• Kolom
  • GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #50: Gunung Gedugan, Puncak Tertinggi di Kawasan Soreang dan Cililin

GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #50: Gunung Gedugan, Puncak Tertinggi di Kawasan Soreang dan Cililin

Mendaki Gunung Gedugan, kita bisa menikmati hamparan gunung dan sebuah cekungan besar yang menyerupai kaldera. Ada juga yang datang untuk berziarah.

Gan Gan Jatnika

Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika

Pemandangan sisi timur Gunung Gedugan, dengan puncakan-puncakan yang harus dilalui sebelum mencapai puncak utamanya, Juli 2023. (Foto: Gan Gan Jatnika)

16 Juli 2023


BandungBergerak.id - Pegunungan di daerah Soreang dan Cililin merupakan rangkaian gunungapi tua, dengan usia pembentukannya ditaksir sekitar 4 juta tahun yang lalu. Dari sekian banyak gunung yang terdapat di sana, Gunung Gedugan dengan ketinggian puncak mencapai 1.302 meter di atas permukaan laut (Mdpl) merupakan yang tertinggi.

Akses dan Lokasi

Gunung Gedugan berada di perbatasan antara Desa Kidangpananjung dan Desa Mukapayung. Keduanya berada di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat. Jika ditarik garis lurus dari pusat Kota Bandung, jaraknya sekitar 17 kilometer ke arah barat daya.

Keterangan tentang ketinggian puncak Gunung Gedugan 1.302 mdpl didapat dari peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) lembar peta 1209-222, edisi I-2000, judul peta: Cililin dengan skala 1:25.000.

Untuk menuju Gunung Gedugan dari pusat Kota Bandung, kita bisa mengarahkan kendaraan menuju Jalan Raya Soreang-Cipatik, kemudian berbelok ke arah Situwangi dan melanjutkan perjalanan menuju Kampung Walahir. Di sini kita bisa memilih memulai pendakian dari Kampung Walahir Girang atau dari Wisata Pinus Kidang Pananjung.

Untuk memudahkan pencarian arah menuju Gunung Gedugan, kita bisa juga menggunakan bantuan petunjuk arah secara daring. Tinggal ketikkan kata kunci “Kampung Walahir Girang” atau “Wisata Pinus Kidang Pananjung Cililin”, rute dan peta akan tersaji.

Sebagai catatan, ada juga jalur menuju Gunung Gedugan dengan melewati dahulu Bukit Gantole. Jalur ini mengambil arah dari Cililin, Memilih melalui jalur ini, kita akan menemui tanjakan serta turunan yang sangat curam.

Mengamati Kaldera Walahir dan Mukapayung dari salah satu lokasi menjelang puncak Gunung Gedugan, Juli 2023. (Foto: Gan Gan Jatnika)
Mengamati Kaldera Walahir dan Mukapayung dari salah satu lokasi menjelang puncak Gunung Gedugan, Juli 2023. (Foto: Gan Gan Jatnika)

Mendaki Gunung Gedugan

Ada dua jalur yang biasa digunakan untuk mendaki Gunung Gedugan. Yang pertama dari Kampung Walahir Girang dan yang kedua dari Wisata Pinus Kidang Pananjung. Kedua jalur ini nantinya akan bertemu di sebuah area terbuka dengan sebuah musala. Tak jauh dari bangunan musala tersebut, terdapat sebuah rumah sederhana yang ditempati oleh Juru Rawat Gunung Gedugan, yaitu Abah Inar.

Jika kita ingin mendaki gunung sembari berwisata, jalur Wisata Pinus Kidang Pananjung merupakan pilihan tepat. Jalur dari Kampung Walahir Girang lebih banyak dipilih oleh para peziarah yang bermaksud mengunjungi makam di puncaknya.

Wisata Pinus Kidang Pananjung merupakan sebuah tempat wisata berupa hutan pinus yang ditata sebagai bumi perkemahan dan tempat beristirahat. Sudah tersedia fasilitas tempat parkir, toilet, musala, dan warung. Ada pula penyewaan tenda dan hammock bagi yang membutuhkan. Kawasan wisata ini mulai dikembangkan pada tahun 2016 seiring dengan dikembangkannya Venue Gantole di dekatnya untuk keperluan penyelenggaran PON (Pekan Olahraga Nasional). Tiket masuk pada bulan Juni 2023 lalu adalah 10 ribu rupiah untuk wisata seharian, dengan biaya parkir kendaraan roda dua 5 ribu rupiah.

Memulai perjalanan mendaki secara santai dari Wisata Pinus Kidang Pananjung, kita dapat mencapai puncak Gunung Gedugan dalam waktu satu setengah jam. Ketinggian di awal pendakian sekitar 1.100 mdpl, dengan perbedaan sekitar 200 meter garis ketinggian dengan puncak.

