• Komunitas
  • PROFIL SRIKANDI PASUNDAN: Wadah Aspirasi dan Aksi Transpuan Jawa Barat

PROFIL SRIKANDI PASUNDAN: Wadah Aspirasi dan Aksi Transpuan Jawa Barat

Masyarakat masih mengenal transpuan cuma bisa ngotak-ngatik make up di salon. Srikandi Pasundan menjadi wadah mereka mengejar mimpi dan beraktivitas sosial.

Aksi kampanye Srikandi Pasundan di Car Free Day Dago saat Women Long March, momen hari Perempuan Sedunia. (Foto: Dok. Srikandi Pasundan)

Penulis Sarah Ashilah27 Oktober 2021


BandungBergerak.id – Srikandi, benar, nama Putri Raja Drupada dari Kerajaan Panchala dalam kisah Mahabharata. Tokoh pewayangan dengan identitas gendernya yang selalu dipertanyakan. Salah satu versi yang beredar, jika Srikandi bertemu seorang Yaksa, dan menukar jenis kelaminnya menjadi lelaki demi membalaskan dendam pada Bisma.

Versi lainnya, ketika Raja Drupada menemukan bayi perempuan di hutan, terdengar suara gaib yang memerintahkannya agar membesarkan bayi itu selayaknya laki-laki. Karena itulah Srikandi tumbuh menjadi seseorang yang tangguh dalam berperang dan mahir menggunakan senjata panah. Meski banyak versi, tokoh Srikandi adalah gambaran bagi sosok perempuan kuat yang menjadi suri tauladan bagi kaum perempuan.

Nama tokoh wayang itu juga, berikut kontroversinya, yang sengaja dipilih menjadi nama organisasi kelompok transpuan di Jawa Barat, yakni Srikandi Pasundan. Organisasi tersebut berdiri 9 November 2004.

Bermula di tahun 2002 dalam satu diskusi yang antara Riri Wirayadi, atau akrab disapa Mami Riri, lalu Luvhi Pamungkas, Oke, Mila, Novi, serta sejumlah teman-teman lainnya saat berkumpul membicarakan beragam persoalan yang dihadapi transpuan.

Kala itu mereka tergabung dalam keanggotaan Yayasan Priangan, komunitas gay. Dalam diskusi yang berkembang mereka menyimpulkan ada perbedaan yang mendasar antara kebutuhan kaum transpuan dan komunitas gay. Hingga tercetus ide untuk memisahkan diri, membentuk wadah sendiri, yang kemudian mereka beri nama Srikandi Pasundan.

Awal pendiriannya, Srikandi Pasundan fokus pada isu kesehatan transpuan, terutama yang berisiko tinggi, untuk didorong melakukan screening HIV maupun Infeksi Menular Seksual (IMS) lainnya. Isu tersebut dipilih karena adanya transpuan yang hidup dengan AIDS dan tak tertolong karena enggan memeriksakan diri sejak dini.

Transpuan punya stigma miring di mata masyarakat. Jika ditambahi dengan mengidap AIDS, hampir pasti transpuan tersebut akan mendapat diskriminasi pelayanan publik, yang fatal justru dialami pada akses layanan kesehatan. Banyak yang terintimidasi, dan kehilangan kepercayaan diri ketika sudah berurusan dengan sistem. Situasi makin buruk dengan sistem hierarki junior-senior di kalangan transpuan.

Luvhi Pamungkas, Ketua Srikandi Pasundan Jawa Barat bercerita, di masa itu banyak mami-mami, transpuan yang dianggap senior, sulit memberikan izin para transpuan untuk memeriksakan diri terkait IMS dan HIV. Kerap izin baru diberikan mami dengan meminta imbalan uang.

Luvhi senang dengan penghapusan hierarki junior-senior dalam organisasi transpuan ini. Tidak ada halangan untuk mendorong transpuan melakukan screening dan menjalani terapi obat Antiretroviral (ART) bagi penyandang status ODHA (Orang dengan HIV/AIDS).

Dalam kurun waktu 2002-2004, Srikandi Pasundan mulai aktif merekrut anggota dari organisasi lainnya seperti Himpunan Waria Bandung (HIWABA), dan Himpunan Waria Cimahi (HIWACI). Belakangan, HIWABA dan HIWACI justru menggabungkan diri. HIWABA kini dikenal dengan sebutan Srikandi Priangan, dan HIWACI berganti nama menjadi Srikandi Perintis.

Tahun 2006-2007, Srikandi Pasundan melebarkan sayapnya dengan merangkul transpuan yang tersebar di daerah Jawa Barat lainnya. Makin banyak yang bergabung.

