Tjitjalengka Historical Trip, Jelajah Sejarah Cicalengka dalam Sabundereun Alun-alun
Tur perdana Tjitjalengka Historical Trip menyusuri kembali sejarah panjang Cicalengka, ibu kota Afdeling Bandung Selatan yang berdiri sejak tahun 1862.
Penulis Tofan Aditya2 Juli 2023
BandungBergerak.id – Azan Subuh saya tiba di Stasiun Cimindi, stasiun kereta yang dulunya berstatus stopplaats. Di peron, sembilan orang, termasuk saya, menanti kedatangan kereta dari arah barat. Tidak ada pilihan lain, hanya kereta ini yang bisa mengantarkan saya ke Cicalengka tanpa terlambat untuk mengikuti kegiatan Walking Tour Aloen-Aloen Tjitjalengka yang digagas komunitas Tjitjalengka Historical Trip yang akan dimulai pukul 8 pagi. Pukul 4.42 WIB kereta tiba. Lampu kereta menyorot terang membelah pagi yang masih gelap. Saya bersama calon penumpang yang lain bergegas masuk. Tak menunggu lama, kereta pun melaju.
Cicalengka, sebuah kecamatan seluas kurang lebih 45 kilometer persegi di Kabupaten Bandung. Tahun 1862 saat masih menyandang nama Tjitjalengka, daerah ini merupakan ibu kota Afdeling Bandung Selatan. Nama-nama besar seperti Frans Wilhelm Junghuhn, Eddy du Perron, Raden Dewi Sartika, E. F. E Douwes Dekker, Ir. H. Djuanda Kartawidjaja, Ir. Soekarno, hingga C. P. Wolff Schoemaker pernah menginjakkan kakinya di sini. Bahkan N. V. Java-China-Japan-Lijn (JCJL) menamai kapal laut mereka dengan nama “Tjitjalengka”.
“Irisan sejarah ini menjadi bukti bahwa Cicalengka tidak bisa sekadar didefinisikan dengan luas wilayah atau letak geografis. Ada nilai-nilai sejarah hidup di kawasan ini,” tulis Nurul Maria Sisilia dalam artikel perdana yang tayang dalam kolom Catatan dari Bandung Timur.
Setelah menempuh 80 menit perjalanan saya tiba di Stasiun Cicalengka. Papan nama “Stasiun Tjitjalengka” sudah tidak ada, diganti dengan tulisan dalam ejaan baru (mungkin ini jadi penanda stasiun bersejarah ini sebentar lagi akan dipugar menjadi bangunan modern). Di pintu keluar stasiun, ojek-ojek pangkalan menawarkan jasanya pada semua pejalan kaki, termasuk saya. Namun, karena jadwal acara masih lama, saya memilih berjalan kaki. Saya ingin mampir dulu ke Alun-alun Cicalengka.
Memang, sebagaimana alun-alun lain di Priangan yang menganut kosmologi Jawa dalam penataan ruang, Alun-alun Cicalengka sering digunakan sebagai pusat aktivitas warga. Sejak peresmian Stasiun Cicalengka pada 1884, alun-alun ini digunakan untuk pesta rakyat, dengan salah satu hiburannya adalah ngadu bagong.
Meski terbilang masih pagi, warga Cicalengka, kebanyakan menggunakan baju olahraga, sudah memenuhi tiap sudut alun-alun. Sambil menikmati suasana pagi, saya sarapan bubur Mang Yaya di alun-alun tersebut. Menjelang pukul 8, saya bergegas berjalan menuju Bumi Kapungkur titik kumpul peserta acara Walking Tour Aloen-Aloen Tjitjalengka Tjitjalengka Historical Trip (THT).
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #32: Tjitjalengka Historical Trip dan Upaya untuk Memperkenalkan Literasi Sejarah
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #33: Mewacanakan Hari Jadi Cicalengka
Bukti-bukti Sejarah Menguatkan Stasiun Cicalengka adalah Cagar Budaya
Mengenal Sejarah “Sabundereun Alun-Alun”
Di Bumi Kapungkur, saya beserta peserta THT lain berkumpul. Latar belakang peserta bermacam-macam, ada mahasiswa, pegiat sejarah, penulis, fotografer, pengajar, dan lainnya. Dalam pembuka singkat, Tedi Lesmana, tour guide sekaligus ketua THT pada hari Minggu (25/6/2023) menjelaskan bahwa akan ada 10 tempat yang dikunjungi.
“Kita juga ingin, histori itu bukan hanya jadi sekedar sebuah romantika, atau sekedar cerita sejarah,” tutur Tedi yang juga merupakan seorang pengajar di SMA PGRI Cicalengka. “Jadi di sini, kita berusaha mengemas bagaimana sejarah yang di masa lalu itu bisa relevan di masa kini dan bisa dipelajari di masa depan.”
Sebagai pembuka, Bumi Kapungkur adalah tempat pertama yang dikenalkan. Penanda yang khas di atas dinding bangunan utama menandakan bangunan yang berdiri sejak 1928 ini dirancang bernuansa art deco. Kesan vintage juga terasa ketika melihat kaca patri di penjuru ruangan, bentuk jendela, dan motif tegel yang khas. Kini, bagian samping bangunan milik keluarga H. M. Samhudi, seorang pengusaha akar wangi dan ulat sutra, ini difungsikan untuk aktivitas taman baca.
