• Kolom
  • SALAMATAKAKI #20: Aloha Om Supomo, Aloha Senikanji

SALAMATAKAKI #20: Aloha Om Supomo, Aloha Senikanji

Buku Senikanji karya Felix Dass menukil karya-karya Paulus Supomo dalam gambar dan cerita yang “ditabrakkan” dalam satu paket.

Sundea

Penulis kelontong. Dea dapat ditemui di www.salamatahari.com dan Ig @salamatahari

Display Buku Senikanji, penampakan depan buku Senikanji karya Felix Dass . (Foto: Sundea)

1 Agustus 2023


BandungBergerak.id – “Ini sampai kapan, Mbak?”

“Harusnya, sih, sudah selesai. Nanti Senin mau di-take down.”

“Yah! Senin, ya?”

Rubrik Salamatakaki terbit hari Selasa, satu hari setelah display buku Senikanji diturunkan dari Grammars, toko cenderamata unik di Jalan Cihapit nomor 6. Aku langsung merutuki keterlambatanku. Bertahun-tahun lalu aku sempat berpikir mewawancarai Om Paulus Supomo — seniman di balik jenama Senikanji — untuk zine-zine-an online-ku. Namun, niat itu kutunda-tunda. Kupikir toh kapan pun aku bisa menghubungi Yulius Iskandar, teman mainku sejak kuliah di Jatinangor, anak sulung sekaligus manajer Om Supomo. Namun, hidup adalah rangkaian kisah dengan segala pelintiran alurnya. Tiba-tiba Om Supomo berpulang pada tahun 2021.

Buku Senikanji diluncurkan 30 Juni 2023 di Grammars. Aku tak bisa hadir di peluncurannya karena keburu punya janji lain, tetapi berniat datang di hari lain. Berhubung tahu buku akan di-display dalam jangka waktu cukup lama di Grammars, aku santai. Namun, sekali lagi penundaan mengauskan rencana. Baru hari Sabtu (29/7/2023) lalu aku mampir ke Cihapit dan ternyata aku datang di di penghujung masa tayang.

Aku sempat ragu-ragu. Ada tiga topik yang dapat kupakai untuk Salamatakaki #20. Dua di antaranya adalah pameran yang masih berlangsung. Namun, naluriku selalu tahu apa yang paling ingin kuceritakan, maka seperti biasa aku mengikutinya.

Display Buku Senikanji. Di antaranya ada kutipan Hidup ini Perjalanan Bukan Perlombaan. (Foto: Sundea)
Display Buku Senikanji. Di antaranya ada kutipan Hidup ini Perjalanan Bukan Perlombaan. (Foto: Sundea)

Baca Juga: SALAMATAKAKI #17: Sepotong Cerita yang Mungkin Terlamblast
Salamatakaki #18: Membangun Parahyangan Orchestra dengan Cinta dan Hormat
SALAMATAKAKI #19: Cerita Random dari Cihanjuang 10

Om Supomo dan Yulius Iskandar

Om Supomo seorang pria semenjana. Selama bertahun-tahun beliau setia bekerja di sebuah pabrik garmen. Setiap hari Om Supomo menempuh perjalanan naik motor dari rumahnya di bilangan Padasuka ke tempat kerjanya di wilayah Kopo. Meskipun suka menggambar sejak kecil, Om Supomo tak pernah berpikir untuk menjadi seniman. Di dalam bayangannya, seniman harus bisa melukis seperti Affandi atau Basuki Abdullah.

Om Supomo tak pernah punya mimpi besar. Baginya hidup sesederhana bekerja keras dan memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Om Supomo yang tidak tamat SMP dan tidak kaya raya sering merasa hidupnya gagal. Mungkin itu sebabnya ia tak pernah nyaman bertemu dengan banyak orang. Bahkan Om Supomo kerap berpesan kepada anak-anaknya, “Kalian nanti jangan seperti Papa”.

