SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #26: Dua Edisi yang Disita Polisi
Dua terbitan Sipathoenan disita polisi. Akibat pemuatan surat anonim untuk Inggit Garnasih, serta menyiarkan mosi penolakan ordonansi pengawasan pendidikan swasta.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
22 Juni 2023
BandungBergerak.id – Sipatahoenan pernah dua kali dibeslah polisi. Mengenai hal ini antara lain diterangkan dalam Sipatahoenan 10 Taoen (1933), khususnya dalam tulisan “Doea kali dibeslag”. Di situ dikatakan “Saenggeusna Sipatahoenan djadi dagblad, geus ngarasa doea kali dibeslag koe polisi (setelah menjadi harian, Sipatahoenan dua kali disita oleh polisi)”.
Kasus pertama di balik sitaan itu adalah pemuatan surat anonim yang diterima Inggit Garnasih. Isinya memberi semangat agar Inggit tetap berbesar hati meski Sukarno sedang di bui. Di buku disebutkan demikian: “Noe ka 1, keur dikaloearkeun di Tasikmalaja keneh lantaran ngamoeatkeun soerat [anoniem] salinan berichkaart noe katampa koe Mevr. Soekarno di Bandoeng. Maksoedna eta soerat njeboetkeun oelah leutik hate sanadjan Ir. Soekarno keur aja di djero boei oge, da bakal rea noe miloe ngabelaan, enz, enz”.
Dampaknya, semua edisi hari itu tak sempat disebarkan ke para pelanggannya, karena semuanya disita polisi Kota Tasikmalaya (“Koe ieu sitaan nepi ka Sipatahoenan henteu bisa dikaloearkeun pisan, da kabeh diringkid ka kantor Stadspolitie Tasikmalaja”). Ini berarti kasus pertamanya terjadi saat Sipatahoenan masih diterbitkan di Tasikmalaya.
Selanjutnya, “Noe ka 2 kalina, saenggeusna Sipatahoenan dikaloearkeun di Bandoeng, lantaran ngamoeatkeun motie ‘dari Rajat kepada Rajat’ boeahna openbare vergadering di Tjirebon, tina bab Wildescholen Ordonanntie (yang kedua kalinya, terjadi setelah Sipatahoenan diterbitkan di Bandung. Penyebabnya karena memuat mosi dari rakyat kepada rakyat hasil rapat umum di Cirebon, yang berkaitan dengan ordonansi sekolah liar)”.
Namun, kali itu yang disitanya hanya lembar kedua yang memuat mosi, sementara lembar pertamanya masih dapat disebarkan ke langganannya (“Koe ieu beslahan mah, Sipatahoenan bisa keneh dikaloearkeun, da noe dibeslag koe politie teh, ngan lambaran kadoea bae, djadi ari lambaran ka 1 mah, bisa dikaloearkeun sakoemaha biasana”). Meski demikian, hingga 1933, semua lembar kedua itu ada di Biro Kepala Polisi di Cicendo (“Lambaran kadoeana, kabeh dibawa sarta nepi ka ajeuna diampihan di Hoofdbureau van Politie di Tjitjendo, Bandoeng”).
Pertanyaannya, kapan persisnya kedua kejadian itu berlangsung?
Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #22: Pindah ke Bandung
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #23: Gentra Istri
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #24: M. A. Salmun, Kontributor Paling Produktif
Menerbitkan Surat untuk Nyonya Sukarno
Setelah membuka-buka Sipatahoenan, edisi yang disita polisi pada kasus pertama adalah edisi 11 Desember 1930. Karena dalam edisi 12 Desember 1930, diturunkan pengumuman “Bewara ti Sipatahoenan!” atas nama Wd. Hoofdredacteur.
Pada paragraf pertama tertulis, “Sipatahoenan dinten kamari teu tiasa dongkap ka langgananana, margi sadajana diringkid koe poelisi. Ari noe djadi laratanana taja sanes djalaran dina Sipatahoenan aja serat andar-andar, noemoetkeun titimangsa atanapi tjapna ti Magelang, keur djrg. Soekarno istri (Sipatahoenan edisi kemarin tidak bisa dikirmkan ke para langganan, sebab semuanya disita polisi. Penyebabnya tiada lain karena dalam Sipatahoenan ada surat kaleng, yang berdasarkan titimangsa atau capnya dari Magelang, untuk Nyonya Soekarno)”.