Pendakian dimulai dengan menyusuri jalan setapak di kawasan wisata, kemudian memasuki  belantara semak ilalang yang rapat dan cukup tinggi menuju Puncak Satu. Jalan setapak ini tampaknya cukup jarang dilewati. Di beberapa bagian bahkan sudah tidak terlihat dan tertutup. Kita harus harus seksama memperhatikan jika ada percabangan, dengan menyibakkan semak yang menutupinya.

Di Puncak Satu, kita akan menemui sebuah area lapang yang tidak terlalu luas, dengan sebuah pohon beringin dan beberapa hanjuang merah sebagai cirinya. Juga terdapat sebuah makam tokoh yang dipercaya sebagai salah satu sesepuh, yaitu Eyang Gagak Rancang Kencana Wulung. Beliau adalah wakil dari Eyang Prabu Rarang Jiwa yang makamnya terdapat di puncak Gunung Gedugan.

Melanjutkan perjalanan menuju Puncak Dua, kita menjumpai jalan setapak yang lebih bersahabat dan tidak terlalu menanjak. Suasananya juga terasa teduh karena di samping kanan dan kiri terdapat pohon-pohon yang tinggi dan rimbun, di antaranya adalah jenis pohon pinus. Dari salah satu titik setelah melewati Puncak Dua, kita bisa melihat puncak Gunung Gedugan. Tampak menjulang dan seperti masih jauh jaraknya.

Tak lama berselang kita akan menemui jalan menurun dan berakhir di sebuah area lapang dengan sebuah bangunan musala. Di titik inilah terdapat pertemuan dengan jalan setapak yang berasal dari jalur pendakian di Kampung Walahir Girang. Rumah Abah Inar, sang juru rawat Gunung Gedugan, terletak sekitar 100 meter dari area lapang ini.

Setelah melewati rumah Abah Inar, kita akan menemui persimpangan kecil. Jangan memilih yang lurus yang menuju ke kaki gunung di kampung yang lain, yaitu Kampung Jaladri dan Kampung Gabus, Cililin. Dari persimpangan menuju puncak itu, kita mengambil jalan ke kiri yang sedikit menanjak. Tak berapa jauh kemudian kita akan menemukan sebuah saung tempat makam juru pelihara Gunung Gedugan sebelumnya. Menurut Abah Inar, namanya dikenal dengan nama Ibu Durung.

Dari makam Ibu Durung, perjalanan menuju puncak tidaklah terlalu jauh. Hanya butuh sekitar 10 atau 15 menit waktu tempuh. Menyusuri jalan setapak itu, kita akan menemukan sebuah pohon waru yang cukup besar dengan salah satu dahannya terlihat melengkung. Tidak salah jika lokasi ini dinamakan Waru Lengkung.

Dari Waru Lengkung, kita bisa sedikit keluar jalur pendakian menuju semak-semak di sebelah barat. Terdapat sebuah tempat dengan pemandangan cukup terbuka. Dari tempat ini bisa melihat beberapa gunung di sekitar Gunung Gedugan dan sebuah cekungan besar yang menyerupai kaldera. Cekungan ini meliputi Dusun Lembang di Desa Mukapayung serta Kampung Walahir di Desa Kidangpananjung, sehingga dikenal dengan nama Kaldera Walahir atau Kaldera Mukapayung.

Bekas aktivitas kegunungapian bisa diamati dari peta satelit atau peta digital yang membentuk kaldera dengan celah terbuka ke arah barat di antara Gunung Putri dan Gunung Hanyawong, serta ke arah timur membentuk celah sobekan di kaki Gunung Gedugan sebelah utara, dan aliran lavanya mengalir ke timur menyusuri Sungai Ci Capeu dan Ci Koneng. Terdapat hamparan batu ampar membentuk air terjun yang bisa dilihat dari jalan. Warga menyebutnya sebagai Curug Batulawang atau Air Terjun Batulawang.

Sementara itu, gunung-gunung yang terlihat dari titik pengamatan di dekat Waru Lengkung adalah Gunung Kutawaringin, Gunung Kutamajangkar, Gunung Aul, Gunung Kaseproke, dan beberapa yang lain.

Sebentar saja meninggalkan Waru Lengkung, sampailah kita di Gunung Gedugan. Terdapat area lapang yang cukup untuk beristirahat, cukup bagi 30 orang.

Di area puncak tersebut, terdapat dua buah makam yang diyakini oleh masyarakat sebagai makam dari Eyang Mangun Gedug alias Prabu Rarang Jiwa beserta salah seorang istrinya. Belum lama ini Abah Inar memasang pagar pelindung dari bambu agar perawatannya lebih mudah, selain menghindarkannya dari gangguan binatang liar.