Sifat tertutup, murung, serba takut, dan pesimis Om Supomo membuatnya sulit dekat dengan anak-anaknya. Tak ada yang menjadikannya orientasi, termasuk temanku, Yulius. Sejak kuliah, sejauh ingatanku Yulius adalah antitesis Om Supomo. Ia aktif muncul di berbagai kegiatan kreatif, luwes membangun jejaring, tangkas mengambil kesempatan, humoris, percaya diri, serta sering menjadi manajer talent. Aku paling ingat ketika Yulius memanajeri duo musisi elektronik Bottlesmoker.

Jika ada hal yang entah sengaja atau tidak dipetik Yulius dari Om Supomo, kurasa etos kerja kerasnya. Dalam pertemanan kami yang tidak intens tapi tak pernah kehilangan keakraban, aku melihat bagaimana Yulius berkembang, bulak-balik ke luar negeri bersama Bottlesmoker, mengerjakan apa saja terutama terkait industri kreatif, sampai mendirikan toko berkonsep unik Popstoreindo. 

Om Supomo sendiri tetap menjalani keseharian yang memberinya kepastian aman. Selepas bekerja, Om Supomo menyempatkan diri untuk tetap menggambar. Kertas-kertas kalender bekas menjadi media berkaryanya.

Ketika ada kesempatan belajar bahasa Mandarin di kantor, Om Supomo menyambutnya. Meskipun hanya 6 bulan kursus di sanalah Om Supomo belajar menulis dengan tulisan kanji. Sebagai WNI keturunan Cina, ada cara berpikir, pengalaman generasional, serta ekspresi budaya yang khas pada Om Supomo. Paket tersebut hadir antara lain dalam karya-karyanya.

Pada suatu hari, setelah pulang dari perjalanan mengantar Bottlesmoker ke negeri Cina, Yulius menunjukkan dokumentasi negeri Cina yang dikumpulkannya. “Suatu hari Papa harus ke sana,” kata Yulius yang tahu betapa berminatnya sesungguhnya Om Supomo mengenal Cina. Namun, Om Supomo justru menjawab, “Mahal. Mending uangnya buat kamu.”

Salah satu halaman di buku Senikanji karya Paulus Supomo. (Foto: Sundea)
Salah satu halaman di buku Senikanji karya Felix Dass. (Foto: Sundea)

Senikanji

Pada suatu hari Yulius mampir ke rumah orang-tuanya. Sampai sekitar pukul delapan malam, hujan pula, papanya tak kunjung pulang. Saat Yulius bertanya, sang mama menjawab, “Memang jam segini belum pulang.”

Yulius yang ketika itu sudah menjadi Ayah merasa tersentuh. Baru kali itu ia betul-betul paham bagaimana selama itu Om Supomo bekerja keras untuk keluarga. Yulius sadar di masa itu Om Supomo sudah tidak muda, sementara pekerjaan yang dilakukannya menuntut kekuatan fisik. Di sanalah Yulius terpikir meminta Om Supomo berhenti bekerja dan mendorongnya melakukan apa yang ia suka; menggambar. Yulius sendiri sudah mandiri secara finansial dan siap memodali Om Supomo.

Ternyata meminta Om Supomo berhenti bekerja bukan perkara mudah. Ada banyak kekhawatiran, ketidakpercayadirian, yang membuat Om Supomo enggan keluar dari zona nyaman. Di sanalah Yulius terpikir merancang jenama untuk Om Supomo. Pada tahun 2016 Yulius membuatkan akun Instagram dan mengekspos karya-karya Om Supomo. Pengalaman sepuluh tahun lebih sebagai manajer talent membuatnya tahu apa yang harus ia lakukan. Yulius tidak memilih-milih kesempatan, apa yang ada di depan mata saat itu ia kejar. “Niatnya memang membuat karya Papa ketemu dunia,” kata Yulius dalam buku Senikanji.