Dari paragraf selanjutnya, saya tahu sebelum terjadi penyitaan, sebenarnya residen Priangan Timur sudah memperingatkan bahwa pemuatan tersebut melanggar hukum, dan bila Sipatahoenan jadi disebarkan tentu saja akan disita dan pemimpin redaksinya ditangkap (“Dina Sipatahoenan diterangkeun, kaawonanana serat noekitoe. Namoeng koe margi koe noe wadjib dianggap ngalanggar wet, teu tiasa dikintoen. Satadina Toean Resident moeng ngawartosan bae, jen oepami Sipatahoenan disebarkeun tangtos dibeslagna sareng noe ngamoedina tangtos ditangkepna”).
Konon sepulang dari kantor pos untuk membawa yang sempat dikirimkan administrasi, ternyata sudah ada polisi yang akan menyita (“Namoeng sadongkap ti kantor pos, ngabantoen noe parantos dikintoen koe administratie ka pos, bet parantos njampak poelisi noe ngabeslag”). Oleh karena itu, redaksi akan berupaya mengganti kerugian yang dialami langganannya (“Satiasa-tiasa karoegelan abonne bade ditjombo”).
Ternyata yang disampaikan Residen Priangan memang terjadi. Selain edisi 11 Desember 1930 disita, redaktur Sipatahoenan di Bandung Bakrie Soeraatmadja sorenya dipanggil Hoofdbureau van Politie di Cicendo, demikian pula hoofdredacteur atau pemimpin redaksi Sipatahoenan harus berada di kantor polisi Tasikmalaya seharian. Hal ini dilaporkan dalam edisi 13 Desember 1930 dengan tajuk “Baris Ditoengtoet ka Pangadilan?”
Dalam laporan dikatakan, “Ngantet djeung henteu kaloearna Sipatahoenan noe poe Kemis tanggal 11 boelan ieu, noe dibeslag koe poelitie tea, dina poe eta keneh pasosore Djrg. Bakrie Soeraatmadja Redacteur Sipatahoenan di Bandoeng sina datang ka Hoofdbureau van Politie di Tjitjendo Bandoeng, dipariksa koemaha oesoel asalna pangna njaho aja soerat andar-andar noe katampa koe geureuha Djrg. Ir. Soekarno sakoemaha noe dibewarakeun dina bulletin Sip di Bandoeng djeung di Tasikmalaja sarta koemaha sababna noe matak diajakeun dina soerat kabar Sipatahoenan”. Maksudnya, polisi menanyakan bagaimana bisa tahu ada surat kaleng untuk Nyonya Sukarno dan bagaimana sebabnya sehingga bisa dimuat di Sipatahoenan.
Selain Bakrie, yang diperiksa hari itu ada Inoe Perbatasarie (koresponden Pewarta Deli, Medan), Oey Pek Tjiang (redaktur Keng Po di Bandung), dan Tan Tek Ho (redaktur Sin Po di Bandung). Konon, Mr. Sastromoeljono, yang pertama kali mendapatkan suratnya sudah diperiksa Hulp Officier van Justitie di Bandung. Edisi Keng Po dan Sin Po yang dikirimkan via pos, semuanya disita, sementara pemimpin redaksinya diperiksa polisi di Batavia.
Dalam berita “Lantaran Sipatahoenan Dibeslag tea” (edisi 15 Desember 1930), kasusnya berlanjut dengan pemanggilan dua loper Sipatahoenan oleh polisi, sehingga edisi hari Jumat untuk daerah Tasikmalaya sangat terlambat penyebarannya. Hari Sabtu, loper ketiga dan seorang vouwster dipanggil polisi, plus administratur Sipatahoenan. Redaksi menduga perkara yang tidak begitu penting itu akan juga membawa-bawa pengurus Paguyuban Pasundan. Dan akhirnya, redaksi bertanya siapakah di antara anggota Volksraad yang sudi bertanya kepada pemerintah mengapa melakukan hal tersebut.
Pada edisi 16 Desember 1930, Sipatahoenan masih membahas penyitaan itu dalam artikel bertajuk “Dibeslagna Sipatahoenan”. Maksud tulisan itu untuk menjawab kesimpulan AID De Preanger-bode yang menduga alasan Sipatahoenan disita karena ada tambahan catatan dari redaksi. Sementara surat kabar lainnya tidak diganggu gugat. Kata redaksi, konklusi AID tidak betul, karena bukan adanya catatan redaksi, melainkan karena suratnya.
