuatan pelaku. Dalam kasus tersebut, AS melakukan perbuatan ingkar janji yang bertentangan dengan norma kepatutan dan norma kesusilaan, AS memenuhi unsur kesalahan dengan sengaja di mana AS sendiri mengetahui akibatnya, adanya kerugian pada korban berupa materiil dan terutama imateriel karena rasa malu serta nama baik yang tercemar, serta ada hubungan kausalitas antara janji kawin yang dikatakan AS dengan kerugian yang diderita SSL.

Namun, hal ini akan berbeda jika mengucapkan janji kawin yang tidak menimbulkan adanya kerugian karena unsur-unsur tersebut bersifat kumulatif. Artinya, jika tidak ada kerugian, maka tidak bisa memenuhi unsur-unsur pasal tersebut sehingga tidak bisa dikategorikan PMH. Kemudian, perbuatan ingkar janji kawin tersebut merupakan PMH karena membatalkan janji perkawinan secara sepihak di mana sebelumnya sudah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak.

Selain itu, kasus ingkar janji kawin juga sudah ada yurisprudensinya yaitu Putusan MA Nomor 3277 K/Pdt/2000 yang dijadikan sebagai pedoman bagi para hakim dalam memutus kasus yang serupa. Dalam putusan tersebut, majelis MA menganggap bahwa tindakan ingkar janji perkawinan melanggar norma kesusilaan dan kepatutan masyarakat sehingga tindakan tersebut merupakan Perbuatan Melawan Hukum atau sering disebut PMH.

Mengatasi persoalan hukum ini, perlu dilakukannya sosialisasi mengenai adanya pengaturan tentang ingkar janji kawin kepada pasangan yang belum menikah. Hal ini dilakukan agar tidak adanya pihak yang menyepelekan dalam membuat janji kawin dan mengingkarinya. Selain itu, bagi para muda-mudi, janganlah melakukan hubungan layaknya suami istri walaupun sudah dijanjikan akan menikah karena itu akan merugikan diri sendiri. Kemudian, dengan adanya sosialisasi ini juga dapat menyadarkan pihak korban bahwa hal ini ada sistem hukumnya dan ada penyelesaiannya. Maka dari itu, janganlah menyepelekan perjanjian dan berhati-hatilah membuat janji kawin dalam suatu hubungan karena dapat berbuah gugatan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//