Organisasi Srikandi Pasundan akhirnya didapuk menjadi payung bagi organisasi transpuan yang kemudian berdiri di banyak daerah. Untuk menyamakan identitas organisasi, mereka menamai organisasi mereka dengan akronim SP. Ada Srikandi Priangan yang merupakan SP di Kota Bandung, Srikandi Perintis yang adalah SP di Cimahi, Srikandi Patuha yang merupakan SP di Kabupaten Bandung, dan sejumlah Srikandi lainnya yang tersebar di Jawa Barat.

Luvhi Pamungkas mengaku tidak tahu jumlah persis anggotanya saat ini. Pada 2005, di Jawa Barat saja jumlah anggotanya sudah 8.000 orang. Per kota/kabupaten berbeda-beda. Misalnya, Srikandi Perintis diperkirakan memiliki anggota 101 orang. Sementara di Kota Bandung, ada sekitar 800-900 orang anggota.

“Tapi keadaannya kan di Kota Bandung itu banyak pendatang, jadi jumlahnya tidak menetap. Kalau di Kota Bandung, ada teman transpuan yang dari Yogyakarta, Padang, Palembang, hingga Kalimantan,” ujar Luvhi.

Baca Juga: PROFIL AKSI KAMISAN BANDUNG: Sewindu Merawat Ingatan
PROFIL WALHI JAWA BARAT: untuk Kerja-Kerja Penyelamatan Lingkungan
PROFIL AJI BANDUNG: Bukan Sekadar Kumpulan Wartawan Antiamplop
PROFIL PBHI JAWA BARAT: Dari Penggusuran Tamansari sampai Korban Salah Tangkap Polisi

Srikandi Pasundan saat menjadi relawan vaksin bersama Klinik Mawar di El-Cavalo. (Foto: Dok. Srikandi Pasundan)
Srikandi Pasundan saat menjadi relawan vaksin bersama Klinik Mawar di El-Cavalo. (Foto: Dok. Srikandi Pasundan)

Memberdayakan Transpuan, Menghapus Diskriminasi

Seiring berjalannya waktu, prioritas organisasi Srikandi Pasundan berkembang. Kini tidak melulu berkutat soal isu kesehatan, tapi juga pada isu kesejahteraan dan kenyamanan hidup kaum transpuan. Di antaranya isu diskriminasi pada transpuan yang menjadi perhatian.

“Diskriminasi itu terkadang muncul dari kitanya sendiri kan. Kita pun berusaha mengubah pola pikir teman-teman, sepert misalkan transpuan pekerja seni yang berpakaian seronok. Nah itu, kita kasih tahu kalau kamu ingin dihargai orang, kamu juga harus berpakaian yang rapi,” ujar Luvhi.

Beragam aktivitas dilakukan agar transpuan bisa diterima oleh keluarga, masyarakat, serta pelayanan publik. Hasilnya mulai terlihat. Srikandi Pasundan misalnya berhasil menjalin kerja sama dengan Dinas Kesehatan, sejumlah Puskesmas, serta Disdukcapil. Kini transpuan jadi semakin mudah mengakses layanan publik, seperti layanan kesehatan dan kependudukan.

Aktivitas Srikandi Pasundan membuat lembaga The Global Fund memberikan pendanaan, yang kemudian dipergunakan untuk menjalankan sejumlah program. Di antaranya Program Peduli, yang mendapat dukungan juga dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), serta The Asia Foundation.

Program Peduli ini merupakan program inklusi yang menjembatani hubungan teman-teman transpuan dengan keluarganya dan masyarakat. Caranya dengan mengadakan pertemuan antara keluarga inti dengan teman-teman transpuan untuk mencairkan masalah dan mencari titik temu.

Banyak transpuan yang kabur dari rumah, lalu putus sekolah akibat intimidasi dan perundungan yang diterima akibat pilihan identitas gendernya. Inilah yang kerap menjadi pangkal sebab transpuan terjebak dalam kemiskinan, akhirnya memilih mengamen, hingga menjadi pekerja seks.

Luvhi menerangkan bahwa transpuan pun memiliki mimpi yang sama seperti kebanyakan orang. Ada yang bermimpi untuk bekerja di bank, menjadi pramugari, dan banyak mimpi lainnya. Sementara masyarakat di satu sisi memberi stigma pada transpuan yang tidak jauh dari kehidupan malam, menjadi penghibur di jalan-jalan, ataupun bekerja di salon, tanpa mengetahui penyebabnya.

Tujuan program Peduli yang digagas Srikandi Pasundan ini menghilangkan sekat tranpuan dan keluarganya. Hasilnya, sebagian ada yang berhasil diterima kembali oleh keluarganya yang kemudian memodalinya membuka usaha.