Selain itu, redaksi menyatakan asal-usul di balik penyitaannya. Konon, pada hari Kamis pukul 09.00 pagi, sebelum Sipatahoenan disebarkan, redaksi diminta datang oleh residen Priangan Timur, dengan maksud untuk memperingatkan agar surat kaleng yang dimuat dalam Sin Po dan Keng Po tidak disebarkan lagi, sebab akan menyebabkan pembeslahan dan penangkapan. Kemudian karena ada perintah dari Procureur Generaal, akhirnya terjadilah beslah itu.
Pada edisi 17 Desember 1930, yang dibahas redaksi Sipatahoenan dalam tulisan “Sipatahoenan Dibeslag” adalah komentar atas artikel yang ditulis koresponden Keng Po, termasuk pertanyaan via telepon dari redaktur Sipatahoenan kepada redaktur Keng Po yang disalahartikan. Kata redaksi, “Dina poe eta keneh, Kemis tanggal 11 boelan ieu December, redactie Sipatahoenan nelefoon interlokaal ka redactie di Batawi, nanjakeun dibeslag henteuna soerat kabar noe kaseboet di loehoer koe politie, pedah pada-pada ngamoeat soerat andar-andar tea”.
Tapi anehnya, kata redaksi Sipatahoenan, pihak Keng Po mengartikannya lain, bahwa yang mengontaknya dikatakan amtenar Indonesia, bukan redaktur Sipatahoenan (“Tina pasal aja noe nanjakeun saperti noe kaseboet bieu teh isoekna koe redactie dimoeat dina soerat kabarna, tapi aneh bet salah harti, madjarkeun teh: Hidji ambtenaar Indonesier ti Tasikmalaja geus nanjakeun ka redactie Keng Po, dibeslag henteuna eta soerat kabar. Lain bae ambtenaar Indonesier, tapi Redacteur Indonesier noe nelefoon teh”).
Larangan Penyiaran kabar Ordonansi Sekolah Liar
Penyitaan Sipatahoenan kedua kalinya menimpa edisi Sabtu, 11 Februari 1933. Redaksi baru membuat pengumuman besar dan tulisan berisi uraian bertajuk “Sipatahoenan Dibeslag” pada edisi Senin, 13 Februari 1933.
Pada pengumuman besar tertulis, “Sipatahoenan powe mangkoekna, SAPTOE 11 FEBR. 1933 lambaran II henteu bisa dikaloearkeun lantaran DIBESLAG KOE POLITIE doemeh ngamoeat MOTIE ‘Rajat kepada Rajat’ ti Tjirebon make djoedoel: AKSIE RAJAT TJIREBON tina bab Wilde Scholen Ordonanntie (Sipatahoenan edisi kemarin lusa, Sabtu, 11 Februari 1933, lembaran kedua tidak bisa diterbitkan karena disita polisi sebab memuat mosi Rakyat kepada Rakyat dari Cirebon yang memakai judul ‘Aksi Rakyat Cirebon ihwal Ordonansi Sekolah Liar)”.
Dari tulisan “Sipatahoenan Dibeslag”, saya mendapatkan keterangan lebih jelas perihal asal-usul mengapa lembar kedua koran tersebut disita polisi. Pertama, saat Sipatahoenan hanya tersebar lembar pertamanya saja, banyak langganan yang datang ke kantor harian itu, sebagian menelepon, untuk menanyakan mengapa lembaran kedua tidak ada. Bagi redaksi, konon, itu mendatangkan rasa gembira karena ternyata tumbuh kembangnya surat kabar itu banyak yang memperhatikan (“djadi tanda jen hiroepna Sipatahoenan teh katjida pada ngaregepkeunana”).