Suasana puncak Gunung Gedugan dengan makam atau petilasan Eyang Mangun Gedug, Juni 2023. (Foto: Gan Gan Jatnika)
Suasana puncak Gunung Gedugan dengan makam atau petilasan Eyang Mangun Gedug, Juni 2023. (Foto: Gan Gan Jatnika)

Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #49: Gunung Selasih dengan Keunikan Batu Karut, Populasi Kera, dan Legenda Seorang Putri
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #48: Gunung Sadu Soreang dengan Misteri Batuan Anomali Magnetik dan Jejak Perjuangan Kemerdekaa
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #47: Gunung Kerenceng dan Gunung Kareumbi, Kerucut Kembar di Lintasan Sesar Cicalengka

Kisah Prabu Rarang Jiwa dan Toponimi Gunung Gedugan

Terkait keberadaan makam atau petilasan di Puncak Satu dan puncak Gunung Gedugan, diperoleh kisah yang menarik dari beberapa warga, termasuk dari Abah Inar dan Pak Ihan selaku penjaga kawasan Wisata Pinus Kidang Pananjung. Makam di puncak gunung adalah makam Eyang Mangun Gedug alias Eyang Haji Prabu Rarang Jiwa, dikenal pula dengan nama Eyang Sakuta atau Eyang Rama Gede, sementara makam di Puncak Satu adalah makam wakil atau patihnya yaitu Eyang Gagak Rancang Kencana Wulung.

Eyang Prabu Rarang Jiwa adalah cucu dari Prabu Surawisesa. Ada pun Prabu Surawisesa adalah putra Prabu Siliwangi dari salah satu istrinya, yaitu Kentring Manik Mayang Sunda. Dalam hal ini yang dimaksud Prabu Siliwangi adalah Raja Sunda Pakuan Pajajaran yaitu Sri Baduga Maharaja. Prabu Surawisesa memiliki putra bernama Prabu Layang Pakuan. Eyang Prabu Rarang Jiwa, atau Eyang Mangun Gedug, diyakini adalah putra dari Prabu Layang Pakuan.

Prabu Rarang Jiwa mendirikan sebuah kerajaan di daerah Cililin yang kemudian berkembang menjadi kerajaan yang cukup besar dan berada di atas kerajaan-kerajaan lainnya, sehingga disebut dengan Kerajaan Panggung, atau kerajaan yang berada di atas. Sampai sekarang, di daerah Cililin tidak jauh dari Gunung Gedugan, terdapat kampung yang bernama Lintangpanggung dan sebuah desa yang bernama Rancapanggung.

Kerajaan Panggung ketika itu menjadi “Gegedug” atau tokoh utama dalam percaturan kekuasaan di wilayahnya. Gunung tempat Prabu Rarang Jiwa menyucikan atau menyepikan diri merupakan gunung tertinggi di sekitarnya, sehingga dinamakan Gunung Gedugan.

Pada saat Prabu Rarang Jiwa berada dalam masa kejayaannya, datanglah seorang kerabat dari Cirebon yang masih merupakan pamannya, sama-sama keturunan Prabu Siliwangi, yaitu Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Beliau adalah cucu Prabu Siliwangi dari istrinya yang lain, yaitu Nyi Subang Larang. Singkat cerita, akhirnya Prabu Rarang Jiwa yang awalnya beragama Hindu berpindah keyakinan menjadi beragama Islam. Tempat berakhirnya keyakinan beragama Hindu Sang Prabu untuk kemudian memulai berdakwah agama Islam dinamai Walahir. Nama yang sampai sekarang menjadi nama perkampungan di dekat Gunung Gedugan.

Setelah beralih menjadi seorang muslim, Prabu Rarang Jiwa mendapat gelar Eyang Mangun Gedug, serta dipercaya mendapat tugas dari Sunan Gunung Jati untuk mengantar orang-orang yang ingin menunaikan ibadah haji. Ia memiliki cara tersendiri untuk mengantar jemaah haji sampai ke Mekkah.

Di samping makam Eyang Prabu Rarang Jiwa terdapat makam salah satu istrinya. Diketahui bahwa beliau menikahi sepasang putri kembar yang bernama Nyi Sundara dan Nyi Sundari. Namun tidak didapat keterangan pasti siapakah yang dimakamkan di puncak tersebut adalah Nyi Sundara atau Nyi Sundari.

Tidak jauh dari lokasi puncak Gunung Gedugan, terdapat pula situs batu yang memiliki nilai keramat bagi para pendatang. Susunan batunya cukup unik, menyerupai salah satu organ tubuh manusia, khususnya kaum lelaki. Orang menamainya situs Batu atau Tugu Tilu.

*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB) 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//