Konsep Senikanji terus berkembang. Drawing Om Supomo, yang disajikan bersama hand lettering kutipan berikut tulisan kanjinya, menjadi karakter khas yang diminati. Komisi karya mulai berdatangan, ajakan kolaborasi mengalir, karya-karya Om Supomo diproduksi dalam bentuk artprint dan cenderamata, dikenakan selebritis, seniman, musisi, menghiasi rumah makan, kedai kopi, toko buku, viniar, dan menjadi populer. Kendati demikian, tetap butuh upaya besar untuk meyakinkan Om Supomo bahwa karyanya adalah sesuatu. Bahkan kesempatan berpameran ditanggapi Om Supomo dengan tak bersemangat. “Waduh, ngapainlah pameran,” Yulius menirukan reaksi papanya. 

Namun, setelah dibujuk dan diyakinkan, akhirnya Om Supomo bersedia mempersembahkan 20 karya. Pameran pertama diadakan pada Februari 2020 di Kedai Juru, Jalan Ambon, Bandung.  Tajuknya “A Mini Showcase by Mr. Supomo Senikanji”. Pelan-pelan Om Supomo belajar menanggalkan stigma “orang gagal” yang puluhan tahun ia sandangkan kepada dirinya sendiri. Pelan-pelan pula Yulius menemukan cara untuk mengobrol hangat dengan Om Supomo dengan topik yang mengikat mereka berdua.

Senikanji Frames dari Photograms dan cenderamata Senikanji. (Foto: Sundea)
Senikanji Frames dari Photograms dan cenderamata Senikanji. (Foto: Sundea)

Buku Senikanji dan Berpulangnya Om Supomo

“Awalnya sesimpel gue mau beli karya,” ujar Andreas Junus dari Binatang Press, penerbit Senikanji, pada peluncuran buku tersebut di Grammars 30 Juni 2023. Saat melihat perkembangannya, kolaborasi ayah-anak Om Supomo-Yulius menjadi sesuatu yang Andreas lihat menarik untuk diangkat dalam buku. Felix Dass, jurnalis dan pengamat musik yang tak perlu diragukan lagi kepiawaiannya, dilamar menjadi penulisnya.

Yulius menyambut kesempatan tersebut dengan gembira. Namun, lagi-lagi butuh waktu untuk membujuk dan meyakinkan Om Supomo. Om Supomo merasa banyak orang lain yang lebih hebat untuk ditulis. Om Supomo pun sempat canggung menghadapi Andreas Junus dan Felix Dass. Untungnya Andreas dan Felix berhasil memenangkan hati Om Supomo.

Proses pembuatan buku dimulai sejak tahun 2021. Namun, setelah wawancara pertama oleh Felix Dass, Om Supomo berpulang secara mendadak. “Supomo adalah 15 seconds of fame,” ujar Felix Dass di peluncuran buku Senikanji. Masa berkarya Om Supomo terbilang singkat, tetapi tampaknya karyanya akan menjadi bahan pembicaraan dalam jangka waktu yang lebih panjang daripada napasnya. Om Supomo yang tak mengerti kaidah-kaidah seni menggambar tanpa batas-batas, sama bebasnya seperti ketika ia menggambari tembok di rumah-rumah yang tiba-tiba kosong sekitar tahun ’65 di masa kecilnya. “Sekuat apapun dia (Om Supomo) menyangkal dirinya sebagai seniman, dia seniman,” papar Felix Dass di peluncuran Senikanji. Om Supomo menunjukkan kepada publik bahwa kesenian dapat dijalankan seapaadanya itu, dengan spidol Snowman merah dan biru.

Meskipun Om Supomo telah berpulang, Yulius sendiri merasa Om Supomo tak pernah jauh. Yulius dapat melihat karya sang papa terpasang di mana-mana, dibahas di mana-mana, bahkan ada mahasiswa yang mengangkat Senikanji sebagai bahan skripsinya. Saat Om Supomo mendadak tidak bernapas di pangkuannya, dalam kesedihannya Yulius tetap bersyukur masih diberikan kesempatan untuk berbakti kepada Om Supomo. Senikanji lah yang membuat mereka berdua menjadi dekat.

