• Narasi
  • Penolakan Dibalas Intimidasi, dari Pemagaran hingga Pengerahan Alat Berat di Tengah Kisruh Revitalisasi Pasar Banjaran

Penolakan Dibalas Intimidasi, dari Pemagaran hingga Pengerahan Alat Berat di Tengah Kisruh Revitalisasi Pasar Banjaran

Pelolakan para pedagang terhadap swastanisasi Pasar Banjaran dibalas dengan intimidasi. Ketika persidangan masih berjalan, pembongkaran kios terus terjadi.

Ridho Danu Prasetyo

Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Universitas Padjadjaran, Pemimpin Redaksi LPPM dJatainangor

Spanduk menolak swastanisasi dibentangkan bersama kibaran bendera Merah Putih setengah tiang di Pasar Banjaran, Kabupaten Bandung, pertengahan Juni 2023. (Foto: Yopi Muharram)

26 Juni 2023


BandungBergerak.id - Keramaian Pasar Banjaran tak lagi bersumber semata dari para penjual dan pembeli yang bertransaksi. Ada juga suara-suara para pekerja proyek yang sedang melakukan pembongkaran di balik deretan seng di pagi hari pertengahan Juni 2023 itu. 

Di bagian luar pasar, bersanding dengan semerbak bau sampah yang tak lagi diurus oleh dinas setempat, berkibaran bendera Merah Putih setengah tiang tanda berkabung atas ketidakadilan yang diterima oleh para pedagang. Atau justru, itu adalah tanda dari mereka yang merasa tidak merdeka dari cengkeraman para pemilik modal.

Pedagang Pasar Banjaran masih melakukan penolakan atas program revitalisasi Pasar Sehat yang dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung dengan menggandeng perusahaan swasta, PT. Bangun Niaga Perkasa. Penolakan yang telah sampai ke tahap sidang gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung nyatanya dibalas dengan intimidasi.

Para pedagang sempat memiliki sedikit harapan ketika Bupati Bandung Dadang Supriatna melakukan kunjungan ke Pasar Banjaran pada Senin (5/6/2023) silam. Yang tak mereka sangka, sang bupati justru datang membawa pengawal ratusan personel Satpol PP yang berseragam lengkap beserta mobil water cannon. Tak menggubris pedagang yang menolak, Dadang hanya mewawancarai pedagang yang sudah berpindah ke tempat relokasi sementara secara terpisah.

Kunjungan berakhir tanpa ada secuil saja diskusi. Yang kemudian terjadi adalah pemagaran menggunakan seng yang mengelilingi kios milik pedagang secara berkala. Pada Kamis (8/6/2023), petugas bahkan mencoba untuk menutup total akses masuk ke pasar.

Rini, seorang pedagang yang sudah 15 tahun berjualan bahan kue dan kantong plastik di Pasar Banjaran, menceritakan bagaimana dia dan pedagang lain memohon kepada para petugas agar tidak menutup akses pasar secara penuh. Satu hari kemudian, beberapa lembar seng dibuka.

“Kalau ditutup semua, ya nggak punya akses sama sekali masuk ke jongko kita. Terus kita bisa apa, kita harus ngapain? Sementara barang kita masih di dalam kios semua,” tuturnya.

Menurut Rini, tidak sedikit pedagang yang pindah ke tempat relokasi bukan tanpa keinginan sendiri. Mereka terpaksa pindah karena mendapat ancaman. Jika tidak segera menyetujui surat pemindahan, mereka akan kehilangan kios lama dan tak akan memiliki jatah kios di tempat relokasi.

Para pedagang juga menyebut keberadaan sebuah kendaraan alat berat yang diparkir tepat di depan pintu masuk Pasar Banjaran, sebagai sebentuk intimidasi. Sinyal diberikan: kios milik pedagang bisa dihancurkan sewaktu-waktu!