Lewat prorgram ini Srikandi Pasundan juga melakukan advokasi-advokasi kecil di lingkungan warga, juga sejumlah kegiatan pengabdian pada masyarakat sepeti mengadakan bakti sosial. Aktivitas tersebut dilakukan demi mendapatkan penerimaan masyarakat yang semakin baik pada transpuan, yang pada akhirnya membuka kesempatan pada transpuan beraktivitas di tengah masyarakat tanpa diskriminasi.

Ada juga program Safe Project dan Breaking the Gate. Program Safe Project terfokus pada edukasi seksual di kalangan remaja. Pengetahuan seksual yang diajarkan di sekolah misalnya masih terbatas pada fungsi dan perkembangan alat reproduksi. Hanya sedikit yang berani membahas pentingnya menjaga kesehatan reproduksi remaja, seperti berbicara terkait pemakaian kondom.

Pihak sekolah juga diharapkan melindungi lagi siswa-siswi yang mengalami perundungan berbasis gender. Misalnya pada siswi yang roknya terlihat rembesan darah saat datang bulan, situasi yang rentan bagi sisiwi tersebut untuk mendapatkan olok-olok dari teman-temannya. Pihak sekolah diharapkan menindak tegas pelaku perundungan, selain juga menyediakan pembalut, atau rok cadangan yang bisa dipinjam siswi.

Sedangkan program Breaking The Gate, membantu para teman transpuan untuk mengurusi masalah pencatatan sipil. Dalam program tersebut Srikandi Pasundan bekerja sama dengan Disdukcapil terkait pembuatan KTP perempuan, sekaligus juga membantu dalam pengurusan BPJS.

Luvhi mengaku, tidak mudah melakukannya. Di awal berdirinya, Srikandi Pasundan banyak mendapati penolakan. Mengubah pola pikir transpuan terkait perilaku seksual juga menjadi tantangan tersendiri.

Kini Srikandi Pasundan terus berkembang. Dari awalnya hanya 17 organisasi yang tersebar di kota/kabupaten di Jawa Barat, kini bertambah menjadi 27 organisasi yang berada di bawah payung Srikandi Pasundan.

Penyuluhan terhadap transpuan pengamen yang tidak memiliki KTP di Caringin, Bandung. (Foto: Dok. Srikandi Pasundan)
Penyuluhan terhadap transpuan pengamen yang tidak memiliki KTP di Caringin, Bandung. (Foto: Dok. Srikandi Pasundan)

Farah, Role Model dari Srikandi Priangan

Tidak lengkap rasanya berbicara sepak terjang para Srikandi tanpa bercakap-cakap dengan Farah, Ketua Srikandi Priangan, Kota Bandung, yang juga dijadikan role model oleh Srikandi Pasundan. Kisahnya diharapkan bisa menginsipirasi bagi transpuan lainnya.

Farah yang sudah menjadi ketua selama kurang lebih tujuh tahun ini menceritakan masa lalunya yang pahit.

“Mami-mami itu dulu banyak yang jahat, kita dapat ancaman kalau kita melakukan screening HIV dan IMS, kita tidak diperbolehkan nongkrong. Makanya kan banyak yang meninggal gak ketolong kalau dulu itu. Kalau sekarang kan dengan adanya Srikandi Pasundan, jadi kebalikan. Kalau tidak screening justru tidak boleh nongkrong,” ujar Farah.

Karena berada di bawah ancaman dan tekanan senior-senior, Farah yang semasa itu masih bekerja sebagai pekerja seks, terpaksa tidak memeriksakan diri. Hingga satu ketika kondisi tubuhnya dirasa semakin aneh. Karena khawatir, diam-diam ia melakukan screening. Tes HIV dilakoni tiga kali, hingga ia dinyatakan positif pada tes yang ketiga.

Saat itu Ia merasa sangat bingung dan putus asa. Ia takut dijauhi oleh keluarga dan lingkungannya karena terkena HIV. Karena minimnya dukungan, ia pun enggan untuk menjalani terapi ARV (Antiretroviral). Kondisi Farah terus menurun hingga menjalani perawatan di rumah sakit. Saat itulah dia merasa tidak ingin berakhir seperti teman-temannya yang meninggal dunia karena HIV.

Di puncak kekalutannya dia menemukan organisasi Srikandi Pasundan. Farah yang bergabung dalam organisasi itu kemudian mengikuti Kelompok Dukungan Sebaya (KDS), serta terapi program ARV. Farah juga memutuskan mengakhiri pekerjaannya yang dulu, serta membantu teman-teman yang senasib dengan dirinya.

Farah kemudian direkrut menjadi peer-educator, menjadi petugas lapangan yang menjangakau transpuan yang membutuhkan pertolongan. Kisah Farah menginsipirasi banyak transpuan yang kemudian berani memeriksakan diri.

“Teh Farah saja sekarang sudah bisa kerja, kelihatan sehat. Kalau teh Farah saja bisa, kita juga harusnya bisa,” katanya.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//