Hal tersebut, menurut redaksi, tidak usah heran karena semua tahu peri kehidupan bumiputra masih ada dalam kungkungan kekuasaan asing, kungkungan pemerintah kolonial (“Oelah kaget, oelah reuwas da poegoeh sarerea oge pada terang, jen hiroep koemboeh oerang ajeuna teh aja dina koengkoengan kakawasaan deungeun, koengkoengan koloniale regeering”). Bahkan secara lebih keras, redaksi menyebut “Indonesia lain tanah anoe merdika” (Indonesia bukan negeri yang merdeka). Ini berarti, kesadaran redaksi Sipatahoenan tentang perasaan terjajah oleh Belanda sudah diungkapkan tanpa tedeng aling-aling. Sekaligus menandakan kuatnya rasa kebangsaan para redaktur Sipatahoenan.
Setelah menjelaskan mosi atas ordonansi sekolah liar yang disampaikan pada 5 Februari 1933 di Gedung Taman Siswa, Cirebon, dan nantinya menjadi sebab pembeslahan, informasi lainnya kembali ke proses pencetakan lembar yang disita. Konon, “Lambaran kadoea ditjitakna leuwih ti heula ti batan lambaran kahidji (lembar kedua dicetak lebih dulu daripada lembar pertama)”. Baru pukul 12.30 lembar kedua selesai dicetak, sementara lembar pertama masih dicicil dicetak. Sekitar pukul 12.45 datanglah Commisaris van Politie 1 klas beserta pasukan. Setelah menelepon Residen Priangan, akhirnya residen memutuskan agar Sipatahoenan harus disita.
Praktik penyitaannya dilakukan oleh Assistent Wedana van Politie M. Djoehara dan Mantri Politie R. Sanoesi Soeriaprawira. Sipatahoenan yang sudah ada di kantor pos disusul asisten wedana dibarengi seorang pegawai Sipatahoenan. Tapi sebagian dari kantor pos sudah ada yang dikirimkan. Oleh karena itu, polisi menelepon polisi daerah lainnya agar menyita lembar kedua Sipatahoenan. Dan lembar kedua yang masih ada di kantor Sipatahoenan, semuanya dibawa polisi.
Di sisi lain, pihak administrasi Sipatahoenan bergerak cepat mengirimkan telegram ke agen-agen, sedangkan untuk kalangan luas, administrasi mencetak ribuan buletin pemberitahuan. Demikian pula kepada Direktur Sipatahoenan Oto Iskandar di Nata di Batavia, melalui sambungan telepon interlokal. Kepada Oto dimohon agar mempertanyakan keadaan tersebut kepada Procureur Generaal. Sebab Sipatahoenan tidak merasa diberi tahu perihal larangan penyiaran kabar ordonansi sekolah liar. Polisi berkilah mereka baru mendapatkan larangan dari Procureur Generaal melalui telegram pukul 10.00 hari Sabtu, 11 Februari 1933. Selain itu, sebelum tiba ke Sipatahoenan, polisi sempat mendatangi surat kabar-surat kabar lainnya.
Di akhir tulisan, redaksi sekali lagi menegaskan bahwa di tanah air bangsa bumiputra itu tidak ada kemerdekaan. Tidak ada kemerdekaan untuk mengungkapkan cita-cita dan pikiran, apalagi kritik kepada berbagai aturan pemerintahan (“Panoetoep tjarita mah, oerang henteu koedoe kaget, henteu koedoe heran, da poegoeh sarerea oge terang, henteu aja kamerdikaan ngedalkeun angen-angen djeung pikiran, sok soemawonna kritiek kana roepa-roepa atoeran paparentahan mah”).
Karena Oto Iskandar di Nata anggota Volksraad tentu saja berhak mengajukan pertanyaan kepada pemerintah kolonial terkait penyitaan lembar kedua Sipatahoenan edisi 11 Februari 1933. Sebagaimana yang dikabarkan Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi 14 Februari 1933, Oto menyatakan berdasarkan informasi yang diterimanya, lembar kedua harian Sipatahoenan edisi 11 Februari 1933 disita polisi lokal di Bandung karena memuat mosi hasil rapat umum di Cirebon yang menolak ordonansi pengawasan pendidikan swasta. Karena koran-koran lainnya, yang juga memuat mosi yang sama (termasuk Soeara Oemoem edisi 11 Februari 1933) tidak disita. Oleh karena itu, Oto mempertanyakan mengapa tindakan tersebut dilakukan terhadap Sipatahoenan. Dan jika peredaran mosi itu tak dikehendaki, apakah pemerintah setuju dengan Oto bahwa polisi di Cirebon seharusnya mencegah mosi dibacakan saat rapat umum berlangsung?