“Kami cuma orang tua yang sudah lelah bekerja, udah nggak punya tenaga lagi,” ucap Rini. Kami takut, ngerasa nggak aman. Kami tuh dianggap seolah sanes jalmi (bukan manusia) lah.

Beberapa solusi yang ditawarkan pemerintah sulit diterima oleh para pedagang. Tempat relokasi sementara yang terletak di seberang jalan Pasar Banjaran dinilai sama sekali tak layak. Kios-kiosnya berukuran hanya 2x2 meter, dengan tembok hanya berupa papan tanpa langit-langit yang mumpuni.

Seorang pedagang yang tak ingin disebutkan namanya mengungkapkan, kios itu terlalu sempit dan tidak strategis. Sekitar tujuh kotak kardus yang berisi barang dagangannya terpaksa diletakkan di lorong luar kios.

Pada saat yang sama ia tak sanggup untuk pindah ke tempat relokasi utama yang disediakan di bekas TPS Banjaran karena dipungut setoran sejumlah 25 ribu rupiah per hari. Persaingan akan membuat pedagang harus menurunkan harga jual di tempat relokasi, sehingga sangat sulit memperoleh keuntungan yang pantas.

“Saya nggak kuat, kalau di sana harus bayar, sedangkan yang beli aja nggak ada,” katanya. “Belum lagi harus bayar cicilan yang 140 juta rupiah itu buat ambil jongko.”

Sebuah poster perlawanan menempel di pagar seng Pasar Banjaran mengkritik proyek revitalisasi tak ubahnya aksi penggusuran. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Sebuah poster perlawanan menempel di pagar seng Pasar Banjaran mengkritik proyek revitalisasi tak ubahnya aksi penggusuran. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Malam Nyanyian Menguatkan Pedagang Pasar Banjaran
Cerita Pedagang Pasar Banjaran Penolak Proyek Revitalisasi: Tidak Didengarkan Bupati, Takut Pasar Dibakar

Menolak Swastanisasi

Sebuah audiensi terkait rencana revitalisasi Pasar Banjaran pernah digelar dengan melibatkan Komisi B DPRD Kabupaten Bandung pada 3 Februari 2023 lalu. Angket disebarkan di antara para pedagang, dan hasilnya, mereka menolak secara bulat swastanisasi Pasar Banjaran. Namun, nyatanya Pemkab Bandung tetap menggulirkan program tersebut.

Entis adalah salah satu koordinator Kelompok Warga Pedagang Pasar (Kerwappa) yang turut hadir dalam audiensi itu. Ia menyesalkan aksi-aksi intimidatif yang diarahkan ke para pedagang penolak swastanisasi.

“Kami bukannya menolak pembangunan, tapi menolak diserahkan ke pihak swasta. Kalau bisa, pakai anggaran dari APBD. Jangan melibatkan pihak swasta, jadi tidak memberatkan pedagang,” ujarnya.

Dijelaskan Entis, program revitalisasi tidak dibarengi dengan kompensasi bagi para pedagang. Mereka harus membayar jongko yang akan ditempati dari nol. Harga yang dipatok oleh pengelola adalah 20 juta rupiah per meter persegi. Luas standar kios di Pasar Banjaran adalah 7,5 meter persegi. Artinya, pedagang harus membayar 150 juta rupiah untuk bisa menempati kembali jongko mereka yang telah direvitalisasi.

Selain harganya yang selangit, status kepemilikan kios juga sebatas Hak Guna Pakai. Artinya, para pedagang tidak memiliki hak kepemilikan atas jongko mereka. Tak bisa mereka melakukan transaksi jual beli jongko dengan pedagang lain apabila suatu saat mereka harus berhenti berjualan.

Sampai saat ini, proses persidangan masih berlanjut dan belum menghasilkan keputusan. Di lapangan, Pemkab terbukti justru melanggengkan proses pembongkaran. Para pedagang merasakan ancaman yang semakin nyata. Sementara itu, pemerintah tampaknya lebih memilih untuk duduk manis.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//