• Berita
  • Catatan BPK terhadap Laporan Keuangan Pemkot Bandung

Catatan BPK terhadap Laporan Keuangan Pemkot Bandung

DPRD Kota Bandung meminta Pemkot Bandung menindaklanjuti temuan BPK yang membuat gagalnya raihan Opini WTP.

Sejumlah jurnalis berkumpul menunggu keterangan resmi Pemkot Bandung di Balai Kota, Sabtu (15/4/2023), terkait operasi tangkap tangan KPK terhadap Wali Kota Bandung Yana Mulyana, Jumat (14/4/2023). (Foto: Iman Herdiana/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana2 Agustus 2023


BandungBergerak.idPemerintah Kota (Pemkot) Bandung gagal meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Masalah ini menjadi sorotan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung.

Diketahui, pada 30 Mei 2023 lalu BPK menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran (TA) 2022. Kota Bandung meraih opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). 

Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK terhadap laporan keuangan Kota Bandung tahun 2022 terdapat temuan yang harus menjadi perhatian Pemkot Bandung.

"Ini berdampak pada turunnya opini dari WTP ke WDP. Penurunan opini disebabkan adanya permasalahan aset berupa penyajian aset tetap tanah, prasaran sarana, dan utilitas umum. Senilai Rp3,43 triliun yang belum dicatat," beber Sekretaris DPRD Kota Bandung Salman Fauzi, dalam siaran pers Jumat (28/7/2023).

Menurut Salman, DPRD terus mendorong Pemkot Bandung agar segera menindaklanjuti rekomendasi BPK. Diharapkan temuan BPK ini tidak menjadi masalah yang berulang.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 terdapat empat jenis Opini yang diberikan oleh BPK RI atas Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah: Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau unqualified opinion, menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa, menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

?Beriktunya, Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atau qualified opinion, menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha dan arus kas entitas tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan.

Selanjutnya, Opini Tidak Wajar atau adversed opinion, menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

LKPD Belum Akuntabel

Permasalahan yang menghambat belum diperolehnya opini WTP oleh pemerintah daerah beragam, antara lain belum akuntabelnya LKPD yang disusun.

“Khusus terhadap LKPD, masih terkait dengan pengelolaan kas, persediaan, investasi permanen dan nonpermanen, serta secara mayoritas disebabkan karena pengelolaan aset tetap yang belum akuntabel,” tulis Kotot Gutomo dalam artikel berjudul “Berburu Opini WTP” di laman BPK, diakses Rabu (2/8/2023).

Kotot menjelaskan beberapa penyebab gagalnya meraih Opini WTP, mulai dari permasalahan aset tetap pemerintah daerah pada umumnya terkait adanya barang milik daerah (BMD) tidak dicatat, BMD yang tidak ada justru masih dicatat, BMD dicatat tapi tidak didukung dengan dokumen kepemilikan yang sah.

Kelemahan sistemik merupakan bawaan dari masa lalu yang memosisikan pengelolaan BMD  tidak lebih penting dibanding pengelolaan uang. Penyebab lainnya karena pola pikir pelaku yang lebih hobi membeli daripada memelihara.

“Kondisi ini berlangsung bertahun-tahun terakumulasi sehingga menjadi permasalahan kronis yang harus segera ditangani oleh Kapala Daerah supaya bisa ikut andil dalam perburuan opini WTP,” lanjut Kotot.

Lebih lanjut, Kotot menyatakan pencegahan praktik korupsi juga tidak bisa dikesampingkan dari peran BPK. Karena, dari hasil pemeriksaannya seharusnya bisa memberikan rekomendasi yang mengarah pada perbaikan sistem. Kesalahan yang fundamental bisa diatasi dengan perbaikan sistem ini.

Oleh karena itu, dengan pemeriksaan reguler tahunan yang dilakukan sudah sewajarnya BPK dapat memastikan bahwa perbaikan sistem atas rekomendasi yang diberikan tahun-tahun sebelumnya telah ditindaklanjuti.

Kotot mengingatakan juga bahwa opini WTP yang diraih suatu pemerintahan bukan berarti bebas dari korupsi. BPK memiliki peran penting dalam mencegah praktik perburuan opini dengan menghalalkan segala cara. Apalah jadinya kalau pemberian opini WTP itu hanya akan menjadi komoditas untuk meningkatkan gengsi para pejabat publik dalam menjalankan amanah yang diberikan rakyat.