Buku Senikanji adalah gambar dan cerita yang “ditabrakkan” dalam satu paket. Karya-karya Om Supomo tak harus mengilustrasikan teks dan teks mandiri bertutur dengan bahasa tulis khas Felix Dass. Desain pun hadir sebagai perspektif lain untuk menceritakan Senikanji. Buku seharga 360.000,00 rupiah tersebut dicetak dengan teknik risograf dan dapat dipesan melalui akun Instagram @binatangpress.  Buku inilah yang menjadi rekam jejak perjalanan Senikanji.

Meskipun display buku Senikanji sudah diturunkan dari Grammars hari Senin—satu hari sebelum artikel ini ditayangkan—sampai 30 Agustus mendatang masih ada photo boot eksklusif dengan bingkai Senikanji di Grammars. Photo boot ini merupakan kerja sama antara Photograms Booth, Grammars, Binatang Press, dan Senikanji.

Tulisan Aloha di kening jalan masuk Grammars, toko cenderamata unik di Jalan Cihapit nomor 6. (Foto: Sundea)
Tulisan Aloha di kening jalan masuk Grammars, toko cenderamata unik di Jalan Cihapit nomor 6. (Foto: Sundea)

Aloha Senikanji

Aku ingat pada pertemuan terakhirku dengan Yulius aku sempat bilang, “Gue yakin bokap lu meninggal dengan perasaan fulfilled.” Usianya tidak terlalu panjang, tetapi happy ending. Ia yang selalu merasa gagal tutup usia di puncak kesuksesan Senikanji. Anak-anak adalah alasannya bekerja keras dan berjuang. Di akhir hidupnya, Om Supomo melihat bahwa ia tidak gagal membesarkan anak-anaknya.

Namun, aku jadi bertanya kembali apakah “gagal” dan “berhasil” sepenting itu jika “hidup ini perjalanan bukan perlombaan”? Kita tahu “perjalanan” dilihat sebagai satu paket utuh yang kaya. Ada kegagalan, ada keberhasilan, ada pengalaman, ada tujuan, ada persinggahan, dan ada jejak-jejak yang kita tinggalkan.

Kaki Dea menghadap foto Om Supomo. Triplek yang ada foto Om Supomo itu disandarkan di meja tempat Om Supomo biasa menggambar untuk Senikanji. (Foto: Sundea)
Kaki Dea menghadap foto Om Supomo. Triplek yang ada foto Om Supomo itu disandarkan di meja tempat Om Supomo biasa menggambar untuk Senikanji. (Foto: Sundea)

Saat meninggalkan Grammars aku mendapati tulisan “aloha” di kening jalan masuk, mungkin jejak yang ditinggalkan toko sebelum Grammars. Iseng aku mencari tahu arti persis “aloha” di Wikipedia. Ternyata, meskipun sering menjadi salam yang mengandung “kasih sayang, kedamaian, dan terima kasih”, secara kultural “aloha” mempunyai arti kompleks yang tak selalu dapat dijelaskan dengan lengkap. Ia dapat menjadi ucapan “selamat datang” sekaligus “selamat tinggal”. Ada pula yang memaknainya dalam kerata bahasa “alo” yang berarti kehadiran dan “ha” yang berarti napas kehidupan. Menurut taksiranku, kata ini sepadan dengan “selamat” dalam Bahasa Indonesia.

Aku yang datang ke Grammars di penghujung masa display mungkin agak terlambat, tetapi bukankah kisah yang kutuliskan ini tak pernah basi? Om Supomo mungkin sudah tiba dengan selamat di ujung perjalanannya, tetapi bukankah Senikanji masih akan menempuh rute yang entah di mana ujungnya?

Seni itu panjang, hidup itu singkat: ars longa, vita brevis!

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//