“Orang-orang sering bilang ini rumah Dewi Sartika. Padahal setelah saya tanya-tanya ke sesepuh, nggak ada," ujar Sofi Ariantini, generasi ke empat penghuni bangunan ini.
Setelah puas mengamati Bumi Kapungkur, para peserta dibagi ke dalam dua kelompok sebelum beranjak ke lokasi selanjutnya. Saya masuk kelompok B berisi 10 orang peserta. Nurul Maria Sisilia dan Winangsih menjadi pemandu kelompok B yang akan menjelaskan seputar tempat-tempat bersejarah yang akan kami kunjungi berikutnya.
Setelah melewati Tugu Dewi Sartika dan Pasar Sehat Sabilulungan, kami tiba di lokasi ke dua: Gereja Santo Antonius. Saya heran, tidak ada bangunan gereja sama sekali di sana. Di belakang Nurul dan Winangsih hanya ada sebuah pintu kayu yang terkunci. Di sampingnya, ada sebuah papan kecil bertuliskan “Depot Balok Es” lengkap dengan nomor kontak di bawahnya.
Nurul menuturkan, rupanya, Gereja Santo Antonius sekarang sudah rata dengan tanah, tergantikan dengan Depot Balok Es. Dulunya, gereja Katolik ini didirikan oleh Yayasan Salib Suci. Peletakan batu pertama gereja terjadi pada Minggu, 3 Mei 1931, pukul 10.30 pagi, oleh Mgr. van Velsen dari Batavia. Bangunan gereja yang mampu menampung 76 orang tersebut diresmikan pada 13 Juni 1931. Di hari pembukaannya, gereja ini banyak dihadiri oleh orang-orang dari daerah luar, seperti pastor dari Bandung, vikaris dari Cimahi, dan Legeraalmoezenier.
“(Tahun) 2002-an tuh, ketika saya lewat sini, masih utuh. Sekarang udah nggak ada,” jawab Nurul ketika ditanyai kapan runtuhnya gereja ini.
Tepat di seberang lokasi Gereja Santo Antonius, berdiri SDN Cicalengka 05 yang menjadi tempat ke tiga yang kami singgahi. Dalam catatan sejarah, sehari sebelum peresmian Gereja Santo Antonius, 12 Juni 1931, Yayasan Camillus membeli bangunan bank untuk dijadikan asrama yang kini telah berganti menjadi sekolah ini. Yayasan Camillus, yang didirikan oleh Pastor J. H. Goumans, memiliki tujuan untuk menampung dan merawat anak-anak miskin. Karena jumlah anak yang masuk ke Yayasan Camillus membludak, Yayasan Camillus membuat dua asrama, asrama perempuan di Jl. Anggrek, Bandung, dan asrama laki-laki di Jl. Pasar Cicalengka.
Masjid, Societeit Soekasari, hingga Kantor Kecamatan Cicalengka
Berjalan kaki sejauh kira-kira 150 meter ke bagian selatan alun-alun, kami tiba di lokasi ke empat: SMPN 1 Cicalengka. Kebanyakan warga sekitar mengira bahwa bangunan ini dulunya adalah bekas rumah sakit atau kuburan Belanda, padahal mengacu pada catatan sejarah, tempat ini dulunya dipakai sebagai kantor dan tempat tinggal bagi patih-patih Afdeling Cicalengka, yaitu Raden Demang Wira di Koesoema (1871-1874), dan Radeng Rangga Karta Ningrat atau Raden Aria Soeria Karta Adiningkat (1874-1901). Kabarnya lokasi ini juga sempat menjadi tempat tinggal sementara Raden Dewi Sartika, kisaran tahun 1894 hingga 1902.
Pada tahun 1917-1918, rumah bekas patih Cicalengka sempat disewakan kepada keluarga Eddy du Perron, sastrawan Belanda. Di sekitaran kompleks ini, sempat pula didirikan Europeesche Lagere School (ELS), sekolah tingkat dasar yang diisi oleh para menak. Salah satu lulusannya adalah Ir. H. Djuanda Kartawidjaja.
“Sekarang kita ada di sini. Adem yah. Baik secara jasmani maupun rohani,” terang Winangsih sambil tertawa ketika kami sampai di lokasi ke lima, yakni Masjid Agung Cicalengka.
Di sekitaran masjid, berdiri satu pohon beringin besar dengan akar-akar yang menjuntai ke bawah. “Dulu ada dua beringin. Satu di sini (Masjid Besar Cicalengka), satu lagi di sana (menunjuk daerah terminal). Tapi sayang sekarang udah nggak ada,” tutur Nurul yang juga merupakan koordinator Lingkar Literasi Cicalengka.