Masih lekat dalam ingatan, penyuapan 400 juta rupiah kepada auditor BPK agar memberikanopini WTP atas laporan keuangan tahun 2009 Pemerintah Kota Bekasi. Hal ini bisa menjadi modus, karena pengeluaran itu relatif kecil dibanding dengan insentif miliaran rupiah yang bakal diterima dari Menteri Keuangan apabila memperoleh opini WTP.

“Opini WTP yang diperoleh bukan hasil instan, tetapi melalui proses terstruktur dengan mengedepankan pembenahan fungsi dan sistem pengendalian intern. Disisi lain, para auditor tidak hanya wajib memiliki kompetensi yang handal, tetapi juga harus beretika tinggi, dan bermahkotakan kejujuran,” lanjut Auditor Madya di Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Tengah ini.

Baca Juga: WTP BPK Bukan Berarti Seluruh Pengelolaan Keuangan Pemkot Bandung Baik
UI dan BPK Kaji Gejala Penyimpangan Data Keuangan
MAHASISWA BERSUARA: Menilai Kinerja Keuangan Perusahaan dengan Laporan Laba Rugi

Kandas setelah Empat Tahun WTP

Dalam empat tahun terakhir Kota Bandung selalu meraih Opini WTP dari BPK. Namun dengan diraihnya WDP 2022, maka kandas sudah ambisi Pemkot Bandung untuk meraih Opini WTP lima tahun berturut-turut.

Fraud tersebut, ujarnya, akan berdampak pada opini yang diterima Pemkot Bandung. Seperti yang terjadi tahun ini, Kota Bandung dalam empat tahun terakhir, selalu WTP, tapi sekarang mendapatkan predikat opini WDP.

Plh Wali Kota Bandung Ema Sumarna menyatakan Opini WDP ini akan menjadi atensi dan perhatian Pemerintah Kota Bandung.

"DPRD dan Banggar telah melakukan pembahasan. Terdapat beberapa catatan dan rekomendasi. Baik di bidang pedapatan dan belanja perlu menjadi atensi. Tentunya ini menjadi catatan bagi kami untuk terus berupaya meningkatkan berbagai kinerja," ujar Ema Sumarna.

Ia mengakui, di bidang pendapatan Pemkot Bandung memang tidak mencapai 100 persen, tapi angka ini dirasa sudah cukup baik, yakni sebesar 94,01 persen. Dalam realisasi belanja terutama pada dana transfer, ada beberapa OPD yang belum bisa menjalankan 100 persen. Namun, angkanya tetap cukup tinggi.

"Selain itu pada sektor pendapatan terutama retribusi parkir tetap menjadi persoalan kita untuk membangun sistem lebih baik agar sesuai dengan potensi. Seharusnya kita bisa melompat beberapa kali lipat dari realisasi yang ada," ucapnya.

Dalam hal pengendali internal, Ema menuturkan, SDM inspektorat harus bisa bekerja lebih optimal. Sehingga mampu mendeteksi awal sebelum adanya proses pemeriksaan reguler yang biasanya dilaksanakan.

"Jika sistem ini bisa berjalan maksimal, maka bisa disampaikan langkah-langkah awal sebelum pemeriksaan masuk, sudah ada perbaikan maksimal. Dengan begitu tidak ada lagi persoalan yang berulang baik itu pendekatan administrasi atau gak berpotensi untuk terjadinya fraud," tuturnya.

Fraud tersebut, ujarnya, akan berdampak pada opini yang diterima Pemkot Bandung. Seperti yang terjadi tahun ini, Kota Bandung dalam empat tahun terakhir, selalu WTP, tapi sekarang mendapatkan predikat opini WDP.

"Tahun 2023 ini kita harus jauh lebih optimal. Sekarang kita sedang dalam proses penyusunan APBD. Dalam waktu dekat mudah-mudahan ini sudah bisa menjadi kesepakatan. Sehingga bisa dijadikan sebagai dasar penyusunan RAPBD tahun 2024," kata Ema.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//