Menurut pemaparan Winangsih, Masjid Besar Cicalengka dulu sempat dipimpin oleh dua orang penghulu kepala (hoofdpanghoeloe), yakni Raden Hadji Moehamad Jaelani (1871-1873) dan Raden Moehammad Hamin (1873-1901). Sayang, bangunan masjid sudah tidak ada kesan historis sama sekali. Semua berlahir menjadi modern, seperti masjid besar pada umumnya. Tapi dulu, Nurul mengatakan bahwa masjid ini memiliki atap berbentuk tumpang tiga dengan bukaan di antaranya.
Lokasi ke enam, kami mengunjungi SDN Cicalengka 08. Bangunan ini dulunya adalah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah Belanda untuk bumiputra. Pada tahun 1929, sekolah ini memiliki 214 orang murid dengan 7 orang pengajar, yang terdiri dari empat guru laki-laki dan tiga perempuan, yang tiga di antaranya adalah bumiputra. Salah satu guru yang sempat mengajar di sini adalah Raden Kartawidjaja, ayah Ir. H. Djuanda Kartawidjaja.
Dari tempat menempuh pendidikan, kami lanjut ke lokasi ke tujuh, ke tempat hiburan. Rumah dr. Gofar dulunya merupakan Societeit Soekasari, semacam klub atau tempat kongkow bagi bangsa Eropa dan elite bumiputra. Bangunan bertitimangsa “Anno 1920” ini telah resmi berdiri pada 29 Januari 1891.
Bangunan yang telah masuk cagar budaya ini kini dipakai sebagai tempat berobat selama kurang lebih 12 tahun. Angka 1920 terpampang di atas pintu masuk, jendela-jendela tua yang berlapis-lapis terlihat dari luar, dan tulisan “DIJUAL” terpampang di banner yang terpasang di pagar bangunan ini.
“Funfact-nya, dulu 1920 dipakai buat kongkow. Pas saya datang ke sini 2019, dipakai buat suntik,” canda Winangsih di tengah-tengah penjelasan sejarah bangunan ini.
Bangunan ke delapan yang kami datangi adalah Pegadaian Cicalengka. Telah berdiri sejak abad ke-19, Pegadaian Pemerintah (Gouvernement Pandhuis) Cicalengka sempat menjadikan tempat ini sebagai lokasi pelelangan barang-barang miliki Belanda dan bumiputra yang meninggal atau berpindah tempat dinas. Gudang pelelangan, dengan pintu gerbang besar berwarna hijau, masih kokoh berdiri di sini.
TKIT Al-Mushinat Fathoel Chair adalah tempat ke sembilan yang kami kunjungi. Didirikan pada tahun 1928 oleh para pengusaha keturunan Palembang, madrasah ini sejak dulu sering digunakan sebagai tempat pertemuan. Misalnya saja pada 15 Juli 1934, Nahdlatul Ulama Cicalengka sempat mengadakan pertemuan umum di sini. Sekitar 200 orang hadir, termasuk polisi, wedana, dan camat Cicalengka. Dalam pertemuan tersebut, kabarnya “Kemal” Wolff Schoemaker ikut hadir.
Setelah menempuh dua jam tur jalan kaki “Sabundereun Alun-Alun”, kami tiba di lokasi terakhir: Kantor Kecamatan Cicalengka. Bangunan ini lebih tua dari SMPN 1 Cicalengka yang baru berdiri pada tahun 1871. Ketika Cicalengka masih berada di bawah kekuasaan Kabupaten Parakanmuncang pada abad ke-18 sampai 1813, kabarnya kantor yang berada di Jalan Raya Timur Cicalengka No. 334, Cicalengka Kulon, ini sudah beroperasi.
Bukan Hanya Tur Jalan Kaki
Meski agenda tur jalan kaki berakhir, kegiatan belum usai. Di dalam Aula Kantor Kecamatan Cicalengka, telah terpampang foto-foto Cicalengka zaman dulu. Beberapa potret menampilkan bangunan-bangunan yang sebelumnya saya datangi: Gereja Santo Antonius dan Societeit Soekasari. Beberapa potret lainnya menampilkan surat kabar seputar Cicalengka, aktivitas Belanda dan bumiputra, dan kawasan lain yang memiliki nilai sejarah.
Selain pameran foto, adapun penampilan musik keroncong dari Kareureus, grup musik asli Cicalengka, dan diskusi “Cicalengka dalam Catatan”. Dalam agenda diskusi, Atep Kurnia yang berperan sebagai narasumber menyampaikan banyak hal tentang Cicalengka, mulai dari sejarah wilayah administratif, persinggahan orang-orang penting, kawasan pecinan di Priangan, hingga dunia pergerakan.
“Kita tuh tinggal di salah satu daerah yang luar biasa di masa lalu. Dan bisa nggak sih keluarbiasaan ini kita kembangkan terus, kita kembangkan kembali?” kata Tedi.
Tjitjalengka Historical Trip adalah gebrakan yang dilakukan anak-anak muda untuk menggali juga merawat cerita-cerita yang terjadi di masa lampau. Lewat kerja-kerja ini, mereka membuktikan bahwa kecintaan akan daerah tidak melulu harus lewat doktrin bela negara, seperti apa yang kerap pemerintah kerjakan.
Lewat kegiatan ini, saya sadar, sepertinya saya mulai jatuh cinta dengan Cicalengka.